Senin, 22 Februari 2016

Cara Rembulan Mengajariku Setia

KESETIAAN REMBULAN


Minggu malam,tanggal 21 februari 2016, setelah seharian diguyur hujan. Dingin masih setia menyelimuti alam semesta. Semuanya terasa tenang, diam dan tak menunjukkan gerak yang berlebihan. Ketenangan alam saat malam memang terkadang membuat suasana mencekam.

Demi pilihan hidup yang telah kuambil sebelas tahun silam, diantara rengek tangis anak-anakku,kubergegas meninggalkan tempat tinggal. Menembus malam,rintik lembut gerimis,kabut tipis. Jalan masih basah,malah terkesan becek,beberapa genangan air menggenangi lekukan-lekukan jalan yang rusak, mengapa belum diperbaiki?Aku sendiri tidak tahu.

Sampai tujuan, mengadakan percakapan. Usai, kemudian bergegas kembali menuju tempat tinggal. Hening malam semakin terasa. Kabut semakin tebal dan dingin semakin menunjukkan kuasanya yang menggenggam malam. Menelusuri jalanan  desa dengan keletihan raga luas biasa. Melewati  beberapa desa dengan rumah-rumah yang sudah sepi, mungkin terlelap sudah semua penghuninya. Hanya lampu-lampu saja yang dibiarkan setia berjaga sepanjang gelap dan dingin malam.

Saat melintasi persawahan, kabut semakin tebal. Dan sepi semakin terasa. Malam ini semestinya gulita ikut menyelimuti suasana, namun aneh. Ada sedikit nuansa terang hadir dalam malam yang semakin beranjak ke pusatnya. Kabut itu tidak menambah gulita, namun justru terlihat putih keabu-abuan,laksana selimut bidadari alam dongeng masa kecil kami. Penasaran, aku berhenti, persis di jalanan tengah persawahan. Gemericik air bening dari sungai kecil mengairi sawah terdengar lembut.

Suasana luar malam itu sungguh senyap dan dingin terasa menghujam tulang. Langit tidak segelap malam-malam lain karena Almanak menunjukkan tanggal 12, berarti Sang rembulan semestina berkilau malam ini. Namun mendung dan kabut menghalangi cahaya peraknya. Mendung di atas selalu bergerak, tidak pernah dia diam, dan dalam dinamika geraknya terkadang melepas tutupnya dari sinar rembulan. Saat itulah cahaya indah rembulan menyapa bumi, dan saya di dalamnya. Ternyata rembulan itu tetap bercahaya meski cahayanya tidak sampai ke bumi karena terhalang kabut dan mendung.

Dalam dingin aku bersyukur karena ajaran alam ini. Rembulan itu selalu bersinar meski tidak selalu dirasakan sinarnya. Juga untuk manusia, belum tentu yang tidak terlihat baik itu tidak melakukan kebaikan, bisa jadi kebaikannya tertutup. Yang menutupi bisa saja bagian dari hidupnya, seperti mendung dan kabut yang merupakan bagian dari alam semesta, bersama rembulan juga.

Untuk saudaraku semua, janganlah cepat menuduh bahwa tidak ada kebaikan pada sahabat,saudara atau rekan di sekitar. Bisa jadi kebaikannya sedang tertutup oleh yang lain. Juga, jika sinar baik dari tindakan kita tidak dirasakan orang lain, jangan marah,jangan mundur, jangan kecewa. Bisa jagi sedang ada sesuatu yang menghalangi. Tetaplah bersinar..

Sudah terlalu malam kawan, biarlah rembulan tatap setia dengan jalan hidupnya. Letih raga ini memanggilku menuju alam peraduan.. 
Selamat Bersinar..




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH