Terminal in sangat megah, dan mungkin benar, ini terminal
terbaik dan terapi di negeri ini, meski aku belum mengenal semua terminal di
negeri ini. Aku bergegas, dari peron penurunan penumpang, menuju terminal
pemberangkatan. Aku menyusuri jalan, menuju arah timur, bising terminal masih
terasa, meski tidak seperti di film-film tahun sembilanpuluhan dan sebelumnya.
Kuikuti petunjuk arah,mendung di langit atas kota ini, nampak
menggelap. Setelah sekian menit, aku sampai tempat di mana ada bus yan ada
tertulis kea rah daerah yang akan kutuju. Awak bus yang namanya sama dengan
nama bus itu segera menghampiriku, dan menanya akan pergi ke mana. Setelah aku
jelaskan, segera aku naik, ternyata bus ini ber-AC. Agak lama bus ini ngetem,
entah menunggu penumpang atau waktu kebrangkatan, aku tidak tahu. Hatiku masih
dirundung perih tiada terkira, dan waktu penantian di bus itu serasa seribu
hari.
Sesaat kemudian, bus itu beringsut. Lamban, menyusuri
jalanan kota, yang katanya rapi namun kesemrawutan masih nampak di sana-sin. Kota
yang katanya rapi saja masih semrawut begini, apalagi kota yang lain ya?Gumanku
dalam hati. Kucoba memejamkan mata, mencoba menenangkan pikiran yang terasa
berat, sangat berat. Dalam situasi seperti ini, waktu seolah berjalan lambat,
sangat lambat. Dan juga, dalam situasi seperti ini, memejamkan mata untuk
kemudian sekejab tidur adalah kemewahan untukku.
Kucoba melihat ke luar, sudah ke luar dari kota ternyata.
Dan ketika kondukteur bus menghampiriku, baru aku sadar,aku ternyata tertidur. Kemudian
aku mengulurkan tangan, memberikan uang limapuluhribuan ke arah konduktur. Kembalian
aku terima,dan aku kembali mencoba menikmati perjalanan. Kulihat hamparan sawah
menguning, ada para petani, entah buruh atau penggarap, aku tidak tahu. Yang pasti
merekalah pahlawan kehidupan ini, meski mereka tidak begitu dihargai, namun
keberlanjutan kehidupan ini seutuhnya bergantung dari mereka, secara jasmani.
Sawah, rumah, sungai,bukit,waduk dan pepohonan mengantar
perjalananku ke tempat yang dahulu beberapa kali aku lewati. Namun kini
berbeda, karena dahulu dalam suasana suka, apalagi yang terakhir kemarin,
kulakukan bersama-sama dan juga sesaat setalah hari bahagiaku. Namun kini
berbeda, aku harus sendiri dan juga tanpa sepengetahuan siapa-siapa. Aku pamit
untuk menjenguk sahabat yang sakit, dan malam berjanji akan sampai di rumah
kembali.
Aku terkejut, manakala konduktur bus kembali
mengingatkanku, bawa tempat yang aku tuju sudah dekat. Aku bersiap, dan ketika
sampai di depan sebuah bangunan berbentuk limas,pendapa,aku turun. Kupesan jasa
angkutan motor oline,dan ternyata ada. Sungguh sebuah kemajuan yang dasyat, untuk
kota sekecil ini sudah ada angkutan modern. Kucari titik yang akan kutuju,
kuingat-ingat nama dusun itu. Namun aku sulit mengingatnya. Kacaunya pikiranku
membuat semua memory masa laluku terhempas entah ke mana. Sulit menemukan jasa
angkutan motor online, lalu aku menyapa seseorang yang ternyata seorang ojek
konvensional. Kutanya alamat yang akan kutuju,dan ternyata dia sangat paham.
Ternyata peristiwa itu juga dikenal ojek ini. Dengan detail
dia bercerita sepanjang perjlanan kami menuju dusun itu. Aku meminta untuk
tidak ke rumah, namun langsung ke makam. Dan ojek ini mengerti, memahami. Ketika
kutanya siapa aku, kujawab dengan deplomatis.beberapa saat kemudian, sampai di
sebuah jalan yang berbelok kekiri, menuju hutan pinus. Aku turun, kemudian
membayar beberapa lembar puluhan ribu. Setelah mengucap terima kasih, aku
beranjak meninggalkan si ojek. Ojek itu tersenyum, namun tidaksegera berbalik
arah.
Ku tengok saat aku mulai menjauh, masih tersenyum dan beringsut kea rah lanjutan,
bukan berbalik. Ah..bodo amat…aku harus segera sampai.
Jalanan menanjak kutempuh, terengah nafasku. Sepi,
sehingga nafasku aku bisa mendengarnya sendiri. Sekian kemudian aku sampai, dan
di tanah yang agak datar, kusapu pandanganku, kucari pusara terbaru. Ada beberapa,
kemudian kuperiksa, akhirnya kutemukan. Di ujung selatan, di bawah dua pohon
pinus yang besar. Aku melangkah ke sana, dan kemudian kutatap pusara yang masih
baru, bahkan bunga-bunga yang tertabur ada yang masih nampak segar.
Berjongkok aku mencoba mengamati tulisan di lambang salib
itu..Dan kemudian ada air mata deras mengalir dari dua kelopak mata ini. Aku tidak
peduli, kutumpahkan segala sedih dan sesalku. Semua yang aku anggap salah. Aku tidak
peduli jika ada yang mendengar dan menghampiriku. Aku ingin meangis sepuasku. Aku
yang menjadikan semua itu.
Kuusap air mataku dan kutatap tulisan itu. Kemudian yang
kulihat bukan lagi tulisan itu, seperti layar film,banyak gambar yang
bergantian menghampiri aku. Ada wajah polos bocah-bocah yang awalnya riang
namun kemudian bersedih karena kehilangan, ada gambaran duku abadi di wajah
bocah-bocah itu. Mereka nampaknya sadar, bahwa sampai selama-lamanya tidak akan
bisa lagi berjumpa dengan sosok yang sekarang kaku di bawah timbunan tanah ini.
Kudengar juga tetiba tangisan bcah-bocah itu, nyaring,sangat nyaring. Kututp telingaku
namun tetap nyaring terdengar, karena memang itu suara batinku,bukan suara yang
masuk ke dalam telingaku.
Aku terisak dalam kesendirian. Aku terhempas dalam
kedukaan. Hanya karena abaiku, hanya karena sombongku, hanya karena keras
kepalaku semua ini terjadi. Tiga Kalimat, itu yang berulangkali disampaikan
untukku, tidak lebih. Berulangkali juga aku mencoba menawar, namun tetap
bertahan dengan prinsip. Tiga kalimat yang tidak berat, namun entah mengapa,
aku tidak pernah mau menuruti harapnya. Berulangkali mengingatkanku baik dengan
bahasa sindiran atau langsung, namun aku tetap kukuh dengan tindakanku yang aku
pikir benar. Sampai suatu waktu, entah mengapa ada semacam ancaman, bahwa jika
tidak ada tiga kalimat itu, semua akan menjadi berat untuk banyak orang. Dengan
itupun aku tetap diam, bahkan sengaja menghindari.
Kulihat pusara dan papan kayu berlambang salib itu. Kembali
banyak gambaran melintas dalam mataku, waktu-waktu yang telah berlalu. Tidak pernah
sosok yang sekarang kaku di bawah timbunan tanah ini menolak apapun yang aku
minta, bahkan naywapun dipertaruhkan
untukku. Sampaisebelum peristiwa itu, semua yang aku pinta, diupayakan sampai
dapat. Dari semua yang telah dilakukan, beliau tidak pernah menolak, selalu
diakukan sebisa beliau.
Tiga Kalimat, itu yang selalu diharap dariku, dan aku
kadang bisa, namun sering abai. Ketika abai, sering melempar isyarat ke aku,
namun kuabaikan. Anacaman itu, tempo waktu, aku pikir canda. Dan semua seperti
tsunami manakala aku mendengar kabar, bahwa beliau telah berpulang. Lebih perih,
ketika taksempat aku menatap wajah beliau untuk yang terakhir kalinya.
Isakku tinggal sisa-sisa, semilir angin hutan menyibak
rambut panjangku. Kulihat sekeliling, sepi dan aku baru sadar, aku sendirian. Gemuruh
lembut suara dedaunan pinus dihempas angina, yang semestinya zimfoni indah,
tetap saja bernada pilu dalam telinga dan relung sanubariku.
Aku pejamkan mata ini dan kemudian kembali terlintas
banyak sekali peristiwa. Kemuian kutemukan wajah-wajah polos bocah-bocah yang
sedang menangis, meraung,merintih karena kehilangan.tangisan itu bukan tangisan
kesedihan dalam rasaku, tiba-tiba seperti tangisan kemarahan, tangisan
kebencian yang tertuju ke arahku. Wajah-wajah polos bocah-bocah itu kemudian
berubah menjadi wajah penuh kebencian, menatapku, menajam ke arahku yang masih
bersimpuh dalam kedukaan tiada terkira.
Aku pasrah, aku menyerah. Kudiamkan saja ketika kurasa
sosok-sosok bocah yang biasanya menghiasi hariku dalam suka itu melucur ke
arahku dengan sejuta amarah dan dendam. Aku merasa bersalah dan aku pasrah. Detak
langkah bocah-bocah itu seolah derab tentara pembunuh, menuju ke aku dengan
pedang dantombak yang siap merajamku. Desah nafas merek, gemerutuk gigi-gigi
mereka seolah ledakan bom dalam telingaku. Aku terdiam, siap terhakimi.
Aku sadar, sesadar-sadarnya bahwa akulah titik awal semua
kedukaan mereka terjadi. Hanya gara-gara tiga kalimat yang selalu beliau pinta,
namun kuabaikan. Akulah yang bersalah, akulah yang menyebabkan bocah-bocah tu
kehilangan hangatnya dekapan seorang ayah. Akulah yang menyebabkan mereka,
bocah-bocah itu kehilangan pelindung masa kanak-kanak mereka, akulah yang
menghempaskan asa mereka hanya karena
sebuah hal kecil yang takjua mau kukerjakan.
Suara derap langkah kaki-kaki kecil itu kurasa semakin
mendekat dan hempasan kemarahan mereka sudah siap aku terima dengan terbuak,
sebagai wujud sesalku. Sesaat kemudian, aku merasa dihempasi tubuh lunglai
bocah-bocah itu, dan bukan kemarahan yang mereka urai ke aku, namun justru
tangislah yang mereka hamburkan ke arahku. Aku terkejut, aku kaget. Semua takpernah
kusangka.. Jeritan dan isak tangis mereka semakin membuatku tersayat-sayat. Kudekap
tubuh-tubuh mungil itu, kupeluk dengan sejuta tangis. Kedengar detak jantung
kehilangan dari detak-detak jantung mereka, dan itu menyatu dengan detak
jantungku.
Tangisan kami menyatu, semenyatu jiwa-jiwa kami. Kuelus rambut
di kepala bocah-bocah itu, isakku menjadikan aku takmampu berkata-kata. Dan tangsian
bocah kecil itu terasa sangat pilu, sangat getir. Kurasa alam semestapun ikut
bersedih. Aku tenggelam, terhannyut dalam kedukaan,dalam kesedihan sempurna. Ketakutanku
hilang, membaur dalam sedih bocah-bocah itu…Aku meniti jalan-jalan penyesalan
bersama tubuh bocah-bocah yang masih sangat polos ini,hingga kemudian ada
sesosok tangan menyentuh pundakku. Aku menoleh dan betapa kagetnya aku, seolah
jantung ini hendak terlepas dari ragaku. Belum sempat kagetku tertata, kudengar
suara lembut nan abadi, yang menjadikan aku tegar menghadapi semuanya.
“Semua sudah menjadi kehendaNya, jangan terlalu disesali.
Kita iklaskan kepergian beliau kembali dalam naungan keabadian. Kita semua akan
mengalami seperti yang beliau alami, namun kapan kita tida tahu. Biarlah beliau
tenang meniti keabadiannya bersama Sang Kehidupan Sejati. Mari menata kehidupan
kita supaya kapanpun kita dipanggilNya, kitapun siap.” Suara itu mengalir
lembut dan tenang, menjadikanku seperti tertuang air sejuk yang abadi.
Betapa kokohnya
sosok ini, dan aku akan belajar dari beliau, batinku.
Ketika aku diajak meninggalkan makam, dengan santun dan
lembut aku menolaknya. Aku ingin meniti sisa-sisa sedihku. Namun tangisan
bocah-bocah itu meraguku. Bimbang melanda batinku, dan kembali sedih menderaku.
Bocah-bocah itu pasti tidak tahu, bahwa akulah salah satu penyebab terpisahnya
mereka dari sosok yang mereka banggakan.
Rayuan takbisa menggoyakanku, namun tangisan bisa
meruntuhkanku. Kemudian akau meminta, untuk diijinkan tinggal sementara waktu
sendiri, mereka mengijinkanku. Kutatap sosok-sosok tegar, yang sejatinya
kulukai itu berjalan sampai takterlihat di belokan. Kemudian kembali
kubersimpuh, ingin kuberdoa, namun sulit sekali melanikan doa dalam kebingungan
yang sempurna ini.
Aku diam, mencoba mengikuti batinku, suara teriakan bocah
itu, yang memintaku menyusul, makin memaksaku untuk berdoa. Diam…
“Maafkan aku ini, yang terlalu sombong, maafkan aku ini
yang terlalu menuruti keendak pribadiku. Pintamu tidaklah berat, hanya tiga
kalimat, namun takjua aku turuti. Kini, akibat dari semuanya, Tuhan sudah memanggilmu
pulang. Kacaunya pikirnmu menyebakan engkau tabisa mengendalikan kendaraan itu,
sehingga masuk jurang dengan kehancuran. Maafkan aku..maaf. sebisaku aku
berjanji untuk ikut menjaga bocah-bocah itu. Maaf..maaf…selamat jalan…Tiba-tiba
terdengar sebuah suara yang sangat kukenal..Inginku membaca tiga kalimat itu…”
Dan kemudian kurasakan semuanya gelap….
#padasebuahwaktu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar