Suasana siang menjelang sore itu sungguh sangat gaduh,
ada tangisan duka dan detak kehilangan, ada keajaiban-keajaiban dan juga ada
gelak tawa tanpa dosa dari mereka yang menikmati sengsara orang lain. Aku mengikuti
semua peristiwa yang terjadi, semenjak menjelang makan bersama yang terakhir
dengan Sang Guru, saat aku menyendiri dan dipanggil sahabat setiaku. Aku merasa
tersudut ketika Guru menyatakan aka nada yang menjadi penghianat, karena
melirik ke aku. Kemudian kau bergegas saat semua sibuk bercengkrama, aku
menghadap para penguasa tempat ibadah yang sudah bersundal dengan penguasa
Romawi.
Aku mengabarkan di mana keberadaan Guru dan
sahabat-sahabatku berada. Sudah bulat tekadku, aku hendak meyelamatkan Guru. Pikirku,
dengan ditangkapnya Guru, maka tidak aka nada penghakiman masa, Guru justru
akan aman dalam pengawasan para imam dan para penguasa. Maka setelah
mendapatkan informasiku, segera mereka menanggapinya dengan sukacita. Sekantong
uang diberikan kepadaku, aku menerimanya, buka karena aku serakah, namun untuk
mengelabuhi niat sejatiku.
Kutaruh kantong berisi uang itu, dan kemudian aku menjadi
petunjuk jalan menuju ke tempat yang akan dituju Guru dan sahabat-sahabat,
yaitu ke sebuah taman yang bernama Getsmane. Gelap malam tidak begitu terasa,
karena obor yang banyak menyertai perjalanan kami. Sudah kuberi isyarakt kepada
para imam dan prajurit, bahwa nanti sosok yang akan kupeluklah yang harus
ditangkap. Sekali lagi, ini kesaksianku, aku berharap dengan ditangkapnya Guru,
Dia akan aman dari amukan masa.
Kemudian kami menuju kota kembali, dan guru bersama
dengan kami. Sementara sahabat-sahabat yang lain, entah ke mana, aku taksempat
menanayi dan juga tak sempat memperhatikan mereka. Hanya, beberapa nampak sinis
menatapku, saat pertama kali aku datang bersama rombongan pembenci Guru. Sesampai
di kota, di gedung pengadilan agama, aku sempat melihat sahabatku Simon Petrus,
dia ada dalam rona wajah takut luar biasa diantara orang banyak yang
menghangatkan tubuh dengan perapian, namun setelah itu aku tidak mengetahuinya.
Malam itu aku segera tidur, sesampainya di kota, di
gedung pengadilan agama. Letihku teramat sangat, baik raga yang sekian lama
terserang bisul di paha. Aku sudah berusaha menjaga mataku dari kantuk, dua
batang cigarette dari sahabat yang menmuiku di pinggiran kota tempo hari
taksanggup mengganjal kantuk yang menderaku malam itu. Dan aku tertidur, hingga
hingar suara lautan manusia membangunkanku.
Aku segera berbenah, membersihkan tubuh dan bergabung
dengan lautan manusia. Dan sesampainya di kerumanan masa, betapa aku sangat
terkejut, ternyata sudah terjadi penghakiman, dan Guru..Guru harus menjadi
pesakitan. Guru harus terhukum, menggantikan si Barabas, durjana biadab itu. Aku
terpengah, dan kemudian sebaris sesal mulai menderaku. Aku kemudian memutuskan
untuk mengikuti rombongan masa yang membanjir seperti semut menuju sebuah
tempat.
Panas terik mentari menghajar tubuh-tubuh yang bergerak
laksana air bah di lautan. Aku mengikuti mereka, membaur bersama mereka,
sembari menghindari sahabat-sahabatku yang kuyakin masih sangat membenciku. Panas
dan debu menyatu, seperti kondisi pikiran manusia yang selalu diliputi dendam
dan ambisi. Ambisi akan menjadi bahan bakar siapa saja untuk membuatnya mampu
melakukan apa saja, dan dendam akan menjadi sahabat karib dari ambisi yang
takterkabulkan.
Langkahku gontai, aku jadi ingat, ternyata saat itu aku
belum makan pagi,semua karena tergesa. Dan karena langkahku terkadang melambat,
aku menjadi ada di bagian belakang, dan sendiri. Justru dalam kesendirian
inilah, aku bisa menyaksikan bercak-bercak darah segar di sepanjang jalan,
menempel di bebatuan dan rerumputan yang melayu karena kemarau. Darah siapakah
ini?Darah Gurukah?Ahhh..Guruu..ampuni akuu..
Akhirnya sampai juga aku bersama rombongan manusia ini ke
sebuah bukit, yang terkenal dengan sebutan Golgota. Di bukit inilah para
durjana mengakhiri hidupnya. Aku mencoba mencari tempat yang agak tinggi, ingin
menyaksikan apa yang terjadi, dan benar. Guru menjadi satu dari durjana yang
terhukum itu. Aku tahu, bahwa dua durjana itu tidak disiksa sepanjang
perjalanan ke bukit ini, artinya benar bahwa bercak-bercak darah di sepanjang
jalan tadi adalah darah Guru..
Inin Bukan Pacar Yudas LUNNA
Meski agak jauh posisiku dari lokasi Guru disalib, namun
aku dengan sangat jelas bisa menyaksikan seluruh rangkain peristiwa itu. Mereka
menyesah Guru, mendera dengan buas,
menyiksa dengan brutal. Kebuasan mereka berlandaskan kebencian dan kebencian
adalah virus abadi dalam kehidupan
manusia. Aku sadar, dalam beberapa kesempatan aku mengambil uang untuk
kebutuhan kami bersama, dan Guru selalu mengampuniku dan dengan lembut selalu
menyapaku, “Jangan kau ulangi..”
Saat kemudian ada gelap gulita, kesempatan ini
kupergunakan untuk diam-diam mendekat ke salib, di mana Guru disalibkan. Suasana
gelap, sangat gelap, sehingga sulit menjangkau tempat Guru tersalib, namun aku
berjuang. Hingga aku akhirnya sampai di dekat Guru. Aku masih dalam keadaan
takut luar biasa, karena ini semua aku menjadi bagian darinya. Aku berharap
Guru tidak melihatku, aku hanya ingin mendekat dan jika bisa menyentuh kakiNya.
Dalam gelap aku berharap inginku terkabul, dan Guru sama sekali tidak
mengenaliku. Namun betapa aky terkejut, dalam gelap ada bisikan, “Terima Kasih
telah Memainkan Peranmu…”
Aku terperangah, dan sebelum sempat menjawab dan menatap
Guru, suasana mendadak menjadi agak terang. Aku bergegas menjauh kembali. Beruntung
suasana penuh ketakjuban, sehingga tidak ada yang mengenaliku. Dan aku kembali
ke tempatku semula. Dari sana, aku menyaksikan semua yang terjadi, hingga
menjelang malam, saat ada sosok yang aku kenal, menurunkan jenasah Guru,
membawanya pergi,entah ke mana, aku tidak mengetahuinya.
Nafas yang tersengal dari Guru, yang sempat kudengar
dalam gelap saat aku mendekat, seperti halilintar yang menggelegar dalam
batinku. Amis darah, yang di dalamnya ada darah Guru, semakin terasa menusuk hidung, bukan saja hidung ragaku ini,
melainkan hidung batinku. Isak tangis permpuan yang kukenali sebagai ibu dari
Guru, seolah mencambukku dengan bengis.
Guru telah mati,dan itu karena ulahku. Aku bisa saja
membela diri bahwa tujuan utamaku menyerahkan Guru karena niatan baik, namun
kematian guru tidak bisa menghindarkanku dari gelar terhormat sepanjang masa,
Sang Penghianat. Aku tidak menyangka, bahwa kematian yang selama ini dikatakan
Guru adalah sebuah kebenaran, pikirku, Guru akan tetap aman dalam tahanan para
imam dan penguasa. Lalu akan kuajak mengusir anjing-anjing Romawi beserta
begundal-begundalnya. Namun semua sudah terlambat.
Sesalku mungkin tiada berguna. Kuhela nafas, dan gelap
semakin sempurna melingkupi jagad raya. Sepi malam ikut mengharu dan
mengaduk-aduk batinku, dan kemudian ada
air bening mengalir dari pelupuk mataku. Sesaat kemudian ada sesal yang
mengganjal jiwaku. Sempat kudengar kembali lirih suara Guru, “Terima Kasih sudah
memaikan peranmu”, namun cibiran dan makian serta kemungkina balas dendam dari
sahabat-sahabatku lebih menakutkanku.
Ketika aku mencoba mengambil kain di saku pinggangku, tak
kusadari aku meraba sesuatu. Kuambil, meski dalam gelap aku bisa teringat, ini
uang dari bajingan-bajingan di Bait Allah itu. Seketika aku menjadi marah dan
geram, namun takut untuk mengurai dendam. Pada saat seperti itu juga kembali
muncul, wajah-wajah menatapku penuh kebencian dan kemudian dalam bayangan
wajahku, aku sendirian dalam kebersamaan. Itulah siksa terberat dalam angan
kehidupanku, tersendiri dalam kebersamaan.
Tiba-tiba aku beranjak, bahkan bisa dikatakan berlari. Aku
berlari memabwa kedukaan dan kehampaan serta juga ketakutan meniti esok hari. Aku
berlari ke arah barat agak selatan, suatu waktu akan dinamakan barat daya. Aku berlari-berlari
hingga masih dalam gelapnya malam sampai di sebuah lembah. Gelap sekali, kakiku
terantuk batu, kasutku terlepas dan kurasakan ada perih di jari dan betisku. Ada
darah ternyata, mengucur deras. Saat aku mencoba mengambil kain di kantung yang
dipinggangku, kembali aku menyentuh sebuah benda,dan aku teringat. Inilah uang
laknat itu, segera kuambil dan kulemparkan. Aku tidak butuh uang itu, aku tidak
butuh harta itu.
Kemudian aku terhempas, duduk di sebuah batu. Gelap dan
di atas kulihat kerlip bintang gemintang, sempat kunikmati indahnya
bintang-bintang itu, namun kemudian sirna. Bayangan wajah kebencian dan
kesendirian menyiksaku, sangat menyiksaku. Aku tak mungkin bisa hidup dalam
kebencian serta ketakutan dari mereka yang aku cinta. Saat aku tertegun dalam
kegalauan smpurna, saat itu kulihat sebuah benda bekilauan tertempa sinar
rembula yang tetiba muncul dari balik segumpal awan kemarau.
Uang logam yang tadi aku lempar. Aku amati kemudian aku
pungut kembali. Kuraba serta kutatap dalam temaram malam bersama rembulan. “Kau
uang, tidak aku saja manusia yang akan menderita karenamu. Namun tenaglah,
semua bukan salahmu. Semua adalah akibat dari ambisi serta keserakahan makluk
sepertiku ini. Dan masih akan ada korban-korban darimu uang. Manusia akan
memelukmu melebihi Sang Illahi dan sering menjadikanmu alat dan kebanggaan
semu. Keserakahan dan sifat pelit juga akan berawal darimu, namun kau tidak
salah. Sifat serakah manusialah yang salah, aku berguman. Dalam pandanganku
akan masa yang akan datang, bahwa akan banyak manusia yang tersiksa karena
uang.
Aku letakkan kembali logam ini. Desiran angina menampar
jubahku yang sudah rombeng dalam pelarianku, perih luka di kaki kembali
terasakan, namun masih terasa perih gugatan batin akan salah dan dosaku. Karena
tindakanku, Guru menjadi terbunuh dengan sangat kejam.
“Lenyaplah engkau penghianat!!!”,Tiba-tiba muncul suara
itu dalam batinku. Aku terperanjat dan kemudian semakin terdengar nyaring meski
aku menutup telingaku, karena memang itu suara sisi batinku yang lain. Dan kemudian
aku berlari. Dalam pelarian malam yang dingin dan sepi, dalam luka dan perih
karena terantuk bebatuan serta tertusuk onak duri, batinku bertempur hebat. Antara kembali
kepada para sahabat dengan selaksa malu atau pergi sejauh-jauhnya dari
kehidupan ini. Ada air mengucur deras dari pelupuk mataku, aku merasakan dengan sangat perih.
Aku semakin letih dan lemah, namun tetap berlari, hingga
kemudian sampai di sebuah sisi jurang. Kudengar adaaliran sungai jauh di bawah
sana, kilatan kilau air tertimpa sinar rembulan
memperjelas, bahwa lembah itu ada sungainya. Aku kembali tertegun dalam
letih yang luar biasa. Malam semakin menuju puncaknya, sepi, sangat sepi. Aku merasa
sendir, bukan sekedar sendiri di tempat ini, namun sendiri dalam kesalahanku. Kutatap
dalam gelap di depanku, Jurang! Bimbang menderaku kembali, melanjutkan hidup
dengan memanggul malu tiada berakhir atau mengakhiri semua dengan caraku
sendiri. BIARLAH KUPILIH JALAN INI..
Nafasku tersenggal, batuk mulai mengikuti deritaku dan
dingin malam seolah ikut menyiksaku, ikut semesta yang menyesah serta
menderaku. Justru dalam keadaan seperti ini, pertempuran batin yang sempurna
inilah, aku bisa merasakan derita Guru. Merasakan
pedih dan perihnya luka serta lapar dan sendiri. Kembali kata-kata Guru sesaat
dalam gelap manakala aku mendekat terngiang kembali. Guru menyapaku dengan
cinta.
Kuhela nafas kembali, semakin sesak. Lapar dan haus
mendera, dan nampaknya tiada makanan serta minuman di tempat ini. Aku bergeser,
mendekat ke tepi jurang, ingin merasakan sebuah sensasi kehidupan. Sisi jurang
ini menjadi tempat yang aman dan nyaman untukku, paling tidak malam ini. Aku tidak
tahu akan seperti apa esok hariku, namun bayangan kebencian sahabat-sahabat dan
kerabatku semakin menghujam dan mendakwaku, bahwa aku adalah sampah dunia dan
kehidupan.
Aku tidak akan pernah membenci mereka, karena mereka juga
berhak mendakwaku. Aku cukup puas dengan jawaban dan sapaan Guru sesaat ketika
gelap tadi. Juga pilihanku untuk memilih jalan ini, seperti jawabku saat
bercakap dengan sahabat dekatku, siang sebelum perjamuan dengan Guru yang
terakhir itu. Aku akan menikmati sisa hidupku di tempat ini, esok, saat matahari
menerangi alam semesta, jika nyawaku masih menyatu dengan ragaku, aku kan mencari makanan demi kekuatan ragaku, kemudian
mencari tempat tinggal, akan kuisi hari-hariku dengan upaya menyatu dengan
Guru, dengan caraku.
Kurasakan suara gemericik air sungai jauh di bawah, di lembah
sana, sangat jelas dan semakin jelas. Gemericik itu terasa indah, juga kidung serangga dan burung malam, indah
dan mempesona. Semilir angin malam, angin kemarau dari arah gurun terasa
menyegarkan, tidak dingin seperti biasanya. Aku sungguh menikmati suasana, tubuhku
seperti melambung, jauh..jauh..dan kemudian aku merasa seperti terantuk
bebatuan tajam.. Ada segumpal rasa sakit menghampiriku, taksempat aku
berteriak, karena kemudian gelap..Gelap yang sempurna.
Salam
Hangat
Yang
Diberi Gelar penghianat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar