Suatu sore , entah kapan tepatnya, aku lupa, secara tidak
sengaja,bersama dengan anak-anakku, berjalan-jalan menimati senja di sekitar
pematang sawah. Desa ini, atau lebih tepatnya dusun, sangat unik. Hanya ada
satu akses yang bisa dijangkau dengan kendaraan normal, dari arah timur. Tiga dari
empat sisi mata angina dusun ini dijaga oleh perbukitan, dan sawah adalah
kemewahan dalam kultur pegunungan kapur di bagian selatan pulau Jawa ini.
Kebetulan waktu itu kami berpapasan dengan para penebang
kayu dengan suara mesin pemotong yang menderu-deru. Kami sepakat untuk melihat
proses pemotongan kayu dan pengankatannya ke pinggir jalan di mana siap
diangkut dengan truk atau alat angkut lainnya. Kebetulan, saat kami menyaksikan
itu,para pengangkat kayu sedang berjuang mengangkat batang kayu paling bawah
yang tentunya paling besar. Dibutuhkan empat orang untuk menggotong kayu yang
sudah roboh itu. Maka bersiaplah empat orang dengan wajah kuyu dan keringat
mengucur deras dari sekujur tubuhnya. Nampak letih membayang di wajah-wajah
mereka. Dan dengan sempoyongan serta gontai mereka mengerahkan seluruh tenaga
mereka mengangkat kayu besar itu. Mungkin di benak mereka terbayang wajah anak
dan istri yang menunggu di rumah dengan setia untuk mendapatkan makan dari
pekerjaan ayah mereka.
Agak jauh juga tempat robohnya kayu itu dengan jalan di
mana truk siap mengangkut kayu itu. Kami mengikuti langkah-langkah mereka dan
suatu waktu terpelesetlah salah seorang pemikul itu dan berhentilah proses
penggotongan kayu itu. Anak saya yang sulung bertanya, mengapa berhenti? Dan
aku tidak menjawabnya. Lalu bertiga, para penggotong itu mencoba mengangkat
batang kayu itu, namun gagal. Sejenak kemudian datanglah orang lain yang
menggantikan si penggotong yang terluka karena jatuh itu. Maka, berjalanlah
rombongan pemikul itu,dengan irama jalan yang
ritmis dan seragam serta kompak, menuju tujuan mereka.
Terkadang hidup itu seperti isah para penggotong kayu
itu. Harus saling bekerja sama dan saling mengerti. Jika salah satu gagal
mengimbangi kebersamaan, maka yang
terjadi adalah kekacauan. Kisah empat orang yang hendak membawa orang sakit
kepada Sang Guru Agung, Sang Hidup Yang Sejati, megingatkan kita semua betapa
kerjasama dan kesepahaman merupakan pokok penting dari upaya menjaga harmoni
dan menggapai bahagia bersama.
Dan di senja itu, di sekitaran pegunungan seribu, aku
merasa bisa mengajak ketiga anak-anak kami belajar tentang kehidupan, meski
mereka pasti menerima dalam keberadaan yang berbeda. Kami beranjak meninggalkan
lokasi itu, tetap di sekitaran pematang sawah. Di sebelah barat nampak matahari
mulai letih mengarungi hari yang sangat menjengkelkan. Kami beria-ria dalam
kesederhanaan senja, sampai ada teriakan dari ujung sawah yang lain. Suara yang
sangat kami kenal, apalagi oelh si bungsu. Serentak kami menoleh dan kemudian
terdengarlah suara khas anak bungsuku. Dari ujung pematang yang lain, sosok
yang sangat luarbiasa untuk menemaniku hidup itu berjalan menuju ke arah kami
sembari membawa rantang, pastilah pisang goreng, karena tadi tidak berangkat
bersama karena mempersiapkan makanan ringan sore.
Di sebuah pojokan pematang sawah, di sebuah dangau atau
gubug sederhana kami berhenti, memandang ke arah timur, ada sekeping kilau air
tersapu sinar matahari, dan itu diyakini anak-anakku sebagai air di waduk. Dusun kecil itu nampak anggun, rumah-rumah
takterlihat, terbungkus pohon-pohon bamboo, dan semilir angina senja semakin
menjadikan indahnya suasana. Berebut dalam cinta, tiga bocah itu mengabil
pisang kapok goring yang maish hangat dan aromanya membuai hidung kami..
Burung-burung juga nampak berjuang menutup hari dengan
mencari kenyang, suara-suara Rusa di dalam hutan menambah indahnya zimfoni
senja, seolah nuansa purba yang elok sejahtera sedang terulang kembali.
padasuatuketika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar