Rabu, 03 Februari 2016

NARASI KEHANCURAN bagian 2..



Kehancuran itu semakin nampak nyata. Seolah tidak ada yang bisa menghentikannya. Jangankan menghentikannya, sedangkan untuk menahannya saja teramat sulit. Apapun dan siapapun nampaknya tidak mampu menghentikan kehancuran itu. Sebenarnya ada "Sahabat" yang  semestinya bisa menolong menahan kehancuran itu, namun  nampaknya diapun gagal, malah justru mempercepat pembusukan yang menghancurkan.

Siapa sahabat yang sebenarnya masih bisa diharapkan itu? Dia bernama agama. Tidak dari negeri ini, dia dari tempat yang jauh di seberang sana.  Dia sebenarnya asing di negeri ini,namun dia sudah mampu seolah menjadi penghuni asli negeri ini. 
Dia dulu dikenal santun,ramah,baik, bersahabat,mendamaikan,merukunkan dan semua yang baik ada pada dirinya. Namun perlahan namun pasti, dia berhasil mengusir penghuni asli negeri ini. Menurutnya, penghuni asli negeri ini salah, sesat, kafir dan sinkretis. Makanya, perlahan namun pasti, si penghuni asli HANCUR lenyap entah ke mana.

Sahabat yang dulu ramah itu sekarang berwajah beda. Beku dan kaku. Dan jika ditatap dengan lebih mendalam, nampak kebengisan di balik wajahnya yang ramah, santun dan berwibawa itu. Dulu ia sangat memperjuangkan kerukunan namun sekarang justru menjadi tentara perpecahan. Di mana-mana dia –sahabat itu- menebar virus persengketaan. Kerukunan yang sudah terpelihara dan terjaga sekian waktu, bahkan seumur peradaban ini, dibuatnya busuk dan pelan-pelan hancur. 

Keramahan yang merupakan kekayaan kami, karena hanya itu kekayaan kami, mulai diusiknya. Ramah dan rukun itu boleh dan diijinkan, asal satu golongan. Sahabat itu mulai meninggalkan kami, dia malah mulai mendatangkan sahabat-sahabatnya. Kalau tidak salah, sahabatnya itu bernama Haram. Selalu dia berujar dan mengucapkan nama itu jika melihat keakraban kami.

Sungguh parah narasi kehancuran itu saat ini. Karena membela si tamu asing bernama agama itu, keluargapun tercerai berai. Orangtua dipisahkan dan dilarang karena berbeda. Dan katanya, menurut sahabat itu, semua disuruh oleh temannya yang bernama haram. Akhh sungguh mengerikan. Pakaian kamipun diusirnya, kata Kawan sahabatku itu, pakaian asli itu sesat, tidak sesuai dengan tulisan di buku ajaibnya. Akh..tidak taulah..

Aku sendiri tidak begitu paham makna tulisan di buku ajaibnya itu. Yang aku tahu, itu bukan tulisan yang biasa aku kenal. Namun justru sahabat kami itu selalu berpijak pada tulisan di buku ajaibnya itu. Padahal, tulisan itu sudah lama sekali usianya. Ribuan tahun mungkin. Bukan dalam alam berpikir kami,namun berasal nun jauh dari negeri asal sahabatku tadi..namun sungguh ironis, kami malah tunduk pada aturan-aturan yang ada di buku ajaib itu.
Pakaian kami adalah kehidupan kami. Pakaian itu bukan sekadar penutup tubuh kami, namun lambang hidup kami. Dengan pakaian itu kami menghayati diri kami bersama dengan alam semesta dan juga Sang Pencipta. Namun, sekali lagi, menurut sahabatku tadi itu tidak boleh karena tidak tertulis, tidak tercatat di buku ajaibnya.

Akan seperti apa kehidupan ini selanjutnya??
kehancuran semakin nyaring bersuara...

......bersambung....





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH