Sabtu, 13 Februari 2016

Sisi Lain Anak negeri

DI SEBUAH PERSIMPANGAN JALAN

Jika anda tinggal di sekitar daerah Tuntang, utamanya yang di sekitar watuagung,saat ke Salatiga pasti ada beberapa pilihan jalur. Salah satu pilihan jalur itu adalah jalur Rembes-Sembir-Salatiga. Saya tidak akan mengulas apapun tentang Sembir, hanya mau bercerita sedikit tentang salah satu sudut jalan di antara jalur itu.

Jika dari Salatiga, setelah hutan Karet yang populer dengan sebutan Alaska (Alas Karet), maka akan belok kanan meninggalkan desa sembir. Nah di situlah ada jalan bercabang. Di jalan bercabang ini ada dua pilihan untuk pemakai jalan dari arah salatiga. Mau menerobos jalur dari arah Tuntang atau agak berbelok sedikit, meniti jalur yang disediakan, namun resikonya lebih memutar. Kebanyakan pengguna jalan akan menerobos jalur pintas, meski mengundang resiko.

Nahh, siang tadi,saya juga pulang dari Salatiga. Saya juga melewati jalur itu. Di depan saya melaju mobil Grand livina putih, nomor polisi lupa namun yang saya ingat adalah H....LT, artinya dia orang Kabupaten Semarang. Saat mendekati jalur bercabang usai Alaska, say berpikir, pastilah mobil ini akan tertib. Namun apa yang terjadi, sesampai di persimpangan itu, ternyata mobil itu  memilih menerobos jalur dari arah Tuntang, celakanya dari arah berlawanan ada motor melaju dengan kencang. Tabrakan bisa dihindarkan, namun keadaan “Hampir” kecelakaan tadi mengundang dua pemakai jalan berhenti dan siap siaga beradu argumentasi.

Pengemudi motor marah,sementara pengemudi mobil juga marah. Adu argumen tegang terjadi. Pengemudi mobil (Nampaknya orang kaya), marah dengan memaki pengendara motor, pengendara motor juga tidak mau kalah karena merasa sudah melewati jalur yang benar. Karena menyaksikan adu argumen itu, saya mencoba menyapa keduanya. Namun si pengemudi mobil, nampaknya merasa tidak bersalah mencoba mengatakan bahwa dia “Dekat” dengan seorang pejabat lalu lintas.

Saya mengatakan kepada mereka berdua, bahwa sebenarnya kesalahan terletak pada pengendara mobil, karena sudah dibuatkan jalur. Agak lama meyakinkannya, dan akhirnya bisa menyadari. Saling memaafkan terjadi, keindahan terasakan.

Namun menarik untuk direnungkan, betapa kesemena-menaan, upaya pelanggaran dan penggunaan kekuasaan masih menghiasi wajah rakyat negeri ini.  Merasa jalurnya sepi dan tidak ada polisi penjaga, setiap orang tergoda untuk melanggar. Ia tidak sadar bahaya yang mengancam dirinya dan orang lain. Merasa dekat dengan pejabat juga masih mewarnai pola relasi masyarakat negeri ini. Merasa dekat maka ia merasa babas. Apakah ini terjadi akibat kesalahan pejabat juga, yang sering minta dispensasi jika dirinya, keluarganya melakukan pelanggaran?Ataukah ada uang yang bermain di balik semuanya?

Akhh, saya tidak begitu paham, hanya saya melihat bahwa praktik-praktik pelanggaran itu masih ramai terjadi di seluruh sudut hidup negeri ini..

Salam hangat...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH