Jumat, 12 April 2019

TIMBA AIR TRADISIONAL





Beberapa hari yang lalu, dalam sebuah perkunjungan ke rumah seorang kerabat yang letaknya agak di pinggiran kota, Aku mengalami pekerjaan yang sudah sangat lama tidak aku lakukan. Pekerjaan ini adalah menimba air dari dalam sumur. Timbanya bukan sembarang timba, mungkin untuk saat sekarang ini sudah sangat langka, yaitu sebatang bambu yang ujungnya ada tali yang mengaitkannya dengan ember, sementara di dekat mulut sumur, ujung bambu yang lain ditali dan diberi batu sebagai pemberat. Awalnya agak kecapekan juga melakukan tugas ini, namun lama-lama asyik dan sungguh membuat badan menjadi lebih segar sebelum mandi.

Ada banyak alat untuk mengambil air dari dalam sumur. Dari alat yang sangat sederhana sampai ke alat paling modern dan sungguh sangat canggih. Terkadang, saat memakai alat canggih, sering kita melupakan alat yang mendahului alat canggih itu. Dan sering pula terjadi, pemakaian alat bantu mengambil air itu dijadikan ukuran status sosial seseorang. 

Orang yang menggunakan alat tradisional sering dianggap miskin dan tidak mengikuti perkembangan jaman. Padahal, saudara yang aku kunjungi itu, yang timbanya adalah galah bambu dan ember serta batu  itu, seorang pengusaha di daerahnya. Secara ekonomi ia mapan, namun memilih timba sederhana,bukan jetpump.sanyo atau alat canggih lainnya. Saat santai kutanya, mengapa memilih alat sederhana itu, ia menjawab enteng. “Aku menyukai itu mas, tidak penting itu jadul atau membuatku letih secara fisik, yang penting aku menyukai dan tidak boros bahan bakar, sekaligus sebagai  media untuk berolahraga”.


Ternyata, sesuatu yang kuno,jadul,tradisional itu bisa menjadikan keindahan lain saat dinikmati dengan sepenuh hati. Berani memilih dengan segala resiko,itulah kehidupan yang sejati. Namun terkadang manusia gagal memilih sesuai selera nurani, hanya memilih berdasarkan gengsi dan harga diri, tanpa pernah mengerti makna yang sejati. Timba jadul itu, mengajariku akan kehidupan, betapa semua bukan tergantung dari popular dan berapa banyak yang menggunakan, namun dari pilihan untuk mempergunakannya.

Dan, jika kita mau dengan segala kerendahatian mengamati sekeliling ini, ada banyak bahasa alam yang sejatinya adalah bahasa Illahi untuk memberi kita pencerahan tentang kehidupan ini. Timba kuno hanya satu diantara ribuan bahkan milyaran bahasa Illahi, persoalanya adalah, sangguhkah kita membacanya?Sanggupkah kita memangkas laju kehidupan kita yang bergerak super cepat, sehingga sering eggan menyaksikan dengan seksama tentang yang sangat sederhana?

Salam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH