Siang
sudah bergesar karena sudah melintasi titik tertingginnya, karena matahari
mulai bergulir ke arah barat. Udara panas masih terasa, ketika menyapa
bersama debu-debu gurun, yang seolah
mengikuti perjalanan kami. Aku bersama dengan guru dan sebelas teman setia
kami, juga diikuti oleh beberapa orang, baru hari ini memasuki kota bersejarah
ini. Tidak ada perubahan berarti kutemukan di kota bersejarah ini, di
sudut-sudut kota masih seperti beberapa waktu yang lalu, ketika kami terakhir
kali mengunjujngi kota ini, juga bersama sang guru.
Pohon
perdu di tikungan jalan sebelum ke arah pusat kota, di mana ada tempat
beribadah kebanggan seluruh sejarah masyarakat kota ini, masih seperti waktu
kami ke sini beberapa waktu lalu. Mungkin sudah tidak bisa lagi perdu itu
bertumbuh dan berkembang, tinggal bertahan dan bertahan. Di seberang jalan,
dekat pohon perdu itu, kami menginap, di sebuah penginapan milik kerabat salah
satu dari dua belas sahabat kami.
Penginapan
ini lebih dari sederhana, kalau tidak
dikatakan mewah. Cukup besar untuk kami bertigabelas, karena beberapa rekan
seperjalanan kami, memilih menginap di rumah kerabatnya. Sementara seperti
biasa, tiga orang sahabat kami, selalu ada di sekitar guru, sementara yang lain
sibuk dengan pekerjaan masing-masing untuk persiapan malam nanti. Dalam segala
kesibukan, aku mencoba mencari salah satu sahabat kami yang semakin nampak aneh
dalam pandanganku. Semenjak beberapa hari ini, aku perhatikan ada yang aneh
dari sahabatku yang satu itu. Dia sering termenung,sering kujumpai melamun dan
enggan berbaur dengan kami ketika sedang dalam pemberhentian.
Aku sengaja
menyendiri, mencoba untuk mengetahui sedang di mana sahabat yang satu itu. Kukelilingi
rumah penginapan dan juga halamannya, namun tidak juga kujumpai. Aku sengaja
tidak menanya ke yang lain, aku ingin mencarinya sendiri, tidak ingin aku
menciptakan kecurigaan diantara mereka karena kami hendak merayakan ritual
bersejarah agama kami.
Di kamar
dalam penginapan juga tak kutemui, kemudian setelah pamitan ke salah seorang
sahabat, aku meninggalkan kompleks penginapan dan mencoba mencari di mana
sahabat kami yang satu itu berada.
Angin
gurun musim kemarau mengiring langkahku, menyusuri jalanan berbatu menuju
sebuah sudut kota, tempat yang aku yakini menjadi tempat kesukaan sahabat kami
untuk menyendiri. Beberapa peziarah juga berjalan berpapasan denganku, ada juga
yang searah meski takkutahu hendak ke mana mereka. Kota ini sedang ramai,
ritual sabat, tujuh tahun sekali sedang mendekati puncaknya, hampir semua warga
diaspora pulang demi perayaan ini. Sungguh menakjubkan, namun aku tidak hendak
berkisah tentang kota ini dan juga ritual sabbatnya, lain waktu jika ada umur,
aku akan beriksah tentang kota ini. Saat ini aku hanya ingin berkisah tentang
sahabatku yang satu itu..
Panas
mentari masih menyengat, hanya saja agak terasa berkurang karena aku berjalan ke
arah timur, membelakangi sang mentari. Semilir angin ini menemaniku mencari,
dan sesampai di pinggiran sebuah padang rumput, dekat aliran sungai kecil, aku melihat seesorang
sedang duduk termenung. Perlahan kudekati dan akhirnya aku yakin, dialah salah
satu sahabat seperjuangan kami. Kuamati dari belakang, mencoba mendekat dengan
tidak mencipta suara, agar tidak mengagetkannya. Di bawah pohon ara, dalam
rimbunnya daun-daun yang hijau, kulihat sahabat ini masih tetap tenang,
setenang air danau galelia saat dini hari.
Langkahku
semakin dekat dan anginya yang menampar dedaunan di pinggiran padang rumput
ini, sangat membantuku untuk tidak dikenali kalau ada yang mendekatinya. Semakin
dekat, bahkan sangat dekat. Aku di belakangnya, saat angin menghentikan
tariannya untuk dedaunan, suasana hening dan saat itulah aku bisa mendengar
detak jantung sahabat kami ini.
“Di
sini, di sampingku, mengapa di belakangku kawan?”, Sapanya ke aku yang
membuatku kaget, tak menyangka dia tahu kehadiranku, meski selama tiga tahun
kebersamaan kami, aku mulai kagum dengan ketajaman batin sahabat yang satu ini.
“O..ii..iya..aku
pikir kamu tak tahu kehadiranku”, jawabku gugup sembari mencari tempat duduk di
atas rerumputan kering. Kemudian aku ikut menatap ke arah timur, kulihat
hamparan perbukitan yang nampak kokoh dan angkuh. Kuhela nafas sembari menunggu
dia menyapaku kembali. Dalam diam, anganku juga ikut terlempar ke kampung
halamanku, di sana ada ayah dan ibuku, anak dan istriku, adik-adikku. Tiga tahun
ini aku jarang mengunjungi mereka, aku fokus mengikuti sang guru, demi masa
depan.
“Mengapa
mencariku?’, Sapanya ke aku dengan singkat.
“Aku
mulai curiga dengan dirimu dalam bebarapa bulan terakhir, sikap dan tindakanmu
aneh”, Jawabku santai, sembari mengeluarkan cigarette khas desa kami di
pegunungan Yudea.
Dia diam,
dan seperti biasa, tanpa meminta ijin, mengambil cigaretku dan menyulutnya
untuk kemudian menghisapnya dengan merdeka. Aku terdiam, hanya ingin menunggu
ceritanya dan juga mungkin keluh kesahnya. Dalam setahun terkahir kebersamaan
kami, memang sering kami mendengar nada-nada sang guru memberi isayarat bahwa ada
nada salah satu diantara kami yang akan menjadi duri dalam daging kebersamaan
ini.
“Apakah
kamu juga tahu, bahwa guru sering menyindir, bahwa diantara kita akan ada yang
menghianatiNya?”, Tanyanya kemudian.
“Iya,
tahu” jawabku.
“Pernahkah
kamu merasa itu adalah diriku,? Karena aku yakin, dirimu takpernah merasa
sebagai yang teruduh itu, dan aku juga menyadari kalau dalam batinmu, kau juga
menuduhku, menembakkan arah tuduhan ke aku kan”?
“Tidak”
Aku
kemudian beranjak, mencoba menenangkan batinku yang mulai gundah. Aku sebenarnya
tahu dari buku-buku kuno di rumah ibadah, bahwa satu diantara 12 murid sang
guru akan menjadi penghianat. Namun itu tidak aku ungkapkan demi menjaga relasi
kami.
“Jangan
berdusta kawan, jujurlah. Aku paham, kamu tahu bahwa akulah yang disindir itu”
Berat suara itu, diantara asap cigarette yang diambilnya dariku. Dan aku kembali
gundah, kulihat sahabat itu nampak semakin tegang, ada selaksa gundah dalam
hidupnya. Nafasnya terdengar berat, sangat berat.
“Iya
aku sudah tahu, dan saat ini aku ingin mengajakmu menghadap sang guru, meminta
kemurahanNya agar dihindarkan dari jalan hidup sebagai penghianat”, Ujarku
serasa berat, seolah sembelit yang akut.
Semilir
angin senja, angina kemarau di pinggiran gurun membelai semesta, dan juga kami
berdua. Matahari semakin ke arah barat, namun kami masih terbelenggu dalam
gejolak batin di bawah pohon ara, di suasana gundah.
“Aku
sempat berpikir seperti dirimu kawan. Saat beberapa kali guru mengungkapkan
bahwa satu diantara kita akan menjadi penghianat, aku orang yang paling
gelisah. Aku membaca buku-buku para nabi dan semua menunjuk ke aku kawan. Jujur
aku sangat gundah, sangat sedih dan bahkan takut. Sempat aku menghindari
kebersamaan kita, kamu pasti ingatkan? Dua purnama aku memisahkan diri, itu
semu demi mengelola gundah ini kawan. Bahkan sempat juga aku menemui sang guru, namun jawabnya adalah,
jalani yang engkau ketahui dan kemudian kamu yakini”, Jawaban itu meluncur
dengan lancar dari mulut sahabat ini.. Seekor burung pipit salah mendarat,
ketika hinggap tepat di hadapan kami, kemudian langsung kembali kabur saat aku
menggerakkan tangan demi meraih cigarette yang sudah habis setengah jam yang
lalu.
“Jawaban
sang guru itu tidak memuaskanku, justru semakin menjadikanku gelisah dan
gundah. Beberapa orang, para rabbi juga aku tanyai, namun jawaannya selalu
sama, tidak memuaskanku. Dua hari yang lalu sebelum kita ke kota ini, aku
menemui sang guru, dan meski jawaban guru berbeda, namun tetap saja membuatku
gelisah dan gundah. Guru tidak menuduhku, namun malah mengatakan untuk aku
melakukan semuanya dengan iklas.”
Kembali
suasana hening dan aku malah ikut terhanyut dalam dunia yang dihadapi sahabat
ini. Betapa sulit ada dalam posisinya, betapa berat ada dalam situasinya. Dan udarapun
tiba-tiba seolah ikut berhenti, seperti kami yang berhenti bercakap.
“Aku
ke sini bukan untuk apa-apa, aku hanya ingin memantabkan pilihan hidupku” Jawabnya
kemudian, ini yang membuatku agak mulai senang.
“Kamu
tidak ingin menjadi seperti nubuatan buku-buku suci itu kawan?Kamu akan
berbalik?”, Tanyaku parau. Dia terdiam, menatap ke ujung timur, ke hamparan
bukit yang mulai ditinggalkan sinar mentari karena senja. Kemuidan dia melirik
ke arahku dan berkedip, aku paham. Kuulurkan sebatang cigarette, kemudian
kubantu menyalakannya. Dia menghisapnya dengan lega, sangat santai dan kemudian
kembali menghela nafas sebelum berucap kembali.
“Aku
harus mengikuti nubuatan para nabi, demi kebaikan bersama. Ini cara Tuhan
mengatur dunia ini. Biarlah aku digelari penghianat sepanjang sejarah, biarlah
aku menjadi musuh bersama sepanjang sejarah peradaban, biarlah namaku jelek dan
berbau amis sepanjang peradaban, namun dengan ini, dosa dunia akan terhapuskan,
dengan ini kejahatan akan terbuka lebar, kezaliman akan menemukan penawar yang
sejati. Aku sudah bertemu guru dan bercakap tiga hari yang lalu, dengan senyum
khasnya, beliau menguatkan aku untuk setia dengan panggilan nurani ini. Aku
sampai detik ini siap, sangat siap untuk menjalani peran ini, dan aku meyakini
inilah peran dalam scenario Illahi. Aku siap sejarahku dan keluargaku akan
hitam sampai ujung masa, dan juga siap dengan tulus meski takpernah ada
secuilpun yang memberiku gelar pahlawan, karena memang aku bukan pahlawan.”,
Masih terasa berat jawaban dari sahabat yang satu ini. Senja nampaknya akan segera menyelimuti alam
semesta, matahari hampir tenggelam di ufuk barat dan burung-burung onta mulai
berjalan ke arah sarangnya di sudut-sudut gurun, kadang melintas di perkampungan.
“Ayo
kita kembali ke penginapan, mungkin sudah ditunggu guru dan sahabat semua”
Sapaku dengan lembut. Dia menghela nafas, kemudian menatap ke arah timur
kembali, entah ada apa di sana, setahuku dia berasal dari arah barat kota ini. Apakah
impiannya ada di ujung timur itu, sehingga gelisah masih mendera karena
nampaknya tidak akan sempat ke sana?. Sembari mengamati awan putih di sisi
selatan cakrawala, aku menunggu sahabat beranjak untuk kembali ke penginapan. Dan
aku terkejut manakala ada suara yang sangat aku kenal menyapaku sudah berjarak
jauh.
“Ayo
kembali…” Dan kulihat,, sahabat yang menularkan gelisahnya itu sudah beranjak
meninggalkanku. Aku bergegas..
Untuk
Sahabat Yang sering Dituduh PENGHIANAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar