Kamis, 11 April 2019

KISAH PEMIKUL KAYU





Suatu sore , entah kapan tepatnya, aku lupa, secara tidak sengaja,bersama dengan anak-anakku, berjalan-jalan menimati senja di sekitar pematang sawah. Desa ini, atau lebih tepatnya dusun, sangat unik. Hanya ada satu akses yang bisa dijangkau dengan kendaraan normal, dari arah timur. Tiga dari empat sisi mata angina dusun ini dijaga oleh perbukitan, dan sawah adalah kemewahan dalam kultur pegunungan kapur di bagian selatan pulau Jawa ini.


Kebetulan waktu itu kami berpapasan dengan para penebang kayu dengan suara mesin pemotong yang menderu-deru. Kami sepakat untuk melihat proses pemotongan kayu dan pengankatannya ke pinggir jalan di mana siap diangkut dengan truk atau alat angkut lainnya. Kebetulan, saat kami menyaksikan itu,para pengangkat kayu sedang berjuang mengangkat batang kayu paling bawah yang tentunya paling besar. Dibutuhkan empat orang untuk menggotong kayu yang sudah roboh itu. Maka bersiaplah empat orang dengan wajah kuyu dan keringat mengucur deras dari sekujur tubuhnya. Nampak letih membayang di wajah-wajah mereka. Dan dengan sempoyongan serta gontai mereka mengerahkan seluruh tenaga mereka mengangkat kayu besar itu. Mungkin di benak mereka terbayang wajah anak dan istri yang menunggu di rumah dengan setia untuk mendapatkan makan dari pekerjaan ayah mereka.

Agak jauh juga tempat robohnya kayu itu dengan jalan di mana truk siap mengangkut kayu itu. Kami mengikuti langkah-langkah mereka dan suatu waktu terpelesetlah salah seorang pemikul itu dan berhentilah proses penggotongan kayu itu. Anak saya yang sulung bertanya, mengapa berhenti? Dan aku tidak menjawabnya. Lalu bertiga, para penggotong itu mencoba mengangkat batang kayu itu, namun gagal. Sejenak kemudian datanglah orang lain yang menggantikan si penggotong yang terluka karena jatuh itu. Maka, berjalanlah rombongan pemikul itu,dengan irama jalan yang  ritmis dan seragam serta kompak, menuju tujuan mereka.


Terkadang hidup itu seperti isah para penggotong kayu itu. Harus saling bekerja sama dan saling mengerti. Jika salah satu gagal mengimbangi  kebersamaan, maka yang terjadi adalah kekacauan. Kisah empat orang yang hendak membawa orang sakit kepada Sang Guru Agung, Sang Hidup Yang Sejati, megingatkan kita semua betapa kerjasama dan kesepahaman merupakan pokok penting dari upaya menjaga harmoni dan menggapai bahagia bersama.

Dan di senja itu, di sekitaran pegunungan seribu, aku merasa bisa mengajak ketiga anak-anak kami belajar tentang kehidupan, meski mereka pasti menerima dalam keberadaan yang berbeda. Kami beranjak meninggalkan lokasi itu, tetap di sekitaran pematang sawah. Di sebelah barat nampak matahari mulai letih mengarungi hari yang sangat menjengkelkan. Kami beria-ria dalam kesederhanaan senja, sampai ada teriakan dari ujung sawah yang lain. Suara yang sangat kami kenal, apalagi oelh si bungsu. Serentak kami menoleh dan kemudian terdengarlah suara khas anak bungsuku. Dari ujung pematang yang lain, sosok yang sangat luarbiasa untuk menemaniku hidup itu berjalan menuju ke arah kami sembari membawa rantang, pastilah pisang goreng, karena tadi tidak berangkat bersama karena mempersiapkan makanan ringan  sore.

Di sebuah pojokan pematang sawah, di sebuah dangau atau gubug sederhana kami berhenti, memandang ke arah timur, ada sekeping kilau air tersapu sinar matahari, dan itu diyakini anak-anakku sebagai air di waduk.  Dusun kecil itu nampak anggun, rumah-rumah takterlihat, terbungkus pohon-pohon bamboo, dan semilir angina senja semakin menjadikan indahnya suasana. Berebut dalam cinta, tiga bocah itu mengabil pisang kapok goring yang maish hangat dan aromanya membuai hidung kami..
Burung-burung juga nampak berjuang menutup hari dengan mencari kenyang, suara-suara Rusa di dalam hutan menambah indahnya zimfoni senja, seolah nuansa purba yang elok sejahtera sedang terulang kembali.

padasuatuketika


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH