Jumat, 19 April 2019

HANYA INI YANG AKU BISA




Matahari hampir merebahkan diirnya di punggung bukit  jauh di ufuk barat, artinya hari akan segera berganti. Oiya, sekedar informasi kawan, bahwa cara kami menghitung hari berbeda dengan kalian, yang membaca suratku ini, karena kami mengatur pergantian  hari bukan saat jam 00.00, melainkan saat matahari terbenam. Artinya, sebentar lagi akan masuk ke hari Sabbat, hari sangat istimewa dam aturan agama kami. Dan ketika hari berganti menjadi hari sabbat, tidak diperbolehkan dalam aturan agama kami untuk melakukan kegiatan apapun, kecuali beribadah.


Kerumunan orang sudah semakin sedikit, mereka pulang memanggul kesedihan maisng-masing,seperti luka-luka dalam raga tiga sosok yang masih tergantung di kayu salib itu. Untuk dua orang yang mengapit raga yang di tengah, mungkin tiada yang mempedulikan, termasuk aku, karena kedurjanaan mereka. Namun untuk sosok yang di tengah itu, sungguh, aku sangat terpana dan bahkan terpesona, sehingga diam-diam aku mengikutNya.  WajahNya sangat teduh, seteduh embun bukit Hermon setiap pagi. Teduh dan  bercahaya, meski derita sempurna mengoyak segenap hidupNya.

Aku tertegun, dan kulihat beberapa orang masih di area perbukitan yang dalam tradisi adat istiadat kami di namakan Golgota atau Perbukitan Tempat Berseraknya Tengkorak. Nafas-nafas mendesah masih bisa kudengar, ketika hening hari menjelang sore menyapa kami. Kutatap tiga salib bersama dengan tiga sosok tergantung itu, kilatan keringat di wajah yang tertunduk masih bisa kulihat, karena terhujam sisa-sisa sinar matahari dari ufuk nun jauh di barat sana.

Kutatap wajah yang di tengah itu, dan seolah wajah yang sudah menjadi jenasah itu memanggilku dengan senyuman. Wajah itu seolah menghisap seluruh ragaku mendekat. Dan akupun mendekat, beberapa prajurit nampak mengawasiku dengan tatapan curiga,namun tak aku pedulikan. Panggilan dari tatapan wajah itu, seolah mengalahkan seluruh kekuatan ragaku dan juga kekuatan kecurigaan banyak mata yang mengawasiku, aku mendekat dan semakin mendekat.


Tiupan angin yang tadinya dalam beberapa saat terhenti, tiba-tiba mengiringi langkah gontaiku, dan saat aku sangat dekat, kutatap wajah itu, seolah tersenyum. Amis dan anyir darah sangat kuat menuusk hidungku, dan di atas sana, segerombolan burung-burung Bangkai,terbang berputar-putar, sudah menunggu saat tepat untuk menyantap jenasah-jenasah ini.

Wajah itu kulihat tersenyum ke arahku, kulihat tidak ada tanda-tanda kematian. Aku seolah menatap wajah yang hidup, yang penuh senyum, dan semua seolah menghipnotisku. Kuberanikan diri semakin medekat dan kuraba raga tanpa nyawa itu. Dingin. Beberapa tetes darah dan air dari lambung yang tertusuk tombak prajurit, mengalir melalui betis tubuh yang tergantung itu. Jiwaku melambung, panggilan itu semakin nyaring dalam sanubariku, namun tak kutahu, apa yang harus aku kerjakan.

Dalam ketermanguanku, kudengar gerak-gerak kasar prajurit menurunkan dengan sangat kasar dua jenasah di samping tubuh yang sedang kuhadapi ini. Dan kutahu kemudian, para prajurit itu mendapat madat dari para pembesar istana dan rekan-rekanku majelis agamaku, untuk menurunkannya dan kemudian menguburkan keduanya.

Aku terhentak, lalu siapa yang akan mengurus jenasah ini?Aku memang sudah meminta ijin Pilatusm namun beranikah aku??.  Aku sempat melihat, beberapa kerabat dan para murid dari jenasah ini, sudah beringsut meninggalkan tempat ini dengan kedukaan yang takterperikan. Dalam ketertegunanku, aku seolah mendapat panggilan lembut, dari jenasah yang tergantung di atasku.

“Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan sahabatku..”

Sungguh aku kaget, dan kemudian kutatap wajah itu. Masih dingin dan nampak semakin kaku, meski terkadang seperti tersenyum ke arahku. Dingin udara menjelang sore semakin kurasakan, dan saat kumenengadah, mendongak ke arah barat, matahari semakin mendekati titik tenggelamnya, semakin bergulir bersembunyi di punggung bukit itu. Lalu aku beranjak, kuteguhkan tekadku. Aku akan menghampiri beberapa rekan kerjaku yang masih duduk dan juga berdiri, agak jauh dari tempatku.

“Kepada Pilatus aku sudah meminta ijin, untuk merawat jenasah itu”, Kukatakan itu kepada beberapa orang yang masih ada di tempat ini. Aku sebelumnya sudah menghadap Pilatus, aku meminta diijinkan untuk merawat jenasah itu, karena sejatinya aku tidak setuju dengan hukuman yang diterima oleh orang dari Nasaret itu, namun apalah arti permintaanku. Maka, manakala Pilatus mengijinkan aku  merawat jenasah itu, betapa senangnya aku, meski untuk melakukannya, aku mesti kucing-kucingan dengan beberapa orang yang sangat keras menolak usulanku ini.

Segera aku bergegas, mendekati salib itu, dibantu beberapa kerabat dan karyawanku, aku segera bertindak. Aku harus berpacu dengan laju sang mentari di ujung barat sana, sebelum tindakanku melanggar tatanan agamaku sendiri. Aku bertindak cekatan, kutegaskan sekali lagi, aku bertindak  dengan dibantu oleh beberapa kerabatku, bukan sekedar menyuruh orang upahanku mengerjakan apa yang menjadi kerinduan hatiku. Dan harapku, semoga kalian yang membaca suratku ini dikemudian hari, juga bisa meneladani tindakanku.

Sesaat kemudian, kami berhasil menurunkan dan melepas semua yang mengikat tubuh penuh luka ini dari kayu salib yang amat sangat kasar itu. Kubopong tubuh itu, kucium wajahNya, tanpa sepengetahuan orang-orang yang sedang mengawasiku dari jauh. Kurasakan aliran CINTA, mengalir deras ke tubuhku. Benar, tubuh ini tanpa nyawa, namun kekuatan CINTA yang dipancarkan dari ribuan luka dan darah yang beberapa belum kering, lebih kuat dari kebencian dunia ini.

Dalam boponganku, kunikmati kemenyatuanku denganNya, dan darah yang beberapa masih cair, belum kering, menempel di jubbah serta tanganku. Aku tidak merasa jijik, malah kurasakan keharuman darah yang belum pernah kujumpai. Mungkin kalian akan menertawakanku, karena aku merasakan harum dari darah, namun ini yang aku alami. Aku segera bertindak, mengafani tubuh itu, kemudian kubawa menuju pemakaman keluargaku.
Matahari masih menyisakan cintanya untukku, Karena dalam pengawasan super ketat para polisi agama dan moral itu, yang hanya suka dengan tindakan yang tanpa jiwa, kesalahan adalah hukuman, aku harus menyelesaikan tugasku sebelum matahari terbenam. Dan bahkan menolong orang yang membutuhkanpun,jika dirasa melanggar aturan agama, hukuman berat suah menanti dengan setia. 

Aku berjalan, malah bisa dikatakan berlari, menuju kompleks pemakaman keluargaku. Segera aku membuka batu yang menutupi kubur itu, sendiri aku mengangkatnya, meski ada beberapa orang yang mengantarkanku menawarkan bantuan, namun aku meolaknya dengan santun. Aku ingin mengungkapkan cintaku pada sosok yang semakin dingin dan membeku ini, sosok yang aku idolai meski takpernah aku berani terus terang mengikutiNya.
Agak susah aku menggeser batu penutup itu, ragaku letih  karena seharian belum makan. Setelah berhasil kugeser, aku membawa jenasah ini ke tempat peletakannya, kuletakkan dengan pelan di atas sebuah batu besar, kurebahkan dengan kehati-hatian yang sempurna,hingga kemudian semuanya selesai. 

Aku menghela nafas, kemudian kembali menatap wajah jenasah yang semakin kurasakan tersenyum kepadaku, agak remang memang, karena  lereng ini mengahdap ke arah timur, sementara matahari ada di sebelah barat. Kembali kutatap yang terakhir, sebelum kututup dan kutinggalkan sendiri jenasah itu dalam makam ini, sembari kuucapkan, “HANYA INI YANG AKU BISA”

Tepat setelah aku berhasil menutup pintu makam ini dengan batu penutupnya, kudengar jauh di hutan bukit sebelah selatan, sayup nyanyian serangga malam. Dan setelah melangkah beberapa langkah, kulihat ke arah barat, matahari telah sempurna dalam pelukan bukit jauh di barat sana. Hari telah berganti, dan kemudian aku juga sadar, ada banyak prajurit yang terus mengawasiku, kalau-kalau aku melanggar ketetapan agama kami, mereka seperti robot yang hanya menjalankan perintah,tanpa pernah mengerti yang mereka kerjakan. Mungkin saja mereka bekerja hanya karena uang dan harta, entahlah, aku tidak tahu, namun nampaknya di sepanjang jaman, orang-orang seperti mereka akan tetap ada.

Dalam temaram senja yang penuh dengan detak kedukaan, aku berjalan pulang. Ada kehampaan di relung hati ini, meski agak terobati dengan tindakanku merawat jenasah itu. Semoga ini bukan pekerjaan yang sia-sia. Dan pesanku untuk siapa saja yang membaca suratku ini, jangan pernah ragu untuk menerima panggilanNya, seberapapun bentuknya. Jangan pernah terlambat, karena keterlambatan hanya akan menghadirkan kekecewaan sepanjang usia.

Untuk kawan-kawanku di sepanjang jaman dan masa, demikian surat yang bisa aku tulis,ini pengalamanku dengan Kristus yang telah mati, yang katanya akan bangkit pada hari ketiga. Aku akan menunggunya, dan semoga saat janji itu terpenuhi, aku diberiNya kesempatan yang lebih untuk ikut melanjutkan karya kasihNya.

Suatu Senja di Golgota
Salam
Yusuf yang dari Arimatea..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar