Pada
Sebuah Pagi
Sebuah
kenangan tentang sosok ibu (simbok)
Tidak
seperti biasanya, aku terlelap ketika jarum jam belum melintasi angka 12.
Mungkin letih,mungkin juga aku kekenyangan. Yang pasti aku terlelap, bersama
kedua anak. Entah apa sebabnya pula, saat hampir dini hari, aku terjaga,kemudian sadar bahwa tugas dan tanggungjawab belum usai,maka segera kuberingsut menuju
ruangan tempatku biasa berkarya.
Saat separo jalan aku mengerjakan
pekerjaan yang menjadi tanggungjawabku,aku mendengar ayam jantan berkokok. Hal
yang biasa tentunya, karena memang kokok ayam jantan pada pagi hari –dulu-
sering dipakai sebagai penanda bahwa hari telah berganti. Suara itu tidak tidak
sendiri ternyata, bersama dengan azan dan peringatan bahwa waktu sudah tiba.
Bukan kedua suara itu yang menarik
perhatianku. Justru dengan suara kokok ayam di waktu sepagi ini seolah
memanggil ingatanku akan sebuah waktu. Yah,,,waktu dulu yang telah
berlalu,waktu masih ada ibu (simbok). Dulu, sepagi ini beliau sudah bangun
meski selalu berangkat tidur saat larut telah tiba. Dulu, beliau selalu paling
awal membuka hari, saat semua orang di dalam rumah masih sibuk dengan segala
mimpi dalam dekapan selimut kusam dan tikar robek yang terkadang baunya sangat
khas dan sulit dilupakan.
Ibu, selalu menghadirkan rinduku.
Rinduku untuk mengenang dan mengingatmu. Terkadang banyak hal kujumpai
memanggil rinduku akan sosok dirimu. Sosok yang sabar dan penuh semangat
bekerja, meski baru kutahu setelah berpulangmu bahwa ternyata dalam tubuhmu,kau
simpan sembilu yang justru melukaimu. Seandainya dulu aku kau beri tahu dan aku
kemudian berjuang, mungkin saat ini engkau akan masih bersama dengan kami.
Masih bisa kberharap melihatmu menimang danmenggendong serta memanjakan dua
cucumu dariku. Karena aku tahu ibu,
itulah yang selalu kaurindu.
Sepagi ini, dulu, engkau telah
bersibuk diri di dapur. Menyalakan tungku, merebus air, erebus kedelai untuk
membuat tempe. Takpernah engkau membangunkan kami, karena engkau selalu
berpendapat,” Wong turu kui wong sing paling merdika, mula aja pisan-pisan
ngganggu. Yen wis wancine tangi ngko lakyo tangi,,,”.
Sungguh mulia kesadaranmu
itu. Dan manakala aroma masakan sederhanamu hinggap di hidungku, terjagalah
aku. Sebelum kau berangkat berkeliling menjajakan sayuran dan tempe buatanmu,
kau berpesan “Sebelum berkarya, sarapanlah dulu”. Dan itu selalu aku lakukan
meski aku juga tahu, hal itu malah takpernah kau lakukan. Kau berjuang sedari
wagi sampai malam, mengelilingi desa demi desa tuk menjajakan sayuran dan
tempe.
Terkadang uang lembaran-lembaran kumal rupiah kau dapatkan,terkadang
kepingan-kepingan logam,terkadang barteran barang-barang kau kumpulkan dan
bahkan malah terkadang ada yang berbisik lirih,”Aku ngutang sik yo,,,”. Dan
senyumu, walau letih terlihat dari sebening keringat di dahimu, masih kau
sunggingkan.
Saat pagi ini, kepingan-kepingan
kenanganku bersamamu terlintas jelas kembali. Suara air kau tuangkan dari Jun
dan ember yang kau ambil dari sumur tetangga, dan itu kau lakukan manakala aku
masih tertidur,jelas menggema kembali dalam ruangan kenangan ini. Sesuatu yang
terkadang memanggil air mataku tuk menetes, meski lamban dari ujung mata ini.
Kenangan yang juga akan terpanggil saat malam, sepulangku dari aktifitas
harianku dan kudapati sosok bapak yang terggolek lemah dalam
kelumpuhannya,kudapati pada tiga sosok yang terlelap,istri dan kedua anakku.
Aku ingat pesanmu, sesaat sebelum kau akhiri derita akibat sakitmu, kau
memintaku untuk menjaga bapak. Aku sudah lakukan bu,wis tak lakoni mbokk…Juga
welingmu untuk segera membangun rumah tangga, juga sudah aku lakukan. Sekarang,
gurauan dan teriakan saling berebut mainan dari dua buah kasihku selalu
menemani hari-hariku ibu. Aku tidak tahu dengan jelas, apakah engkau bisa
melihat dari alammu tentang keadaanku sekarang ini, harapku kau bisa dan dengan
itu,kau bisa tersenyum meski kami takbisa menyapamu langsung.
Terkadang,
sengaja kukatakan pada kedua cucumu cerita-cerita tentangmu. Dan si kecil.yang
oleh bapak dipanggil “Kunil” karena belum mau makan nasi,sampai usia dua tahun
akan bertanya dalam ceracaunya,’bapak,,mbbbah mimi,,,mbahh mimi,,”Akh,,,betapa
bahagiamu ibu andai saja kau dengar langsung suara itu meski aku yakin dan
percaya, saat ini kau lebih bahagia.
Saat pagi seperti ini,aku selalu
merindumu ibu. Sekarang,aku akan mantapkan langkah,akan kusediakan selalu
waktuku, selalu sepagi ini untuk memanggil rinduku untukmu…
Kuangkat wajahku,kulihat benda
penunjuk waktu. Ternyata sejam telah berlalu kugerakkan jemariku pada tuts
computer portable ini. Dan di monitor juga menunjukkan hitungan waktu yang
sama. Akh,,,ternyata rinduku padamu ibu,memanggil gairah semangat hidupku,,
Suara mercon itu kemudian mengakiri
kenangan rinduku untukmu saat ini, dan juga diikuti tangisan si Kunil yang
memanggilku tuk dibuatkan minuman. Salam kangen dari kami ibu…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar