DUA SISI KEHIDUPAN
Semenjak
pagi cuaca suram, mendung kemudian yang hadir dan bukan sang mentari. Mendung dan
kabut pagi ini sungguh membuat suasana benar-benar bernuansa malam, meski sudah
sekitar pukul 05.30. dan benar, setengah jam kemudian gerimis datang dan
dilanjutkan hujan. Yahhh...hujan di pagi hari.
Hujan di
pagi hari membuat suasana dingin dan itu yang membuat tubuh terpanggil untuk ke
tempat tidur. Menarik selimut sepertinya hal yang paling menyenangkan. Namun keadaanku
berkata lain. Ada tugas yang mesti kukerjakan. Pekerjaan rutin, mengantar anak-anak
ke sekolah. Merasakan dingin dan melihat
suasana gelap di lur, jujur aku berharap anak-anak enggan berangkat ke
sekolah,sehingga bisa tidur lagi. Namun ternyata harapan tidak seperti
kenyataan. Dua anak yang sudah bersekolah ngotot berangkat meski hujan semakin
lebat. Jadilah kami bersiap.
Agak tergesa
namun dalam lubuk hati ini tumbuh rasa bangga yang menyala. Bangga akan tekad
anak-anak yang kuat untuk ke sekolah meskipun hujan menghalangi. Bangga bahwa
semangat kanak-kanak itu bisa menjadi cermin hidup bagi siapa saja. Benar kata
pepatah,
“Pelajaran paling murni di
dunia ini adalah dari anak-anak. Sikap dan tindakannya adalah cermin kejernihan
dan ketulusan”
Perjalanan menuju sekolah anak-anak dimulai. Yang paling
kecil di rumah dengan yang biasa momong, kami berlima. Ada satu anak tetangga yang
menumpak perjalanan kami. Hujan jalanan tetap saja rami karena memang jam
sibuk. Setelah mendekati sekolah anak pertama, jalanan mulai sangat padat dan akhirnya macet.
Awalnya
istri hendak mengantar ke dalam kelas anak pertama, dengan alasan terlambat. Namun
karena anak pertama berani mengatakan yterlambat, maka kami urungkan dan lanjut
ke sekolah anak nomor dua. Lagi-lagi, kami diajari keberanian tulus seorang
anak kecil.
“Kata
bapak, ini kan terlambat bukan karena kesengajaan. Ini karena hujan dan jalanan
macet. Jadi biar saya saja yang bilang ke Bu guru”
Sekali
lagi, sebuah teladan. Jalanan semakin macet dan hujan semakin deras emngguyur
kota sejuk meski mungil di tengah Jawa Tengah ini. Jumlah kendaraan semakin
banyak dan kemacetan semakin terasa. Untuk bergerak 20 meter saja istri
menghitung sekitar 28 menit. Sungguh terlalu, kata bang haji....
Yang aneh-atau
menarik ya?- dalam kemacetan hebat untuk ukuran kecil ini, Petugas resmi
bernama polisi justru tidak nongol mengatur keruweta lalu lintas. Yang ada
malah para satpam instansi di sekitar jalan raya yang membantu mengatur laju
lalu lintas. Aneh, ke mana saja para pejabat berseragam yang seragamnya saya
yakin tidak beli sendiri, beda dengan anak sekolah itu. Apakah mereka sedang
sibuk di tempat lain???Entahlahhh..
Anak kedua
saya terlambat satu jam namun tetap ngotok sekolah. Semangat murni yang mesti
kami jaga. Dan sewaktu menunggu anak ke dua kami, saya masuk sebuah warung
kopi. Biasalah, nongkrong..mau pulang tanggung, masuk halaman sekolah yang ada
hanya emak-emak ngrumpi.....
Nahhh..di
dalam kedai kopi ini sayamenjumpai pengalaman berharga (paling tidak untuk
saya). Ada pengunjung berpakaian pejabat negeri ini, juga sedang ngopi. Di dadanya
ada nama terpampang (maaf tidak akan saya sebutkan namanya). Dan dia seorang
anggota polisi, dari seragamnya terlihat. Ternyata para pengunjung sedang
berbincang, dan topik perbincangan adalah keterlambatan anak-anak sekolah
datang ke sekolah. Beberapa bilang macet dan tidak ada yang mengatur lalu
lintas.
Mendengar
komentar ini, si pengunjung yang berpakaian dinas berkomentar. “Udan-udan kok
kurang gaean, ben wae dalan macet...”yang artinya “hujan begini kok suruh kerja
hujan-hujanan, biar saja jalanan macet...”
Duhhh
Gusti...lha saudara ini kan kerja di bayar oleh rakyat dengan tulus, lha hujan
kaya gini saja sudah enggan bekerja?Kok kalah semangat dengan anak kecil yang
masih sekolah?Yang mesti tidak dibayar malah harus membayar, rela
berhujan-hujan demi sebuah waktu pembelajaran?tidak malukan saudara dengan
pakaian dan gaji yang saudara terima namun tanpa tulus bekerja?
Inikah wajah
sejati anak negeri ini?
Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar