Jumat, 26 Februari 2016

Doa Dalam Pelukan Samudera Hindia

SAAT DOA DITITIK SEPI

Dalam keadaan normal, manusia beriman sering berkelakuan luar biasa. Juga dalam perihal doa. Seolah hendak menunjukkan bahwa kesalehan itu diukur hanya dengan doa,pakaian agamis,kata-kata santun dan rajin pergi ke gedung ibadah. Namun iman mereka belum teruji dalam ancaman maut, dalam keadaan bahwa batas antara hidup dan mati sudah tidak bisa dilukiskan kembali.

"Doa dalam keadaan sejahtera hanya sebuah drama kemunafikan. Doa dalam titik terendah kehidupan, itulah doa Sejati"

Hari itu kami harus mengunjungi sebuah tempat di sekitar kepulauan di dekat propinsi sumatra barat. Kami mesti bertarung dengan samudera Hindia yang terkenal dengan ombaknya yang ganas (hanya) dengan sebuah sampan  sangat kecil dan keadaan semakin mengerikan saat motor sampan ini mati. Pada posisi jauh, puluhan kilometer dari lepas pantai, saat perhiasan samudera Hindia bernama ombak sedang menari dengan tarian keras, pada saat itulah hidup seolah tidak merasa apapun.

Hanya diam. Diam dengan kepasrahan total. Tidak ada bayangan apapun selain diri,alam dan Sang Pencipta. Tidak ada bayangan orangtua, istri, anak apalagi rekan dan sahabat. Saat itu, diam adalah tindakan paling sempurna. Mulut terkunci untuk mengunggah doa,mata terpejam. Kata-kata sudah tiada mampu terucap karena keadaan sangat kritis. Diam dan diam yang bisa dikerjakan. Dan dalam diam itulah justru perasaan menjadi lebih menyatu dengan alam. Menyatu dengan ombak,dengan angin, dengan seluruh samudera. Dalam posisi bahwa batas antara hidup dan mati , dalam dengung ombak yang menggelora,doa dalam diam itulah tindakan sempurna.

"Doa adalah komunikasi ciptaan dengan Sang Pencipta, saat berkata, sejatinya dia sedang merampas waktu Sang Pencipta. Diam berarti memberi ruang dan waktu untuk Sang Pencipta Bersabda"

Pada posisi itu kesalehan ritus tidak ada maknanya, pakaian agamis tidak berfungsi, kata-kata  santun juga tidak bermakna. Yang bermakna adalah diam dan diam. Dalam ke-diam-an itu, diri manusia sedang sangat dekat dengan Sang Pencipta. Diamlah doa yang paling sempurna. Diamlah komunikasi sejati manusia dengan Sang Pencipta, karena saat diam, justru itu sedang memberi waktu Sang Penguasa Bersabda.

Sabda Sang Pencipta untukku saat itu adalah ombak, sampan kecil dan lautan luas. Di situlah aku merasa sebagai ciptaan yang penuh batas. Dari situlah ketakutan bukan sesuatu yang mesti diusir pergi, namun mesti diajak berefleksi. Di pelukan samudera Hindia dengan segala ombaknya, aku semakin mengerti ke-Maha-an Sang Pencipta.

Salam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH