Sabtu, 20 April 2019

BIARLAH KUPILIH JALAN INI SAHABAT





Suasana siang menjelang sore itu sungguh sangat gaduh, ada tangisan duka dan detak kehilangan, ada keajaiban-keajaiban dan juga ada gelak tawa tanpa dosa dari mereka yang menikmati sengsara orang lain. Aku mengikuti semua peristiwa yang terjadi, semenjak menjelang makan bersama yang terakhir dengan Sang Guru, saat aku menyendiri dan dipanggil sahabat setiaku. Aku merasa tersudut ketika Guru menyatakan aka nada yang menjadi penghianat, karena melirik ke aku. Kemudian kau bergegas saat semua sibuk bercengkrama, aku menghadap para penguasa tempat ibadah yang sudah bersundal dengan penguasa Romawi.


Aku mengabarkan di mana keberadaan Guru dan sahabat-sahabatku berada. Sudah bulat tekadku, aku hendak meyelamatkan Guru. Pikirku, dengan ditangkapnya Guru, maka tidak aka nada penghakiman masa, Guru justru akan aman dalam pengawasan para imam dan para penguasa. Maka setelah mendapatkan informasiku, segera mereka menanggapinya dengan sukacita. Sekantong uang diberikan kepadaku, aku menerimanya, buka karena aku serakah, namun untuk mengelabuhi niat sejatiku.

Kutaruh kantong berisi uang itu, dan kemudian aku menjadi petunjuk jalan menuju ke tempat yang akan dituju Guru dan sahabat-sahabat, yaitu ke sebuah taman yang bernama Getsmane. Gelap malam tidak begitu terasa, karena obor yang banyak menyertai perjalanan kami. Sudah kuberi isyarakt kepada para imam dan prajurit, bahwa nanti sosok yang akan kupeluklah yang harus ditangkap. Sekali lagi, ini kesaksianku, aku berharap dengan ditangkapnya Guru, Dia akan aman dari amukan masa.

Kemudian kami menuju kota kembali, dan guru bersama dengan kami. Sementara sahabat-sahabat yang lain, entah ke mana, aku taksempat menanayi dan juga tak sempat memperhatikan mereka. Hanya, beberapa nampak sinis menatapku, saat pertama kali aku datang bersama rombongan pembenci Guru. Sesampai di kota, di gedung pengadilan agama, aku sempat melihat sahabatku Simon Petrus, dia ada dalam rona wajah takut luar biasa diantara orang banyak yang menghangatkan tubuh dengan perapian, namun setelah itu aku tidak mengetahuinya.

Malam itu aku segera tidur, sesampainya di kota, di gedung pengadilan agama. Letihku teramat sangat, baik raga yang sekian lama terserang bisul di paha. Aku sudah berusaha menjaga mataku dari kantuk, dua batang cigarette dari sahabat yang menmuiku di pinggiran kota tempo hari taksanggup mengganjal kantuk yang menderaku malam itu. Dan aku tertidur, hingga hingar suara lautan manusia membangunkanku.



Aku segera berbenah, membersihkan tubuh dan bergabung dengan lautan manusia. Dan sesampainya di kerumanan masa, betapa aku sangat terkejut, ternyata sudah terjadi penghakiman, dan Guru..Guru harus menjadi pesakitan. Guru harus terhukum, menggantikan si Barabas, durjana biadab itu. Aku terpengah, dan kemudian sebaris sesal mulai menderaku. Aku kemudian memutuskan untuk mengikuti rombongan masa yang membanjir seperti semut menuju sebuah tempat.

Panas terik mentari menghajar tubuh-tubuh yang bergerak laksana air bah di lautan. Aku mengikuti mereka, membaur bersama mereka, sembari menghindari sahabat-sahabatku yang kuyakin masih sangat membenciku. Panas dan debu menyatu, seperti kondisi pikiran manusia yang selalu diliputi dendam dan ambisi. Ambisi akan menjadi bahan bakar siapa saja untuk membuatnya mampu melakukan apa saja, dan dendam akan menjadi sahabat karib dari ambisi yang takterkabulkan.

Langkahku gontai, aku jadi ingat, ternyata saat itu aku belum makan pagi,semua karena tergesa. Dan karena langkahku terkadang melambat, aku menjadi ada di bagian belakang, dan sendiri. Justru dalam kesendirian inilah, aku bisa menyaksikan bercak-bercak darah segar di sepanjang jalan, menempel di bebatuan dan rerumputan yang melayu karena kemarau. Darah siapakah ini?Darah Gurukah?Ahhh..Guruu..ampuni akuu..

Akhirnya sampai juga aku bersama rombongan manusia ini ke sebuah bukit, yang terkenal dengan sebutan Golgota. Di bukit inilah para durjana mengakhiri hidupnya. Aku mencoba mencari tempat yang agak tinggi, ingin menyaksikan apa yang terjadi, dan benar. Guru menjadi satu dari durjana yang terhukum itu. Aku tahu, bahwa dua durjana itu tidak disiksa sepanjang perjalanan ke bukit ini, artinya benar bahwa bercak-bercak darah di sepanjang jalan tadi adalah darah Guru..

Inin Bukan Pacar Yudas LUNNA 

Meski agak jauh posisiku dari lokasi Guru disalib, namun aku dengan sangat jelas bisa menyaksikan seluruh rangkain peristiwa itu. Mereka menyesah  Guru, mendera dengan buas, menyiksa dengan brutal. Kebuasan mereka berlandaskan kebencian dan kebencian adalah virus abadi dalam  kehidupan manusia. Aku sadar, dalam beberapa kesempatan aku mengambil uang untuk kebutuhan kami bersama, dan Guru selalu mengampuniku dan dengan lembut selalu menyapaku, “Jangan kau ulangi..”

Saat kemudian ada gelap gulita, kesempatan ini kupergunakan untuk diam-diam mendekat ke salib, di mana Guru disalibkan. Suasana gelap, sangat gelap, sehingga sulit menjangkau tempat Guru tersalib, namun aku berjuang. Hingga aku akhirnya sampai di dekat Guru. Aku masih dalam keadaan takut luar biasa, karena ini semua aku menjadi bagian darinya. Aku berharap Guru tidak melihatku, aku hanya ingin mendekat dan jika bisa menyentuh kakiNya. Dalam gelap aku berharap inginku terkabul, dan Guru sama sekali tidak mengenaliku. Namun betapa aky terkejut, dalam gelap ada bisikan, “Terima Kasih telah Memainkan Peranmu…”

Aku terperangah, dan sebelum sempat menjawab dan menatap Guru, suasana mendadak menjadi agak terang. Aku bergegas menjauh kembali. Beruntung suasana penuh ketakjuban, sehingga tidak ada yang mengenaliku. Dan aku kembali ke tempatku semula. Dari sana, aku menyaksikan semua yang terjadi, hingga menjelang malam, saat ada sosok yang aku kenal, menurunkan jenasah Guru, membawanya pergi,entah ke mana, aku tidak mengetahuinya.

Nafas yang tersengal dari Guru, yang sempat kudengar dalam gelap saat aku mendekat, seperti halilintar yang menggelegar dalam batinku. Amis darah, yang di dalamnya ada darah Guru, semakin terasa  menusuk hidung, bukan saja hidung ragaku ini, melainkan hidung batinku. Isak tangis permpuan yang kukenali sebagai ibu dari Guru, seolah mencambukku dengan bengis.

Guru telah mati,dan itu karena ulahku. Aku bisa saja membela diri bahwa tujuan utamaku menyerahkan Guru karena niatan baik, namun kematian guru tidak bisa menghindarkanku dari gelar terhormat sepanjang masa, Sang Penghianat. Aku tidak menyangka, bahwa kematian yang selama ini dikatakan Guru adalah sebuah kebenaran, pikirku, Guru akan tetap aman dalam tahanan para imam dan penguasa. Lalu akan kuajak mengusir anjing-anjing Romawi beserta begundal-begundalnya. Namun semua sudah terlambat.

Sesalku mungkin tiada berguna. Kuhela nafas, dan gelap semakin sempurna melingkupi jagad raya. Sepi malam ikut mengharu dan mengaduk-aduk  batinku, dan kemudian ada air bening mengalir dari pelupuk mataku. Sesaat kemudian ada sesal yang mengganjal jiwaku. Sempat kudengar kembali lirih suara Guru, “Terima Kasih sudah memaikan peranmu”, namun cibiran dan makian serta kemungkina balas dendam dari sahabat-sahabatku lebih menakutkanku.

Ketika aku mencoba mengambil kain di saku pinggangku, tak kusadari aku meraba sesuatu. Kuambil, meski dalam gelap aku bisa teringat, ini uang dari bajingan-bajingan di Bait Allah itu. Seketika aku menjadi marah dan geram, namun takut untuk mengurai dendam. Pada saat seperti itu juga kembali muncul, wajah-wajah menatapku penuh kebencian dan kemudian dalam bayangan wajahku, aku sendirian dalam kebersamaan. Itulah siksa terberat dalam angan kehidupanku, tersendiri dalam kebersamaan.

Tiba-tiba aku beranjak, bahkan bisa dikatakan berlari. Aku berlari memabwa kedukaan dan kehampaan serta juga ketakutan meniti esok hari. Aku berlari ke arah barat agak selatan, suatu waktu akan dinamakan barat daya. Aku berlari-berlari hingga masih dalam gelapnya malam sampai di sebuah lembah. Gelap sekali, kakiku terantuk batu, kasutku terlepas dan kurasakan ada perih di jari dan betisku. Ada darah ternyata, mengucur deras. Saat aku mencoba mengambil kain di kantung yang dipinggangku, kembali aku menyentuh sebuah benda,dan aku teringat. Inilah uang laknat itu, segera kuambil dan kulemparkan. Aku tidak butuh uang itu, aku tidak butuh harta itu.

Kemudian aku terhempas, duduk di sebuah batu. Gelap dan di atas kulihat kerlip bintang gemintang, sempat kunikmati indahnya bintang-bintang itu, namun kemudian sirna. Bayangan wajah kebencian dan kesendirian menyiksaku, sangat menyiksaku. Aku tak mungkin bisa hidup dalam kebencian serta ketakutan dari mereka yang aku cinta. Saat aku tertegun dalam kegalauan smpurna, saat itu kulihat sebuah benda bekilauan tertempa sinar rembula yang tetiba muncul dari balik segumpal awan kemarau.

Uang logam yang tadi aku lempar. Aku amati kemudian aku pungut kembali. Kuraba serta kutatap dalam temaram malam bersama rembulan. “Kau uang, tidak aku saja manusia yang akan menderita karenamu. Namun tenaglah, semua bukan salahmu. Semua adalah akibat dari ambisi serta keserakahan makluk sepertiku ini. Dan masih akan ada korban-korban darimu uang. Manusia akan memelukmu melebihi Sang Illahi dan sering menjadikanmu alat dan kebanggaan semu. Keserakahan dan sifat pelit juga akan berawal darimu, namun kau tidak salah. Sifat serakah manusialah yang salah, aku berguman. Dalam pandanganku akan masa yang akan datang, bahwa akan banyak manusia yang tersiksa karena uang.
Aku letakkan kembali logam ini. Desiran angina menampar jubahku yang sudah rombeng dalam pelarianku, perih luka di kaki kembali terasakan, namun masih terasa perih gugatan batin akan salah dan dosaku. Karena tindakanku, Guru menjadi terbunuh dengan sangat kejam.

“Lenyaplah engkau penghianat!!!”,Tiba-tiba muncul suara itu dalam batinku. Aku terperanjat dan kemudian semakin terdengar nyaring meski aku menutup telingaku, karena memang itu suara sisi batinku yang lain. Dan kemudian aku berlari. Dalam pelarian malam yang dingin dan sepi, dalam luka dan perih karena terantuk bebatuan serta tertusuk onak duri, batinku bertempur hebat. Antara kembali kepada para sahabat dengan selaksa malu atau pergi sejauh-jauhnya dari kehidupan ini. Ada air mengucur deras dari pelupuk mataku, aku merasakan dengan sangat perih.

Aku semakin letih dan lemah, namun tetap berlari, hingga kemudian sampai di sebuah sisi jurang. Kudengar adaaliran sungai jauh di bawah sana, kilatan kilau air tertimpa sinar rembulan  memperjelas, bahwa lembah itu ada sungainya. Aku kembali tertegun dalam letih yang luar biasa. Malam semakin menuju puncaknya, sepi, sangat sepi. Aku merasa sendir, bukan sekedar sendiri di tempat ini, namun sendiri dalam kesalahanku. Kutatap dalam gelap di depanku, Jurang! Bimbang menderaku kembali, melanjutkan hidup dengan memanggul malu tiada berakhir atau mengakhiri semua dengan caraku sendiri. BIARLAH KUPILIH JALAN INI..

Nafasku tersenggal, batuk mulai mengikuti deritaku dan dingin malam seolah ikut menyiksaku, ikut semesta yang menyesah serta menderaku. Justru dalam keadaan seperti ini, pertempuran batin yang sempurna inilah, aku  bisa merasakan derita Guru. Merasakan pedih dan perihnya luka serta lapar dan sendiri. Kembali kata-kata Guru sesaat dalam gelap manakala aku mendekat terngiang kembali. Guru menyapaku dengan cinta.

Kuhela nafas kembali, semakin sesak. Lapar dan haus mendera, dan nampaknya tiada makanan serta minuman di tempat ini. Aku bergeser, mendekat ke tepi jurang, ingin merasakan sebuah sensasi kehidupan. Sisi jurang ini menjadi tempat yang aman dan nyaman untukku, paling tidak malam ini. Aku tidak tahu akan seperti apa esok hariku, namun bayangan kebencian sahabat-sahabat dan kerabatku semakin menghujam dan mendakwaku, bahwa aku adalah sampah dunia dan kehidupan.

Aku tidak akan pernah membenci mereka, karena mereka juga berhak mendakwaku. Aku cukup puas dengan jawaban dan sapaan Guru sesaat ketika gelap tadi. Juga pilihanku untuk memilih jalan ini, seperti jawabku saat bercakap dengan sahabat dekatku, siang sebelum perjamuan dengan Guru yang terakhir itu. Aku akan menikmati sisa hidupku di tempat ini, esok, saat matahari menerangi alam semesta, jika nyawaku masih menyatu dengan ragaku, aku kan mencari makanan demi kekuatan ragaku, kemudian mencari tempat tinggal, akan kuisi hari-hariku dengan upaya menyatu dengan Guru, dengan caraku.

Kurasakan suara gemericik air sungai jauh di bawah, di lembah sana, sangat jelas dan semakin jelas. Gemericik itu terasa indah, juga kidung serangga dan burung malam, indah dan mempesona. Semilir angin malam, angin kemarau dari arah gurun terasa menyegarkan, tidak dingin seperti biasanya. Aku sungguh menikmati suasana, tubuhku seperti melambung, jauh..jauh..dan kemudian aku merasa seperti terantuk bebatuan tajam.. Ada segumpal rasa sakit menghampiriku, taksempat aku berteriak, karena kemudian gelap..Gelap yang sempurna.

Salam Hangat
Yang Diberi Gelar penghianat


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH