Mengintip
LGBT dari sudut Kitab Suci
LGBT
atau elgebete sedang populer belakangan. Entah berproses secara alami, artiya
memang sedang populer atau sengaja dipopulerkan, saya tidak tahu dan tidak
hendak memotret hal tersebut. Saya hanya iseng saja, dan semoga keisengan ini
berguna. Berguna secara positif, menjadikan orang berpikir lebih dalam atau
secara negatif, marah dan ngamuk, ya silakan. Itu semua hak para pembaca yang
budiman.
Saya
ikutan mengamati kisah LGBT (elgebete, istilah pakde Student Law, Siswopranoto lagibete) karena isu ini riuh rendah dipercakapkan. Kaum akademisi,pejabat,tukang
sayur, agamawan, semuanya ikutan demam LGBT. Ada yang mengutuk, ada yang
membela. Semua dengan argumentasi yang sangat luar biasa. Saya bingung, mau
menolak atau mendukung, karena tidak punya argumentasi yang mumpuni, yang saya
punya hanyalah leptop jadul dan waktu untuk menulis pemikiran saya. Sekali lagi,
ini pikiran kaum pinggiran (istilah teman dari Pekalongan, https://www.facebook.com/dwiargomursito?ref=ts&fref=ts ), jadi ya, silakan
dipahami dari kaca mata pinggiran, bukan dari pusat akademis.
Karena
saya mahkluk beragama, maka saya akan mengintip dari sudut pandang ini. Intipan
saya mungkin berbeda, sekali lagi silakan anda, para pembaca budiman yang
menilainya. Dalam teks Kitab Suci, paling tidak agama yang saya anut,
dikisahkan bahwa Yang Mahakuasa (ini istilah saya, biar adil tidak menyebut
nama versi agama tertentu) menciptakan manusia itu LAKI-LAKI (Bahasa Jawanya LANANGAN) dan Perempuan
(Wedokan). Titik!!!! Tidak ada Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender. Itu semua
tidak tertulis.
Nampaknya
inilah yang dijadikan acuan oleh kaum penolak LGBT dan penolakan itu berbasis
agama. Kalau melihat Kitab Suci dari sudut pendekatan Naratif, konsep penolakan
ini sah-sah saja. Namun jika menggunakan pendekatan historis dan konteks
keterbatasan narasi, maka perlu diperdebatkan. Kitab Suci ditulis (meminjam
bahasa tetangga sebelah, diwahyukan) tidak dalam ruang hampa. Namun tertulis
dalam konteks sosial tertentu.
Bisa jadi dalam konteks Kitab suci ditulis,
memang tidak ada itu yang namanya Lesbian, Gay, Biseksual dan transgender. Nah,
kalau memang tidak ada, dan juga para penulis kitab suci tidak pernah/belum
pernah sama sekali menjumpai realitas sosial LGBT, tidak mungkin mereka menuliskannya.
Seperti analogi ini, tidak mungkin anak istri saya (saya tidak pernah
mengandungnya, maka saya menyebutnya anak istri saya) akan bisa
membayangkan Victoria Beckham dalam
angannya, karena belum pernah mengenal siapa Victoria Beckham.
Sedikit
ulasan itu semoga bisa menyadarkan bahwa berpijak dari Kitab suci untuk menolak
LGBT dengan segala realitasnya, tidaklah
tepat. Lalu pertanyaannya, lha anda itu menulis untuk mendukung atau menolak
LGBT tah?Sebentar, saya akan lanjutkan.
Mendukung
LGBT berdasar Kitab Suci juga penuh dengan persoalan. Apa saja itu?Jelas dalam
sejarah peradaban dunia, manusia itu mahkluk yang berkembang biak dengan
berhubungan seksual. Nahh, kalau LGBT itu “Salah Cetaknya” yang di sono,
berarti alur berpikir orang beragama juga perlu ditata ulang. Masak “yang
disono” salah cetak?
Jika
demikian (yang mendukung LGBT) berarti memang LGBT itu kecelakaan sejarah. Oleh
karena kecelakaan maka perlu dibenahi, perlu dibenarkan, perlu dibuat menjadi
sesuai dengan garisnya.
Kembali
ke fenomena LGBT. Itu semua terjadi, menurut saya lho ya, karena kontruksi
kehidupan yang ada disekitarnya. Itu juga didukung oleh faktor biologis, bahwa
misalnya hormon tubuhnya tidak ideal. Tidak idela seperti apa?semisal
begini,fisiknya berjenis kelamin laki-laki, namun secara hormonal dia cenderung
perempuan. Semua itu diperparah lingkungan sosial. Dia bergaul dengan keluarga
yang didominasi perempuan,tetangga dan sanak saudara kebanyakan perempuan. Konsepnya
tentang dunia hanya dari sudut perempuan, maka jadilah dia berfisik lelaki
namun berperilaku perempuan. Ini beda
jika secara fisik dan hormon seperti di atas, namun kemudian diberi pendidikan
yang proporsional, hidup dalam lingkungan ideal, keluarga yang ideal, maka
potensi penyimpangan akan tereduksi.
Wah,
kok panjang juga ya?Okelah, sekarang terkait persoalan utama. Lha kalau LGBT
sekarang sudah menjadi fenomena, sudah ada, akan dikemanakan mereka?Agama
banyak yang menolak, komunitas sosial pada jijik, lingkungan kerja terbatas,
pemerintah juga belum sepenuhnya mewadahi, trus pie jal?
Menurut
saya, sekali lagi menurut saya lho ya.., Yang sudah ada, ayo kita terima,kita
rangkul mereka,kita tempatkan dia/merea menjadi bagian utuh dari kebhinekaan
kita di Semesta ini, sembari secra perlahan disadarkan untuk kembali ke
kitrahnya. Sementara itu pendidikan mengenai gender, seksual,sosial dengan
segala realitasnya menjadi prioritas di sekolah-sekolah. Dengan cara ini, persoalan LGBT bisa
tertangani dengan tepat. Oiya, menangani persoalan dengan baik dan benar itu
juga salah satu cara melaksanakan dhawuh KITab SUCI lho ya..
Sudah
dulu akhh, nanti kalau banyak banyak malah membuat banyak orang BT..
jangan pada bete ya,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar