Jumat, 19 Februari 2016

jangan terburu memberi penilaian

DI SEBUAH TEMPAT PARKIR

Sambil menunggu mantan pacar membeli kebutuhan harian di pasar tradisional itu, sengaja aku duduk di dekat tempat parkir. Suasana masih pagi, namun tidaklah sepi. Pasar pagi ini sudah sangat ramai semenjak subuh,bahkan semenjak waktu bergeser berubah hari. Beberapa orang-sesama pengantar istri-  ngobrol di sekitar kendaraan mereka. Sembari merokok, mereka semua asyik bercerita, entah apa cerita mereka. 

Yang jelas, mereka menikmati waktu penantian mereka. Terkadang mereka tertawa terbahak, terkadang bahkan terpingkal. Sungguh sebuah keakraban yang sejati,karena mereka tidak saling kenal sebelumnya. Hanya, ada satu sosok lelaki yang duduk agak jauh dari kerumunan itu, nampak  diam. Tidak merokok dan juga tidak bermain HP, seperti kebanyakan orang jaman sekarang, meninggalkan percakapan demi bermain HP atau Gadged..

“Mas, sedang mengantar siap, istri ya?”, sapaku mencoba mendekat.
“Bukan..”, Kaku dan datar lelaki itu menjawab. Sungguh tanpa ekspresi. Kucoba memberikan sebatang rokok untuk bahasa keakraban,namun dia hanya menggerakkan telapak tangan pertanda menolak pemberianku.
Aku penasaran, mengapa sepagi ini ada yang berwajah tidak ceria. Adakah sesuatu yang mengganggunya.
“Mas, tinggal di mana, sekitar sini atau mana?” Selidikku kemudian. “Sana..”agak sombong lelaki itu menjawab. Jawaban yang sejatinya membuatku agak enggan mendekatinya. Kemudian aku tinggalkan lelaki itu. Tanpa ekspresi dia kutinggalkan. Masih sibuk dengan dirinya, menatap ke arah depan dan terkadang kulihat tatapannya kosong.

“Mas, menjawab apa saat mas tanya lelaki itu?”, Sapa seorang diantara yang sedang bergerombol itu. “Menjawab pendek, hanya seperlunya saja. Heran saya, ada apa dengan lelaki itu”, jawabku seolah mengadu.
“Benar mas, kami tadi juga mencoba menyapa, namun sombong sekali itu orang. Seolah tidak memerlukan orang lain, mungkin dia orang kaya atau orang yang pintar, sehingga enggan berbaur dengan kita”, Semprot Mas Tardi, begitu dia dipanggil.
“Tadi aku tanya hanya mengangguk,aku ajak bergabung hanya menggeleng. Sebal say, makanya biar saja dia sendiri. Mungkin jijik melihat kita”, Sambung yang duduk di bawah pohon talok.

Percakapan kami terhenti saat seorang ibu setengah tua melintas di dekat kami. Membawa barang belanjaan agak banya. Dan ternyata itu ibu dari lelaki yang terkesan sombong itu, demikian kata mas tukang parkir yang memarkir kendaraan kami. Kemudian ibu itu berbalik, mengambil belanjaan lain, namun lelaki itu masih diam saja. Kami menjadi agak jengkel, apalagi saat melihat ibunya agak keberatan mengangkat belanjaan berikutnya. Hampir saja kami dekati lelaki itu dan beri pelajaran.
Sungguh tidak soan lelaki itu. Saat ibu itu hendak kembali-mungkin mengambil  belanjaan selanjutnya- kami sudah tidak sabar dan kemudian bertanya.
“Ibu, mengapakah anak ibu itu diam saja melihat ibu mengankat barang belanjaan?Apakah ibu salah mendidiknya sehingga menjadi lelaki yang tidak tahu berbakti orang tua?”, Mas Tardi menyapa ibu itu.

Dengan tersenyum, ibu itu menjawab. “Mas, biar saja Wagino, anak saya itu seperti itu, bair saja dia diam, dia sedang dalam kesedihan. Dia tinggal di luar pulau, anak dan istrinya baru 7 hari yang lalu meninggal terjatuh ke jurang saat bertamasya. Dia sedang dalam kesedihan, maafkan jika sikapnya membuat mas-mas marah”,Ibu itu menjawab dengan dewasa. Ibu itu memberi penjelasan yang membuat kami semua membisu seperti patung-patung purbakala.

Hari semakin siang,namun pelajaran pagi itu sungguh sangat berharga buat kami, terkhusus buat aku. Melihat dari sisi luar,penampilan saja sangat berbahaya untuk mengambil penilaian...Ikut berduka kawan..


Pada suatu pagi di sebuah kota kecil...6 tahun yang silam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH