Kamis, 18 Februari 2016

Surat Untuk Sahabat..

SURAT UNTUK SAHABAT

Pagi tadi saat melihat siaran langsung sepakbola liga Champions eropa, aku berkomunikasi dengan beberapa sahabat melalui media sosial. Dalam percakapan singkat dan sederhana itu menimbulkan sebuah gairah akan sebuah kisah di waktu yang telah lalu. Maka, untuk sekedar memanggil kembali kenangan itu, kutulis surat ini untuk mereka semua.

Buat yang sedang bagian di Timur Nusantara ini, ingatkah engkau saat sore, sehabis angon dan ngarit selalu kita bal-balan. Hanya dengan bola plastik yang sudah usang, di halaman rumahmu yang waktu itu paling lebar. Kita selalu bermain dengan sangat total,bahkan sempat kakak iparmu bermuram durja waktu bola plastik itu mampir di genting dan juga mencium dinding rumahmu?

“Aku paling ingat saat Siwit nangis, karena dialah yang paing cengeng diantara kita.

Bukankah kita selalu melaluinya dengan girang, bahkan tanpa beban secuilpun. Sore adalah waktu yang kita damba bersama. Bersama Haryanto Senthot, engkau membimbing kami. Aku, Siwit, Yoko,Anggono Gendot. Kadang juga ada Temu, dan juga kang Kadi yang bersemangat meski ada keterbatasan. Sekarang tinggal Temu yang setia mengawal dan menjaga desa kita,diapun sudah bergeser, pindah ke rumah mertuanya. aku juga teringat, beberapa sudah mendahului kita berpulang ke keabadian, salam untuk alm. Kang Samto dan  alm.Kang Sakidi

Aku selalu ingat pada waktu lain, saat nonton tipi. Saat nunggu tinju ataupun siaran bal-balan. Mencari kesibukan demi waktu tengah malam, nggoreng sega, nyuluh iwak dan yang lain itu. Semua itu selalu mengenang dan menggenang dalam batin yang terkadang menari-nari di pelupuk mata ini. Juga, saat dirimu “sedang sakit buatan”, kau memelihara beberapa ekor burung kutilang, kau buat sayembara untuk mencarikan makanan burung itu. Walang Kayu dan Walang Gambuh, itu sasaran sayembaramu. Dan kami semangat sekali mencarinya, saat penghujung musim hujan,saat terik panas mulai menyengat. Seusai makan siang, kami berburu walang-walang itu di tegalan-tegalan sekitar dusun kita. Aku yakin kau ingat kawan.

Juga kuingat  selalu, pada waktu lain, saat usum poli, kau adalah idola. kau sangat bersemangat dengan gayamu dan selalu kau bisa melepaskan smesh-smesh tajam, meski postur tubuh termasuk terbatas. dan kutahu kemudian, bahwa dibalik semangat yang menyala dan kekuatan yang hebat itu terselib dukungan kerling manja si penghuni rumah. Kutahu, dia mbak Fitri.. salam juga jika sempat membaca tulisan ini..

Saat harus berpisah, aku bersekolah ke lain tempat dan kutahu dirimu hendak pergi lebih jauh, kita msih sering berkabar melalui surat. Waktu itu, suratmu laksana permata  yang senantiasa aku damba. Kini, dunia surat menyurat sudah punah, dan terganti dengan surat elektronik atau media sosial. Kadang aku bisa membilas kangen ini, namun takjua bisa membasuh segala kenangan akan kebersamaan. Akan malam-malam yang hanya berhiaskan lampu senthir, saat nggoreng dele penuh dengan kerikil...akhhh, masa itu..

Kini dirimu sudah menetap jauh dari dusun kita tercinta. Dusun yang melahirkan banyak kenangan itu kini mulai berwajah beda. Aku sadar, itu semua sebuah kemestian alam, meski jauh dilubuk hatiku, ada alasan utnuk tidak menerimanya.

Tulisanku ini hanya sekedar penyaluran energi yang mungkin tidak menyenangkanmu kawan, namun tidak mengapa. Aku akan tetap menulis. Menulis untuk kenangan itu sendiri. Dirimu sudah mantap di sana, jauh di ruang yang berbeda.  Akupun juga sudah meninggalkan kampung kita tercinta kawan, demi hidup dan kehidupanku. Mski tidak sejauh dirimu. Akupun juga sangat jarang menengok kampung kita, karena kedua orangtuaku, sama sepertimu, sudah pulang ke alam kelanggengan. Tinggal beberapa kerabat. Dan rumahku, aku sendiri tidak tahu, akan seperti apa esok hari.

Kadang saat senja tiba, dalam kebersamanku dengan keluargaku, istri dan anakanakku, di luar kesibukan hidupku, sering aku melamunkan masa-masa indah itu. Masa “surga” hidup ini. Hidup tanpa beban, mengalir bak air di kali-kali sekitar kampung tercinta kita. Ingat akan semua kenangan suka dan duka juga. Ingat saat hujan, saat panas, saat ngarit, saat ngangsu..dan...akh..ingat semua Kawan..

Kini, kita saling berpisah,meski setiap saat bisa saling menyapa. Kembali aku mau berkisah serta menanya, apakah suatu saat nanti kita akan melupakan desa tercinta kita?Dan untuk itu, semua kenangannya akan tertimbun oleh peradaban yang baru?
Desa kita kurasa mulai berbeda. Meski aku menyadari,itu bagian dari evolusi, bukankah peradabanpun berevolusi?Dan bukankah itu sebuah kemestian?Hanya ada secuil getir saat kumelihat desa kita. Ada sesuatu yang aneh merayapi guliran peradaban di desa kita. Ada tangan-tangan tak terlihat yang mencoba membuat batasa,menulis garis demarkasi. Ada sebuah gerakan lembut, namun berkekuatan besar sedang mencoba merubah arah angin desa tercinta kita. Namun, sekali lagi, itu hanya pandanganku kawan. Bukankah tidak selalu pandangan itu tepat?Dan dalam hal ini aku berharap pandanganku salah...

Sekian dulu kawan...nanti kulanjutkan kembali...selamat berkarya..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH