SAAT
DOA DITITIK SEPI
Dalam
keadaan normal, manusia beriman sering berkelakuan luar biasa. Juga dalam
perihal doa. Seolah hendak menunjukkan bahwa kesalehan itu diukur hanya dengan
doa,pakaian agamis,kata-kata santun dan rajin pergi ke gedung ibadah. Namun iman
mereka belum teruji dalam ancaman maut, dalam keadaan bahwa batas antara hidup
dan mati sudah tidak bisa dilukiskan kembali.
"Doa dalam keadaan sejahtera hanya sebuah drama kemunafikan. Doa dalam titik terendah kehidupan, itulah doa Sejati"
Hari
itu kami harus mengunjungi sebuah tempat di sekitar kepulauan di dekat propinsi
sumatra barat. Kami mesti bertarung dengan samudera Hindia yang terkenal dengan
ombaknya yang ganas (hanya) dengan sebuah sampan sangat kecil dan keadaan semakin mengerikan
saat motor sampan ini mati. Pada posisi jauh, puluhan kilometer dari lepas
pantai, saat perhiasan samudera Hindia bernama ombak sedang menari dengan
tarian keras, pada saat itulah hidup seolah tidak merasa apapun.
Hanya
diam. Diam dengan kepasrahan total. Tidak ada bayangan apapun selain diri,alam
dan Sang Pencipta. Tidak ada bayangan orangtua, istri, anak apalagi rekan dan
sahabat. Saat itu, diam adalah tindakan paling sempurna. Mulut terkunci untuk
mengunggah doa,mata terpejam. Kata-kata sudah tiada mampu terucap karena
keadaan sangat kritis. Diam dan diam yang bisa dikerjakan. Dan dalam diam
itulah justru perasaan menjadi lebih menyatu dengan alam. Menyatu dengan
ombak,dengan angin, dengan seluruh samudera. Dalam posisi bahwa batas antara
hidup dan mati , dalam dengung ombak yang menggelora,doa dalam diam itulah
tindakan sempurna.
"Doa adalah komunikasi ciptaan dengan Sang Pencipta, saat berkata, sejatinya dia sedang merampas waktu Sang Pencipta. Diam berarti memberi ruang dan waktu untuk Sang Pencipta Bersabda"
Pada
posisi itu kesalehan ritus tidak ada maknanya, pakaian agamis tidak berfungsi,
kata-kata santun juga tidak bermakna. Yang
bermakna adalah diam dan diam. Dalam ke-diam-an itu, diri manusia sedang sangat
dekat dengan Sang Pencipta. Diamlah doa yang paling sempurna. Diamlah komunikasi
sejati manusia dengan Sang Pencipta, karena saat diam, justru itu sedang
memberi waktu Sang Penguasa Bersabda.
Sabda
Sang Pencipta untukku saat itu adalah ombak, sampan kecil dan lautan luas. Di situlah
aku merasa sebagai ciptaan yang penuh batas. Dari situlah ketakutan bukan
sesuatu yang mesti diusir pergi, namun mesti diajak berefleksi. Di pelukan
samudera Hindia dengan segala ombaknya, aku semakin mengerti ke-Maha-an Sang
Pencipta.
Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar