Matahari hampir merebahkan diirnya di punggung bukit jauh di ufuk barat, artinya hari akan segera
berganti. Oiya, sekedar informasi kawan, bahwa cara kami menghitung hari
berbeda dengan kalian, yang membaca suratku ini, karena kami mengatur
pergantian hari bukan saat jam 00.00,
melainkan saat matahari terbenam. Artinya, sebentar lagi akan masuk ke hari
Sabbat, hari sangat istimewa dam aturan agama kami. Dan ketika hari berganti
menjadi hari sabbat, tidak diperbolehkan dalam aturan agama kami untuk
melakukan kegiatan apapun, kecuali beribadah.
Kerumunan orang sudah semakin sedikit, mereka pulang
memanggul kesedihan maisng-masing,seperti luka-luka dalam raga tiga sosok yang
masih tergantung di kayu salib itu. Untuk dua orang yang mengapit raga yang di
tengah, mungkin tiada yang mempedulikan, termasuk aku, karena kedurjanaan
mereka. Namun untuk sosok yang di tengah itu, sungguh, aku sangat terpana dan
bahkan terpesona, sehingga diam-diam aku mengikutNya. WajahNya sangat teduh, seteduh embun bukit Hermon
setiap pagi. Teduh dan bercahaya, meski
derita sempurna mengoyak segenap hidupNya.
Aku tertegun, dan kulihat beberapa orang masih di area
perbukitan yang dalam tradisi adat istiadat kami di namakan Golgota atau Perbukitan
Tempat Berseraknya Tengkorak. Nafas-nafas mendesah masih bisa kudengar, ketika
hening hari menjelang sore menyapa kami. Kutatap tiga salib bersama dengan tiga
sosok tergantung itu, kilatan keringat di wajah yang tertunduk masih bisa
kulihat, karena terhujam sisa-sisa sinar matahari dari ufuk nun jauh di barat
sana.
Kutatap wajah yang di tengah itu, dan seolah wajah yang
sudah menjadi jenasah itu memanggilku dengan senyuman. Wajah itu seolah
menghisap seluruh ragaku mendekat. Dan akupun mendekat, beberapa prajurit
nampak mengawasiku dengan tatapan curiga,namun tak aku pedulikan. Panggilan dari
tatapan wajah itu, seolah mengalahkan seluruh kekuatan ragaku dan juga kekuatan
kecurigaan banyak mata yang mengawasiku, aku mendekat dan semakin mendekat.
Tiupan angin yang tadinya dalam beberapa saat terhenti,
tiba-tiba mengiringi langkah gontaiku, dan saat aku sangat dekat, kutatap wajah
itu, seolah tersenyum. Amis dan anyir darah sangat kuat menuusk hidungku, dan
di atas sana, segerombolan burung-burung Bangkai,terbang berputar-putar, sudah
menunggu saat tepat untuk menyantap jenasah-jenasah ini.
Wajah itu kulihat tersenyum ke arahku, kulihat tidak ada
tanda-tanda kematian. Aku seolah menatap wajah yang hidup, yang penuh senyum,
dan semua seolah menghipnotisku. Kuberanikan diri semakin medekat dan kuraba
raga tanpa nyawa itu. Dingin. Beberapa tetes darah dan air dari lambung yang
tertusuk tombak prajurit, mengalir melalui betis tubuh yang tergantung itu. Jiwaku
melambung, panggilan itu semakin nyaring dalam sanubariku, namun tak kutahu,
apa yang harus aku kerjakan.
Dalam ketermanguanku, kudengar gerak-gerak kasar prajurit
menurunkan dengan sangat kasar dua jenasah di samping tubuh yang sedang
kuhadapi ini. Dan kutahu kemudian, para prajurit itu mendapat madat dari para
pembesar istana dan rekan-rekanku majelis agamaku, untuk menurunkannya dan
kemudian menguburkan keduanya.
Aku terhentak, lalu siapa yang akan mengurus jenasah ini?Aku
memang sudah meminta ijin Pilatusm namun beranikah aku??. Aku sempat melihat, beberapa kerabat dan para
murid dari jenasah ini, sudah beringsut meninggalkan tempat ini dengan kedukaan
yang takterperikan. Dalam ketertegunanku, aku seolah mendapat panggilan lembut,
dari jenasah yang tergantung di atasku.
“Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan sahabatku..”
Sungguh aku kaget, dan kemudian kutatap wajah itu. Masih dingin
dan nampak semakin kaku, meski terkadang seperti tersenyum ke arahku. Dingin udara
menjelang sore semakin kurasakan, dan saat kumenengadah, mendongak ke arah barat,
matahari semakin mendekati titik tenggelamnya, semakin bergulir bersembunyi di
punggung bukit itu. Lalu aku beranjak, kuteguhkan tekadku. Aku akan menghampiri
beberapa rekan kerjaku yang masih duduk dan juga berdiri, agak jauh dari
tempatku.
“Kepada Pilatus aku sudah meminta ijin, untuk merawat
jenasah itu”, Kukatakan itu kepada beberapa orang yang masih ada di tempat ini.
Aku sebelumnya sudah menghadap Pilatus, aku meminta diijinkan untuk merawat
jenasah itu, karena sejatinya aku tidak setuju dengan hukuman yang diterima
oleh orang dari Nasaret itu, namun apalah arti permintaanku. Maka, manakala
Pilatus mengijinkan aku merawat jenasah
itu, betapa senangnya aku, meski untuk melakukannya, aku mesti kucing-kucingan
dengan beberapa orang yang sangat keras menolak usulanku ini.
Segera aku bergegas, mendekati salib itu, dibantu
beberapa kerabat dan karyawanku, aku segera bertindak. Aku harus berpacu dengan
laju sang mentari di ujung barat sana, sebelum tindakanku melanggar tatanan
agamaku sendiri. Aku bertindak cekatan, kutegaskan sekali lagi, aku
bertindak dengan dibantu oleh beberapa
kerabatku, bukan sekedar menyuruh orang upahanku mengerjakan apa yang menjadi
kerinduan hatiku. Dan harapku, semoga kalian yang membaca suratku ini
dikemudian hari, juga bisa meneladani tindakanku.
Sesaat kemudian, kami berhasil menurunkan dan melepas
semua yang mengikat tubuh penuh luka ini dari kayu salib yang amat sangat kasar
itu. Kubopong tubuh itu, kucium wajahNya, tanpa sepengetahuan orang-orang yang
sedang mengawasiku dari jauh. Kurasakan aliran CINTA, mengalir deras ke
tubuhku. Benar, tubuh ini tanpa nyawa, namun kekuatan CINTA yang dipancarkan
dari ribuan luka dan darah yang beberapa belum kering, lebih kuat dari
kebencian dunia ini.
Dalam boponganku, kunikmati kemenyatuanku denganNya, dan
darah yang beberapa masih cair, belum kering, menempel di jubbah serta
tanganku. Aku tidak merasa jijik, malah kurasakan keharuman darah yang belum
pernah kujumpai. Mungkin kalian akan menertawakanku, karena aku merasakan harum
dari darah, namun ini yang aku alami. Aku segera bertindak, mengafani tubuh
itu, kemudian kubawa menuju pemakaman keluargaku.
Matahari masih menyisakan cintanya untukku, Karena dalam
pengawasan super ketat para polisi agama dan moral itu, yang hanya suka dengan
tindakan yang tanpa jiwa, kesalahan adalah hukuman, aku harus menyelesaikan
tugasku sebelum matahari terbenam. Dan bahkan menolong orang yang
membutuhkanpun,jika dirasa melanggar aturan agama, hukuman berat suah menanti
dengan setia.
Aku berjalan, malah bisa dikatakan berlari, menuju kompleks
pemakaman keluargaku. Segera aku membuka batu yang menutupi kubur itu, sendiri
aku mengangkatnya, meski ada beberapa orang yang mengantarkanku menawarkan
bantuan, namun aku meolaknya dengan santun. Aku ingin mengungkapkan cintaku pada
sosok yang semakin dingin dan membeku ini, sosok yang aku idolai meski
takpernah aku berani terus terang mengikutiNya.
Agak susah aku menggeser batu penutup itu, ragaku
letih karena seharian belum makan. Setelah
berhasil kugeser, aku membawa jenasah ini ke tempat peletakannya, kuletakkan
dengan pelan di atas sebuah batu besar, kurebahkan dengan kehati-hatian yang
sempurna,hingga kemudian semuanya selesai.
Aku menghela nafas, kemudian kembali
menatap wajah jenasah yang semakin kurasakan tersenyum kepadaku, agak remang memang,
karena lereng ini mengahdap ke arah timur,
sementara matahari ada di sebelah barat. Kembali kutatap yang terakhir, sebelum
kututup dan kutinggalkan sendiri jenasah itu dalam makam ini, sembari
kuucapkan, “HANYA INI YANG AKU BISA”
Tepat setelah aku berhasil menutup pintu makam ini dengan
batu penutupnya, kudengar jauh di hutan bukit sebelah selatan, sayup nyanyian
serangga malam. Dan setelah melangkah beberapa langkah, kulihat ke arah barat,
matahari telah sempurna dalam pelukan bukit jauh di barat sana. Hari telah
berganti, dan kemudian aku juga sadar, ada banyak prajurit yang terus
mengawasiku, kalau-kalau aku melanggar ketetapan agama kami, mereka seperti
robot yang hanya menjalankan perintah,tanpa pernah mengerti yang mereka
kerjakan. Mungkin saja mereka bekerja hanya karena uang dan harta, entahlah,
aku tidak tahu, namun nampaknya di sepanjang jaman, orang-orang seperti mereka
akan tetap ada.
Dalam temaram senja yang penuh dengan detak kedukaan, aku
berjalan pulang. Ada kehampaan di relung hati ini, meski agak terobati dengan
tindakanku merawat jenasah itu. Semoga ini bukan pekerjaan yang sia-sia. Dan pesanku
untuk siapa saja yang membaca suratku ini, jangan pernah ragu untuk menerima
panggilanNya, seberapapun bentuknya. Jangan pernah terlambat, karena
keterlambatan hanya akan menghadirkan kekecewaan sepanjang usia.
Untuk kawan-kawanku di sepanjang jaman dan masa, demikian
surat yang bisa aku tulis,ini pengalamanku dengan Kristus yang telah mati, yang
katanya akan bangkit pada hari ketiga. Aku akan menunggunya, dan semoga saat
janji itu terpenuhi, aku diberiNya kesempatan yang lebih untuk ikut melanjutkan
karya kasihNya.
Suatu
Senja di Golgota
Salam
Yusuf
yang dari Arimatea..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar