Sabtu, 20 Februari 2016

Sekilas Usul Usil Tentang LBGT

Mengintip LGBT dari sudut Kitab Suci

LGBT atau elgebete sedang populer belakangan. Entah berproses secara alami, artiya memang sedang populer atau sengaja dipopulerkan, saya tidak tahu dan tidak hendak memotret hal tersebut. Saya hanya iseng saja, dan semoga keisengan ini berguna. Berguna secara positif, menjadikan orang berpikir lebih dalam atau secara negatif, marah dan ngamuk, ya silakan. Itu semua hak para pembaca yang budiman.

Saya ikutan mengamati kisah LGBT (elgebete, istilah pakde Student Law, Siswopranoto  lagibete) karena isu ini riuh rendah dipercakapkan. Kaum akademisi,pejabat,tukang sayur, agamawan, semuanya ikutan demam LGBT. Ada yang mengutuk, ada yang membela. Semua dengan argumentasi yang sangat luar biasa. Saya bingung, mau menolak atau mendukung, karena tidak punya argumentasi yang mumpuni, yang saya punya hanyalah leptop jadul dan waktu untuk menulis pemikiran saya. Sekali lagi, ini pikiran kaum pinggiran (istilah teman dari Pekalongan, https://www.facebook.com/dwiargomursito?ref=ts&fref=ts ), jadi ya, silakan dipahami dari kaca mata pinggiran, bukan dari pusat akademis.

Karena saya mahkluk beragama, maka saya akan mengintip dari sudut pandang ini. Intipan saya mungkin berbeda, sekali lagi silakan anda, para pembaca budiman yang menilainya. Dalam teks Kitab Suci, paling tidak agama yang saya anut, dikisahkan bahwa Yang Mahakuasa (ini istilah saya, biar adil tidak menyebut nama versi agama tertentu) menciptakan manusia itu LAKI-LAKI  (Bahasa Jawanya LANANGAN) dan Perempuan (Wedokan). Titik!!!! Tidak ada Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender. Itu semua tidak tertulis.

Nampaknya inilah yang dijadikan acuan oleh kaum penolak LGBT dan penolakan itu berbasis agama. Kalau melihat Kitab Suci dari sudut pendekatan Naratif, konsep penolakan ini sah-sah saja. Namun jika menggunakan pendekatan historis dan konteks keterbatasan narasi, maka perlu diperdebatkan. Kitab Suci ditulis (meminjam bahasa tetangga sebelah, diwahyukan) tidak dalam ruang hampa. Namun tertulis dalam konteks sosial tertentu. 

Bisa jadi dalam konteks Kitab suci ditulis, memang tidak ada itu yang namanya Lesbian, Gay, Biseksual dan transgender. Nah, kalau memang tidak ada, dan juga para penulis kitab suci tidak pernah/belum pernah sama sekali menjumpai realitas sosial LGBT, tidak mungkin mereka menuliskannya. Seperti analogi ini, tidak mungkin anak istri saya (saya tidak pernah mengandungnya, maka saya menyebutnya anak istri saya) akan bisa membayangkan  Victoria Beckham dalam angannya, karena belum pernah mengenal siapa Victoria Beckham.

Sedikit ulasan itu semoga bisa menyadarkan bahwa berpijak dari Kitab suci untuk menolak LGBT  dengan segala realitasnya, tidaklah tepat. Lalu pertanyaannya, lha anda itu menulis untuk mendukung atau menolak LGBT tah?Sebentar, saya akan lanjutkan.
Mendukung LGBT berdasar Kitab Suci juga penuh dengan persoalan. Apa saja itu?Jelas dalam sejarah peradaban dunia, manusia itu mahkluk yang berkembang biak dengan berhubungan seksual. Nahh, kalau LGBT itu “Salah Cetaknya” yang di sono, berarti alur berpikir orang beragama juga perlu ditata ulang. Masak “yang disono” salah cetak?

Jika demikian (yang mendukung LGBT) berarti memang LGBT itu kecelakaan sejarah. Oleh karena kecelakaan maka perlu dibenahi, perlu dibenarkan, perlu dibuat menjadi sesuai dengan garisnya.

Kembali ke fenomena LGBT. Itu semua terjadi, menurut saya lho ya, karena kontruksi kehidupan yang ada disekitarnya. Itu juga didukung oleh faktor biologis, bahwa misalnya hormon tubuhnya tidak ideal. Tidak idela seperti apa?semisal begini,fisiknya berjenis kelamin laki-laki, namun secara hormonal dia cenderung perempuan. Semua itu diperparah lingkungan sosial. Dia bergaul dengan keluarga yang didominasi perempuan,tetangga dan sanak saudara kebanyakan perempuan. Konsepnya tentang dunia hanya dari sudut perempuan, maka jadilah dia berfisik lelaki namun berperilaku perempuan.  Ini beda jika secara fisik dan hormon seperti di atas, namun kemudian diberi pendidikan yang proporsional, hidup dalam lingkungan ideal, keluarga yang ideal, maka potensi penyimpangan akan tereduksi.

Wah, kok panjang juga ya?Okelah, sekarang terkait persoalan utama. Lha kalau LGBT sekarang sudah menjadi fenomena, sudah ada, akan dikemanakan mereka?Agama banyak yang menolak, komunitas sosial pada jijik, lingkungan kerja terbatas, pemerintah juga belum sepenuhnya mewadahi, trus pie jal?

Menurut saya, sekali lagi menurut saya lho ya.., Yang sudah ada, ayo kita terima,kita rangkul mereka,kita tempatkan dia/merea menjadi bagian utuh dari kebhinekaan kita di Semesta ini, sembari secra perlahan disadarkan untuk kembali ke kitrahnya. Sementara itu pendidikan mengenai gender, seksual,sosial dengan segala realitasnya menjadi prioritas di sekolah-sekolah.  Dengan cara ini, persoalan LGBT bisa tertangani dengan tepat. Oiya, menangani persoalan dengan baik dan benar itu juga salah satu cara melaksanakan dhawuh KITab SUCI lho ya..

Sudah dulu akhh, nanti kalau banyak banyak malah membuat banyak orang BT..

jangan pada bete ya,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH