Kamis, 18 April 2019

SISI LAIN BATIN SEORANG SAHABAT




Siang sudah bergesar karena sudah melintasi titik tertingginnya, karena matahari mulai bergulir ke arah barat. Udara panas masih terasa, ketika menyapa bersama  debu-debu gurun, yang seolah mengikuti perjalanan kami. Aku bersama dengan guru dan sebelas teman setia kami, juga diikuti oleh beberapa orang, baru hari ini memasuki kota bersejarah ini. Tidak ada perubahan berarti kutemukan di kota bersejarah ini, di sudut-sudut kota masih seperti beberapa waktu yang lalu, ketika kami terakhir kali mengunjujngi kota ini, juga bersama sang guru.

Pohon perdu di tikungan jalan sebelum ke arah pusat kota, di mana ada tempat beribadah kebanggan seluruh sejarah masyarakat kota ini, masih seperti waktu kami ke sini beberapa waktu lalu. Mungkin sudah tidak bisa lagi perdu itu bertumbuh dan berkembang, tinggal bertahan dan bertahan. Di seberang jalan, dekat pohon perdu itu, kami menginap, di sebuah penginapan milik kerabat salah satu dari dua belas sahabat kami.

Penginapan ini lebih dari  sederhana, kalau tidak dikatakan mewah. Cukup besar untuk kami bertigabelas, karena beberapa rekan seperjalanan kami, memilih menginap di rumah kerabatnya. Sementara seperti biasa, tiga orang sahabat kami, selalu ada di sekitar guru, sementara yang lain sibuk dengan pekerjaan masing-masing untuk persiapan malam nanti. Dalam segala kesibukan, aku mencoba mencari salah satu sahabat kami yang semakin nampak aneh dalam pandanganku. Semenjak beberapa hari ini, aku perhatikan ada yang aneh dari sahabatku yang satu itu. Dia sering termenung,sering kujumpai melamun dan enggan berbaur dengan kami ketika sedang dalam pemberhentian.

Aku sengaja menyendiri, mencoba untuk mengetahui sedang di mana sahabat yang satu itu. Kukelilingi rumah penginapan dan juga halamannya, namun tidak juga kujumpai. Aku sengaja tidak menanya ke yang lain, aku ingin mencarinya sendiri, tidak ingin aku menciptakan kecurigaan diantara mereka karena kami hendak merayakan ritual bersejarah agama kami.
Di kamar dalam penginapan juga tak kutemui, kemudian setelah pamitan ke salah seorang sahabat, aku meninggalkan kompleks penginapan dan mencoba mencari di mana sahabat kami yang satu itu berada.

Angin gurun musim kemarau mengiring langkahku, menyusuri jalanan berbatu menuju sebuah sudut kota, tempat yang aku yakini menjadi tempat kesukaan sahabat kami untuk menyendiri. Beberapa peziarah juga berjalan berpapasan denganku, ada juga yang searah meski takkutahu hendak ke mana mereka. Kota ini sedang ramai, ritual sabat, tujuh tahun sekali sedang mendekati puncaknya, hampir semua warga diaspora pulang demi perayaan ini. Sungguh menakjubkan, namun aku tidak hendak berkisah tentang kota ini dan juga ritual sabbatnya, lain waktu jika ada umur, aku akan beriksah tentang kota ini. Saat ini aku hanya ingin berkisah tentang sahabatku yang satu itu..

Panas mentari masih menyengat, hanya saja agak terasa berkurang karena aku berjalan ke arah timur, membelakangi sang mentari. Semilir angin ini menemaniku mencari, dan sesampai di pinggiran sebuah padang rumput, dekat  aliran sungai kecil, aku melihat seesorang sedang duduk termenung. Perlahan kudekati dan akhirnya aku yakin, dialah salah satu sahabat seperjuangan kami. Kuamati dari belakang, mencoba mendekat dengan tidak mencipta suara, agar tidak mengagetkannya. Di bawah pohon ara, dalam rimbunnya daun-daun yang hijau, kulihat sahabat ini masih tetap tenang, setenang air danau galelia saat dini hari.

Langkahku semakin dekat dan anginya yang menampar dedaunan di pinggiran padang rumput ini, sangat membantuku untuk tidak dikenali kalau ada yang mendekatinya. Semakin dekat, bahkan sangat dekat. Aku di belakangnya, saat angin menghentikan tariannya untuk dedaunan, suasana hening dan saat itulah aku bisa mendengar detak jantung sahabat kami ini.

“Di sini, di sampingku, mengapa di belakangku kawan?”, Sapanya ke aku yang membuatku kaget, tak menyangka dia tahu kehadiranku, meski selama tiga tahun kebersamaan kami, aku mulai kagum dengan ketajaman batin sahabat yang satu ini.

“O..ii..iya..aku pikir kamu tak tahu kehadiranku”, jawabku gugup sembari mencari tempat duduk di atas rerumputan kering. Kemudian aku ikut menatap ke arah timur, kulihat hamparan perbukitan yang nampak kokoh dan angkuh. Kuhela nafas sembari menunggu dia menyapaku kembali. Dalam diam, anganku juga ikut terlempar ke kampung halamanku, di sana ada ayah dan ibuku, anak dan istriku, adik-adikku. Tiga tahun ini aku jarang mengunjungi mereka, aku fokus mengikuti sang guru, demi masa depan.

“Mengapa mencariku?’, Sapanya ke aku dengan singkat.

“Aku mulai curiga dengan dirimu dalam bebarapa bulan terakhir, sikap dan tindakanmu aneh”, Jawabku santai, sembari mengeluarkan cigarette khas desa kami di pegunungan Yudea.
Dia diam, dan seperti biasa, tanpa meminta ijin, mengambil cigaretku dan menyulutnya untuk kemudian menghisapnya dengan merdeka. Aku terdiam, hanya ingin menunggu ceritanya dan juga mungkin keluh kesahnya. Dalam setahun terkahir kebersamaan kami, memang sering kami mendengar nada-nada sang guru memberi isayarat bahwa ada nada salah satu diantara kami yang akan menjadi duri dalam daging kebersamaan ini.

“Apakah kamu juga tahu, bahwa guru sering menyindir, bahwa diantara kita akan ada yang menghianatiNya?”, Tanyanya kemudian.

“Iya, tahu” jawabku.
“Pernahkah kamu merasa itu adalah diriku,? Karena aku yakin, dirimu takpernah merasa sebagai yang teruduh itu, dan aku juga menyadari kalau dalam batinmu, kau juga menuduhku, menembakkan arah tuduhan ke aku kan”?
“Tidak”
Aku kemudian beranjak, mencoba menenangkan batinku yang mulai gundah. Aku sebenarnya tahu dari buku-buku kuno di rumah ibadah, bahwa satu diantara 12 murid sang guru akan menjadi penghianat. Namun itu tidak aku ungkapkan demi menjaga relasi kami.

“Jangan berdusta kawan, jujurlah. Aku paham, kamu tahu bahwa akulah yang disindir itu” Berat suara itu, diantara asap cigarette yang diambilnya dariku. Dan aku kembali gundah, kulihat sahabat itu nampak semakin tegang, ada selaksa gundah dalam hidupnya. Nafasnya terdengar berat, sangat berat.

“Iya aku sudah tahu, dan saat ini aku ingin mengajakmu menghadap sang guru, meminta kemurahanNya agar dihindarkan dari jalan hidup sebagai penghianat”, Ujarku serasa berat, seolah sembelit yang akut.
Semilir angin senja, angina kemarau di pinggiran gurun membelai semesta, dan juga kami berdua. Matahari semakin ke arah barat, namun kami masih terbelenggu dalam gejolak batin di bawah pohon ara, di suasana gundah.

“Aku sempat berpikir seperti dirimu kawan. Saat beberapa kali guru mengungkapkan bahwa satu diantara kita akan menjadi penghianat, aku orang yang paling gelisah. Aku membaca buku-buku para nabi dan semua menunjuk ke aku kawan. Jujur aku sangat gundah, sangat sedih dan bahkan takut. Sempat aku menghindari kebersamaan kita, kamu pasti ingatkan? Dua purnama aku memisahkan diri, itu semu demi mengelola gundah ini kawan. Bahkan sempat juga  aku menemui sang guru, namun jawabnya adalah, jalani yang engkau ketahui dan kemudian kamu yakini”, Jawaban itu meluncur dengan lancar dari mulut sahabat ini.. Seekor burung pipit salah mendarat, ketika hinggap tepat di hadapan kami, kemudian langsung kembali kabur saat aku menggerakkan tangan demi meraih cigarette yang sudah habis setengah jam yang lalu.

“Jawaban sang guru itu tidak memuaskanku, justru semakin menjadikanku gelisah dan gundah. Beberapa orang, para rabbi juga aku tanyai, namun jawaannya selalu sama, tidak memuaskanku. Dua hari yang lalu sebelum kita ke kota ini, aku menemui sang guru, dan meski jawaban guru berbeda, namun tetap saja membuatku gelisah dan gundah. Guru tidak menuduhku, namun malah mengatakan untuk aku melakukan semuanya dengan iklas.”

Kembali suasana hening dan aku malah ikut terhanyut dalam dunia yang dihadapi sahabat ini. Betapa sulit ada dalam posisinya, betapa berat ada dalam situasinya. Dan udarapun tiba-tiba seolah ikut berhenti, seperti kami yang berhenti bercakap.

“Aku ke sini bukan untuk apa-apa, aku hanya ingin memantabkan pilihan hidupku” Jawabnya kemudian, ini yang membuatku agak mulai senang.

“Kamu tidak ingin menjadi seperti nubuatan buku-buku suci itu kawan?Kamu akan berbalik?”, Tanyaku parau. Dia terdiam, menatap ke ujung timur, ke hamparan bukit yang mulai ditinggalkan sinar mentari karena senja. Kemuidan dia melirik ke arahku dan berkedip, aku paham. Kuulurkan sebatang cigarette, kemudian kubantu menyalakannya. Dia menghisapnya dengan lega, sangat santai dan kemudian kembali menghela nafas sebelum berucap kembali.

“Aku harus mengikuti nubuatan para nabi, demi kebaikan bersama. Ini cara Tuhan mengatur dunia ini. Biarlah aku digelari penghianat sepanjang sejarah, biarlah aku menjadi musuh bersama sepanjang sejarah peradaban, biarlah namaku jelek dan berbau amis sepanjang peradaban, namun dengan ini, dosa dunia akan terhapuskan, dengan ini kejahatan akan terbuka lebar, kezaliman akan menemukan penawar yang sejati. Aku sudah bertemu guru dan bercakap tiga hari yang lalu, dengan senyum khasnya, beliau menguatkan aku untuk setia dengan panggilan nurani ini. Aku sampai detik ini siap, sangat siap untuk menjalani peran ini, dan aku meyakini inilah peran dalam scenario Illahi. Aku siap sejarahku dan keluargaku akan hitam sampai ujung masa, dan juga siap dengan tulus meski takpernah ada secuilpun yang memberiku gelar pahlawan, karena memang aku bukan pahlawan.”, Masih terasa berat jawaban dari sahabat yang satu ini.  Senja nampaknya akan segera menyelimuti alam semesta, matahari hampir tenggelam di ufuk barat dan burung-burung onta mulai berjalan ke arah sarangnya di sudut-sudut gurun, kadang melintas di perkampungan.

“Ayo kita kembali ke penginapan, mungkin sudah ditunggu guru dan sahabat semua” Sapaku dengan lembut. Dia menghela nafas, kemudian menatap ke arah timur kembali, entah ada apa di sana, setahuku dia berasal dari arah barat kota ini. Apakah impiannya ada di ujung timur itu, sehingga gelisah masih mendera karena nampaknya tidak akan sempat ke sana?. Sembari mengamati awan putih di sisi selatan cakrawala, aku menunggu sahabat beranjak untuk kembali ke penginapan. Dan aku terkejut manakala ada suara yang sangat aku kenal menyapaku sudah berjarak jauh.

“Ayo kembali…” Dan kulihat,, sahabat yang menularkan gelisahnya itu sudah beranjak meninggalkanku. Aku bergegas..


Untuk Sahabat Yang sering Dituduh PENGHIANAT



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH