Selasa, 16 Februari 2016

PELAJARAN KEJUJURAN DARI TUKANG PARKIR

Di Area PARKIR 
Masih di sekitar hujan. Setelah pagi menjumpai pengalama yang kontras antara anak kecil yang tetap bersemangat ke sekolah dengan petugas yang menghindari kerja karena hujan, siangnya ada pengalaman yang sungguh membuat terharu dan juga bangga.

Kalau pagi mengantarkan berangkat sekolah, maka sebagai orang yang sedang belajar bertanggungjawab, saya juga siap sedia menjemput anak-anak seusai mereka belajar. Anak nomor dua masuk jam 7 pulang jam 9, jadi mesti menunggui mereka, anak pertama masuk jam 7.15 pulang jam 12.45.  setelah mengantarkan anak kedua pulang, istirahat sejenak lalu saya bergegas untuk menjemput anak pertama. Beberapa keperluan terdaftar untuk sekalian dibeli sembari menjemput anak pulang dari sekolah.

Mendung kembali datang meski tak diundang. Panas yang hadir sekilas seolah terusir karena kecemburuan mendung, mungkin jika bisa bercakap mereka –panas dan hujan itu- akan saling menuduh. Jika musim panas, total dikuasai si panas, namun jika musim hujan, panas masih sering hadir meminta jatah datang.
Dan saat anak keluar dari ruang kelas,gerimis datang kembali. 
Agak tergopoh dia berlari menuju kendaraan yang terparkir agak jauh dari area sekolah. Langsung naik karena hujan dan kemudian bertanya karena tidak langsung menuju arah tempat tinggal. Kami menuju pasar untuk membeli buah untuk kami konsumsi.

“Agak aneh dan miris sekali, kami hidup dan tinggal di desa,tanah dan lahan luas, namun untuk sayur dan buah kami mesti membelinya. Inikag keadilan itu?”

Di sekitar pasar inilah kisah yang hendak saya ceriterakan. Usai berbelanja membeli sayur dan buah,kami segera bersiap untuk pulang. Tukang parkir kami cari-cari namun belum terlihat, karena banyaknya antrian kendaraan yang hendak ke luar. Dan beberapa saat kemudian, bapak tukang parkir, kelihatan dari rompinya, muncul mendekat dan segera memberi aba-aba agar tahan sebentar. Daripada nanti kami memberi biaya parkir sambil jalan, maka segera saya keluarkan uang 2000an ke arah beliau. 

Aneh, beliau tidak segera menerimanya, karena masih mengatur kendaraan di belakang kami. Dan saat  dekat ke kendaraan kami, beliau saya panggil. Belum sempat saya berbicara dengan bapak itu, beliau mendahului bicara.

“Maaf pak, tidak usah dibayar lagi, tempo hari bapak kan sudah membayar 5000 dan karena hujan waktu itu bapak tidak berkenan menunggu kembalian. Bapak waktu itu menghendaki bahwa uang  5000 itu buat saya saja. Nah, sekarang saya harus belajar berterima kasih dan jujur pak. Jadi tidak usah dibayar lagi parkir saat ini”

Kaget saya mendengar jawaban bapak tukang parkir ini. Seorang yang sederhana,usia sekitar 50 tahun, badan agak kurus. Topi caping khas petani yang dipakai menutupi kepalanya. Saya terhenyak meski kemudian perlahan meninggalkan area parkir sambil tetap memegang uang 2000an.

Kejujuran bapak tukang parkir itu memberi pelajaran berharga buat kami, juga ada anak kami. Betapa berterima kasih dan berbuat baik kembali itu tidak bisa diatur dan tidak bisa dibeli. Bapak tukang parkir tadi sangat menghargai perbuatan baik, tidak sekedar uang 5000 dan 2000. Mungkin dalam alam pikir bapak tadi, perbuatan baik, seberapapun bentuknya adalah mata air kehidupan yang membuatnya berbahagia dengan merdeka dan utuh. Uang ternyata bukan satu-satunya tujuan orang bekerja.

Si bapak tukang parkir  tadi, entah siapa namanya, telah memberi pelajaran kehidupan yang berharga untuk kami. Karena bagi kami itu sangat berharga, maka saya bagikan melalui tulisan sederhana ini. Mungkin juga bisa mengispirasi siapa saja yang membacanya. Ternyata, teladan kebaikan, sumber kebaikan dan orang-orang baik ada selalu di sekitar kita, tergantung kita saja. Bisa membaca dan merefleksikan atau tidak.

Untuk bapak tukang parkir, dan semua tukang parkir, jika sempat membaca tulisan ini, terima kasih atas pembelajaran kehidupan ini.

Salam hormat dan sejahtera selalu..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH