DI
SEBUAH PERSIMPANGAN JALAN
Jika anda tinggal di sekitar daerah Tuntang,
utamanya yang di sekitar watuagung,saat ke Salatiga pasti ada beberapa pilihan
jalur. Salah satu pilihan jalur itu adalah jalur Rembes-Sembir-Salatiga. Saya tidak
akan mengulas apapun tentang Sembir, hanya mau bercerita sedikit tentang salah
satu sudut jalan di antara jalur itu.
Jika dari Salatiga, setelah hutan Karet yang
populer dengan sebutan Alaska (Alas Karet), maka akan belok kanan meninggalkan
desa sembir. Nah di situlah ada jalan bercabang. Di jalan bercabang ini ada dua
pilihan untuk pemakai jalan dari arah salatiga. Mau menerobos jalur dari arah
Tuntang atau agak berbelok sedikit, meniti jalur yang disediakan, namun
resikonya lebih memutar. Kebanyakan pengguna jalan akan menerobos jalur pintas,
meski mengundang resiko.
Nahh, siang tadi,saya juga pulang dari Salatiga. Saya
juga melewati jalur itu. Di depan saya melaju mobil Grand livina putih, nomor
polisi lupa namun yang saya ingat adalah H....LT, artinya dia orang Kabupaten
Semarang. Saat mendekati jalur bercabang usai Alaska, say berpikir, pastilah
mobil ini akan tertib. Namun apa yang terjadi, sesampai di persimpangan itu,
ternyata mobil itu memilih menerobos
jalur dari arah Tuntang, celakanya dari arah berlawanan ada motor melaju dengan
kencang. Tabrakan bisa dihindarkan, namun keadaan “Hampir” kecelakaan tadi
mengundang dua pemakai jalan berhenti dan siap siaga beradu argumentasi.
Pengemudi motor marah,sementara pengemudi mobil
juga marah. Adu argumen tegang terjadi. Pengemudi mobil (Nampaknya orang kaya),
marah dengan memaki pengendara motor, pengendara motor juga tidak mau kalah
karena merasa sudah melewati jalur yang benar. Karena menyaksikan adu argumen
itu, saya mencoba menyapa keduanya. Namun si pengemudi mobil, nampaknya merasa
tidak bersalah mencoba mengatakan bahwa dia “Dekat” dengan seorang pejabat lalu
lintas.
Saya mengatakan kepada mereka berdua, bahwa
sebenarnya kesalahan terletak pada pengendara mobil, karena sudah dibuatkan
jalur. Agak lama meyakinkannya, dan akhirnya bisa menyadari. Saling memaafkan
terjadi, keindahan terasakan.
Namun menarik untuk direnungkan, betapa
kesemena-menaan, upaya pelanggaran dan penggunaan kekuasaan masih menghiasi
wajah rakyat negeri ini. Merasa jalurnya
sepi dan tidak ada polisi penjaga, setiap orang tergoda untuk melanggar. Ia tidak
sadar bahaya yang mengancam dirinya dan orang lain. Merasa dekat dengan pejabat
juga masih mewarnai pola relasi masyarakat negeri ini. Merasa dekat maka ia
merasa babas. Apakah ini terjadi akibat kesalahan pejabat juga, yang sering
minta dispensasi jika dirinya, keluarganya melakukan pelanggaran?Ataukah ada
uang yang bermain di balik semuanya?
Akhh, saya tidak begitu paham, hanya saya melihat
bahwa praktik-praktik pelanggaran itu masih ramai terjadi di seluruh sudut
hidup negeri ini..
Salam hangat...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar