Di Area PARKIR
Masih di sekitar hujan. Setelah pagi menjumpai
pengalama yang kontras antara anak kecil yang tetap bersemangat ke sekolah
dengan petugas yang menghindari kerja karena hujan, siangnya ada pengalaman
yang sungguh membuat terharu dan juga bangga.
Kalau pagi mengantarkan berangkat sekolah, maka
sebagai orang yang sedang belajar bertanggungjawab, saya juga siap sedia
menjemput anak-anak seusai mereka belajar. Anak nomor dua masuk jam 7 pulang
jam 9, jadi mesti menunggui mereka, anak pertama masuk jam 7.15 pulang jam
12.45. setelah mengantarkan anak kedua
pulang, istirahat sejenak lalu saya bergegas untuk menjemput anak pertama. Beberapa
keperluan terdaftar untuk sekalian dibeli sembari menjemput anak pulang dari
sekolah.
Mendung kembali datang meski tak diundang. Panas yang
hadir sekilas seolah terusir karena kecemburuan mendung, mungkin jika bisa
bercakap mereka –panas dan hujan itu- akan saling menuduh. Jika musim panas,
total dikuasai si panas, namun jika musim hujan, panas masih sering hadir
meminta jatah datang.
Dan saat anak keluar dari ruang kelas,gerimis
datang kembali.
Agak tergopoh dia berlari menuju kendaraan yang terparkir agak
jauh dari area sekolah. Langsung naik karena hujan dan kemudian bertanya karena
tidak langsung menuju arah tempat tinggal. Kami menuju pasar untuk membeli buah
untuk kami konsumsi.
“Agak aneh dan miris sekali, kami hidup dan tinggal di desa,tanah
dan lahan luas, namun untuk sayur dan buah kami mesti membelinya. Inikag keadilan
itu?”
Di sekitar pasar inilah kisah yang hendak saya
ceriterakan. Usai berbelanja membeli sayur dan buah,kami segera bersiap untuk
pulang. Tukang parkir kami cari-cari namun belum terlihat, karena banyaknya
antrian kendaraan yang hendak ke luar. Dan beberapa saat kemudian, bapak tukang
parkir, kelihatan dari rompinya, muncul mendekat dan segera memberi aba-aba
agar tahan sebentar. Daripada nanti kami memberi biaya parkir sambil jalan,
maka segera saya keluarkan uang 2000an ke arah beliau.
Aneh, beliau tidak segera
menerimanya, karena masih mengatur kendaraan di belakang kami. Dan saat dekat ke kendaraan kami, beliau saya panggil. Belum
sempat saya berbicara dengan bapak itu, beliau mendahului bicara.
“Maaf pak, tidak usah dibayar lagi, tempo hari bapak kan sudah
membayar 5000 dan karena hujan waktu itu bapak tidak berkenan menunggu
kembalian. Bapak waktu itu menghendaki bahwa uang 5000 itu buat saya saja. Nah, sekarang saya
harus belajar berterima kasih dan jujur pak. Jadi tidak usah dibayar lagi
parkir saat ini”
Kaget saya mendengar jawaban bapak tukang parkir
ini. Seorang yang sederhana,usia sekitar 50 tahun, badan agak kurus. Topi caping
khas petani yang dipakai menutupi kepalanya. Saya terhenyak meski kemudian
perlahan meninggalkan area parkir sambil tetap memegang uang 2000an.
Kejujuran bapak tukang parkir itu memberi
pelajaran berharga buat kami, juga ada anak kami. Betapa berterima kasih dan
berbuat baik kembali itu tidak bisa diatur dan tidak bisa dibeli. Bapak tukang
parkir tadi sangat menghargai perbuatan baik, tidak sekedar uang 5000 dan 2000.
Mungkin dalam alam pikir bapak tadi, perbuatan baik, seberapapun bentuknya
adalah mata air kehidupan yang membuatnya berbahagia dengan merdeka dan utuh. Uang
ternyata bukan satu-satunya tujuan orang bekerja.
Si bapak tukang parkir tadi, entah siapa namanya, telah memberi
pelajaran kehidupan yang berharga untuk kami. Karena bagi kami itu sangat
berharga, maka saya bagikan melalui tulisan sederhana ini. Mungkin juga bisa
mengispirasi siapa saja yang membacanya. Ternyata, teladan kebaikan, sumber
kebaikan dan orang-orang baik ada selalu di sekitar kita, tergantung kita saja.
Bisa membaca dan merefleksikan atau tidak.
Untuk bapak tukang parkir, dan semua tukang
parkir, jika sempat membaca tulisan ini, terima kasih atas pembelajaran
kehidupan ini.
Salam hormat dan sejahtera selalu..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar