DI
SEBUAH TEMPAT PARKIR
Sambil
menunggu mantan pacar membeli kebutuhan harian di pasar tradisional itu,
sengaja aku duduk di dekat tempat parkir. Suasana masih pagi, namun tidaklah
sepi. Pasar pagi ini sudah sangat ramai semenjak subuh,bahkan semenjak waktu bergeser
berubah hari. Beberapa orang-sesama pengantar istri- ngobrol di sekitar kendaraan mereka. Sembari merokok,
mereka semua asyik bercerita, entah apa cerita mereka.
Yang jelas, mereka
menikmati waktu penantian mereka. Terkadang mereka tertawa terbahak, terkadang
bahkan terpingkal. Sungguh sebuah keakraban yang sejati,karena mereka tidak
saling kenal sebelumnya. Hanya, ada satu sosok lelaki yang duduk agak jauh dari
kerumunan itu, nampak diam. Tidak merokok
dan juga tidak bermain HP, seperti kebanyakan orang jaman sekarang,
meninggalkan percakapan demi bermain HP atau Gadged..
“Mas,
sedang mengantar siap, istri ya?”, sapaku mencoba mendekat.
“Bukan..”,
Kaku dan datar lelaki itu menjawab. Sungguh tanpa ekspresi. Kucoba memberikan
sebatang rokok untuk bahasa keakraban,namun dia hanya menggerakkan telapak
tangan pertanda menolak pemberianku.
Aku
penasaran, mengapa sepagi ini ada yang berwajah tidak ceria. Adakah sesuatu
yang mengganggunya.
“Mas,
tinggal di mana, sekitar sini atau mana?” Selidikku kemudian. “Sana..”agak
sombong lelaki itu menjawab. Jawaban yang sejatinya membuatku agak enggan
mendekatinya. Kemudian aku tinggalkan lelaki itu. Tanpa ekspresi dia
kutinggalkan. Masih sibuk dengan dirinya, menatap ke arah depan dan terkadang
kulihat tatapannya kosong.
“Mas,
menjawab apa saat mas tanya lelaki itu?”, Sapa seorang diantara yang sedang
bergerombol itu. “Menjawab pendek, hanya seperlunya saja. Heran saya, ada apa
dengan lelaki itu”, jawabku seolah mengadu.
“Benar
mas, kami tadi juga mencoba menyapa, namun sombong sekali itu orang. Seolah tidak
memerlukan orang lain, mungkin dia orang kaya atau orang yang pintar,
sehingga enggan berbaur dengan kita”, Semprot Mas Tardi, begitu dia dipanggil.
“Tadi
aku tanya hanya mengangguk,aku ajak bergabung hanya menggeleng. Sebal say,
makanya biar saja dia sendiri. Mungkin jijik melihat kita”, Sambung yang duduk
di bawah pohon talok.
Percakapan
kami terhenti saat seorang ibu setengah tua melintas di dekat kami. Membawa barang
belanjaan agak banya. Dan ternyata itu ibu dari lelaki yang terkesan sombong
itu, demikian kata mas tukang parkir yang memarkir kendaraan kami. Kemudian ibu
itu berbalik, mengambil belanjaan lain, namun lelaki itu masih diam saja. Kami menjadi
agak jengkel, apalagi saat melihat ibunya agak keberatan mengangkat belanjaan
berikutnya. Hampir saja kami dekati lelaki itu dan beri pelajaran.
Sungguh
tidak soan lelaki itu. Saat ibu itu hendak kembali-mungkin mengambil belanjaan selanjutnya- kami sudah tidak sabar
dan kemudian bertanya.
“Ibu,
mengapakah anak ibu itu diam saja melihat ibu mengankat barang
belanjaan?Apakah ibu salah mendidiknya sehingga menjadi lelaki yang tidak tahu
berbakti orang tua?”, Mas Tardi menyapa ibu itu.
Dengan
tersenyum, ibu itu menjawab. “Mas, biar saja Wagino, anak saya itu seperti itu,
bair saja dia diam, dia sedang dalam kesedihan. Dia tinggal di luar pulau, anak
dan istrinya baru 7 hari yang lalu meninggal terjatuh ke jurang saat
bertamasya. Dia sedang dalam kesedihan, maafkan jika sikapnya membuat mas-mas
marah”,Ibu itu menjawab dengan dewasa. Ibu itu memberi penjelasan yang membuat
kami semua membisu seperti patung-patung purbakala.
Hari
semakin siang,namun pelajaran pagi itu sungguh sangat berharga buat kami,
terkhusus buat aku. Melihat dari sisi luar,penampilan saja sangat berbahaya
untuk mengambil penilaian...Ikut berduka kawan..
Pada suatu pagi di sebuah kota kecil...6 tahun
yang silam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar