SURAT
UNTUK SAHABAT
Pagi tadi saat melihat siaran langsung sepakbola
liga Champions eropa, aku berkomunikasi dengan beberapa sahabat melalui media
sosial. Dalam percakapan singkat dan sederhana itu menimbulkan sebuah gairah
akan sebuah kisah di waktu yang telah lalu. Maka, untuk sekedar memanggil
kembali kenangan itu, kutulis surat ini untuk mereka semua.
Buat yang sedang bagian di Timur Nusantara ini,
ingatkah engkau saat sore, sehabis angon
dan ngarit selalu kita bal-balan. Hanya dengan bola plastik
yang sudah usang, di halaman rumahmu yang waktu itu paling lebar. Kita selalu
bermain dengan sangat total,bahkan sempat kakak iparmu bermuram durja waktu
bola plastik itu mampir di genting dan juga mencium dinding rumahmu?
“Aku
paling ingat saat Siwit nangis, karena dialah yang paing cengeng diantara kita.
Bukankah kita selalu melaluinya dengan girang,
bahkan tanpa beban secuilpun. Sore adalah waktu yang kita damba bersama. Bersama
Haryanto Senthot, engkau membimbing kami. Aku, Siwit, Yoko,Anggono Gendot. Kadang
juga ada Temu, dan juga kang Kadi yang bersemangat meski ada keterbatasan. Sekarang
tinggal Temu yang setia mengawal dan menjaga desa kita,diapun sudah bergeser,
pindah ke rumah mertuanya. aku juga teringat, beberapa sudah mendahului kita berpulang ke keabadian, salam untuk alm. Kang Samto dan alm.Kang Sakidi
Aku selalu ingat pada waktu lain, saat nonton
tipi. Saat nunggu tinju ataupun siaran bal-balan.
Mencari kesibukan demi waktu tengah malam, nggoreng
sega, nyuluh iwak dan yang lain itu. Semua itu selalu mengenang dan
menggenang dalam batin yang terkadang menari-nari di pelupuk mata ini. Juga,
saat dirimu “sedang sakit buatan”,
kau memelihara beberapa ekor burung kutilang, kau buat sayembara untuk
mencarikan makanan burung itu. Walang
Kayu dan Walang Gambuh, itu
sasaran sayembaramu. Dan kami semangat sekali mencarinya, saat penghujung musim
hujan,saat terik panas mulai menyengat. Seusai makan siang, kami berburu walang-walang
itu di tegalan-tegalan sekitar dusun kita. Aku yakin kau ingat kawan.
Juga kuingat selalu, pada waktu lain, saat usum poli, kau adalah idola. kau sangat bersemangat dengan gayamu dan selalu kau bisa melepaskan smesh-smesh tajam, meski postur tubuh termasuk terbatas. dan kutahu kemudian, bahwa dibalik semangat yang menyala dan kekuatan yang hebat itu terselib dukungan kerling manja si penghuni rumah. Kutahu, dia mbak Fitri.. salam juga jika sempat membaca tulisan ini..
Saat harus berpisah, aku bersekolah ke lain tempat
dan kutahu dirimu hendak pergi lebih jauh, kita msih sering berkabar melalui
surat. Waktu itu, suratmu laksana permata
yang senantiasa aku damba. Kini, dunia surat menyurat sudah punah, dan
terganti dengan surat elektronik atau media sosial. Kadang aku bisa membilas
kangen ini, namun takjua bisa membasuh segala kenangan akan kebersamaan. Akan malam-malam
yang hanya berhiaskan lampu senthir, saat nggoreng dele penuh dengan
kerikil...akhhh, masa itu..
Kini dirimu sudah menetap jauh dari dusun kita
tercinta. Dusun yang melahirkan banyak kenangan itu kini mulai berwajah beda. Aku
sadar, itu semua sebuah kemestian alam, meski jauh dilubuk hatiku, ada alasan
utnuk tidak menerimanya.
Tulisanku ini hanya sekedar penyaluran energi yang
mungkin tidak menyenangkanmu kawan, namun tidak mengapa. Aku akan tetap
menulis. Menulis untuk kenangan itu sendiri. Dirimu sudah mantap di sana, jauh
di ruang yang berbeda. Akupun juga sudah
meninggalkan kampung kita tercinta kawan, demi hidup dan kehidupanku. Mski tidak
sejauh dirimu. Akupun juga sangat jarang menengok kampung kita, karena kedua
orangtuaku, sama sepertimu, sudah pulang ke alam kelanggengan. Tinggal beberapa
kerabat. Dan rumahku, aku sendiri tidak tahu, akan seperti apa esok hari.
Kadang saat senja tiba, dalam kebersamanku dengan
keluargaku, istri dan anakanakku, di luar kesibukan hidupku, sering aku
melamunkan masa-masa indah itu. Masa “surga” hidup ini. Hidup tanpa beban,
mengalir bak air di kali-kali sekitar kampung tercinta kita. Ingat akan semua
kenangan suka dan duka juga. Ingat saat hujan, saat panas, saat ngarit, saat
ngangsu..dan...akh..ingat semua Kawan..
Kini, kita saling berpisah,meski setiap saat bisa
saling menyapa. Kembali aku mau berkisah serta menanya, apakah suatu saat nanti
kita akan melupakan desa tercinta kita?Dan untuk itu, semua kenangannya akan
tertimbun oleh peradaban yang baru?
Desa kita kurasa mulai berbeda. Meski aku
menyadari,itu bagian dari evolusi, bukankah peradabanpun berevolusi?Dan
bukankah itu sebuah kemestian?Hanya ada secuil getir saat kumelihat desa kita. Ada
sesuatu yang aneh merayapi guliran peradaban di desa kita. Ada tangan-tangan
tak terlihat yang mencoba membuat batasa,menulis garis demarkasi. Ada sebuah
gerakan lembut, namun berkekuatan besar sedang mencoba merubah arah angin desa
tercinta kita. Namun, sekali lagi, itu hanya pandanganku kawan. Bukankah tidak
selalu pandangan itu tepat?Dan dalam hal ini aku berharap pandanganku salah...
Sekian dulu kawan...nanti kulanjutkan
kembali...selamat berkarya..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar