Sabtu, 20 April 2019

SEBUAH CATATAN DALAM KEBIMBANGAN



Namaku Nikodemus, aku seorang Farisi, aku sangat lama mempelajari Hukum Taurat, sekitar 13 tahun, baru aku bisa disebut Ahli Taurat. Mohan dimengerti, meskipun aku asli Yahudi, namun namaku sangat Yunani. Ini pengaruh penjajahan Aleksander Agung tiga ratus tahun sebelum kelahiranku, dan semua menjadikan budaya kami bercampur, juga soal nama. Nikodemus, dari dua kata Nikos yang berarti  kemenangan, sementara Demos berarti rakyat. Jadi kalau boleh aku mengartikan namaku, seseorang yang  diharapkan menjadi pejuang untuk membawa kemenangan rakyat atau bangsa kami. Mungkin itu doa dan harap kedua orangtuaku. Kalau kemudian ditanya, sudahkah aku melaksanakan makna dari namaku, jujur aku tidak bernai menjawabnya.

LUNNA NIKODEMUS

Dalam peziarahanku dengan iman Yahudi yang kental dalam hidupku, juga dalam pembelajaran tentang Kitab Musa, aku menemukan banyak hal yang sebenarnya mengantarkanku untuk membela sosok yang baru saja aku minyaki dengan minyak wangi, sosok yang sangat aku idolai, meski aku sangat kerdil untuk memprokalmasikan di depan semua orang. Meski aku kerdil, ini pengakuanku, naun berulang kali aku mencoba mengajak berdiskusi sesame ahli taurat, tujuanku jelas, ingin menyadarkan mereka, bahwa membenci Rabbi Muda nan Revolusioner dari Nazaret itu adalah sebuah kesalahan.

Berulang kali aku mencoba, namun seperti menghantam karang-karang gunung Sinai, gagal. Meski gagal namun aku tidak berputus asa, sesekali aku mencoba mendekati pemuda hebat dari Nazaret itu, hingga yang paling aku ingat adalah ketika suatu malam, aku mengunjungiNya, aku menjumpaiNya. Dalam percakapan sembari minum anggur dan juga menghisap cigarette, aku diajarinya tentang Hidup Baru. Oiya, pemuda dari Nazaret itu penggemar cigarette khas daerahnya, dan sesekali aku diberinya, aku mencoba serta menikmatinya. Sungguh bahasa cinta yang unik dariNya.

Kembali ke ceritaku tentang pertemuanku, dan saat aku sebagai orang yang bergelar Ahli Taurat, dipermalukan dengan bahasa lembut. Saat aku selalu menggunakan akal pikranku untuk menjangkau ajaran Illahi melalui Kitab suci, Dia, pemuda revolusioner dari Nazaret itu menamparkan dengan bahasa hati, bahasa cinta. Tidak akan mungkin seseorang, siapapun dia, akan bisa berjumpa dengan Allah kalau tidak lahir baru. Bagiku itu mustahil, bagaimana mungkin yang sudah besar dan dewasa masuk lagi ke Rahim ibunya, namun ternyata kelahiran baru itu adalah perubahan cara berpikir, perubahan orientasi hidup, perubahan pandangan hidup. Dan aku ternganga dalam selaksa pesona.

Aku menulis tulisan ini, selagi aku dalam gundah sekaligus sedih.  Aku menulis tidak di ruangan kerja, anmun di sebuah tempat sepi dalam kesendirianku. Aku masih berdiam di sekitaran Bukit Tengkorak itu, setelah semua proses penyaliban dan pemakaman usai. Aku diajak Yusuf yang dari daerah Arimatea, membantu menurunkan jenasah Rabbi Revolusioner dari Nazareth itu, kemudian aku meminyakinya dengan minyak mur dan gaharu, yang selalu aku bawa. Aku sadar, harga minyak yang aku pakai meminyaki jenasah Rabbi dari Nazaret itu bisa untuk membeli empat rumah di sekitaran desa Nazaret, namun aku melakukannya dengan sukacita.

AKUN FB NIKODEMUS

Usai meminyaki Jenasah Rabbi Dari Nazareth itu, aku hanya bisa menyaksikan Yusuf dan beberapa pembantunya mengotong jenasah itu, kemudian aku menyingkir ke tempat tersembunyi, tidak jauh dari lokasi penyaliban. Sempat juga sekilas aku melihat si Yudas, yang memberikan kabar tentang keberadan Rabbi asal Nazaret itu, hingga para rekanku ahli Taurat dan penguasa meudah menangkapNya. Sekilas yang kuingat tentang si Yuada ituadalah wajah yang penuh kepedihan dan kemudian sembari terisak,karena melewati jalan di dekat aku berada, ia berlari ke arah barat daya, entah ke mana aku tidak pernah tahu.

Dalam dingin yang menusuk tulang, malam setelah penyaliban itu aku diam di sebuah gubug reyot, entah milik siapa. Aku ingin menunggui janasah Rabbi dari Nazaret yang aku yakini akan seperti janji Kitab suci,dan juga janjiNya, bangkit dari orang mati, pada hari ketiga setelah kematianNya. Malam pertama terasa berat dan menyiksaku, bekal makanan dan minum ada, namun takjua bisa mengusir dingin dan gelisah yang mendera. Hingga pagi aku merasa takbisa tidur dengan sempurna, karena berisik prajurit penjaga makam itu yang mabok anggur semalaman. Aku terheran, mengapa kalau mereka tidak percaya akan kebangkitanNya pada hari ketiga, namun mengutus prajurit untuk menjaga makam itu?Apakah sekedar ketakutan jenasah itu diambil pra murid Rabbi dari Nazaret itu?

Manusia kalau sudah didera benci, maka seluruh gerak kehidupannya adalah kebencian. Manusia kalau sudah dikuasahi benci, maka detak jantung dan tarikan nafasnya adalah dendam dan upaya untuk menghancurkan yang dibencinya itu. Energi yang sebenarnya bisa dialihfungsikan untuk mendorong daya ledak cinta kasih, menyublim habis demi mengikuti tarikan-tarikan benci. Dan aku, aku masih berputar-putar antara meniti jalan kebenaran sesuai jeritan nuraniku, juga masih bertahan dengan jabatanku yang dengannya aku mendapatkan segala kemudahan dan penghormatan. Akh…harusnya aku berani seperti Rabbi dari Nazaret itu!!

Sepanjang Sabbat, aku mengasingkan diriku di bukit tengkorak, sendirian. Hanya beberapa prajurit penjaga, yang entah tahu atau tidak keberadaanku. Juga yang aku heran, ke mana rimbanya para murid Rabbi dari Nazaret ini? Simon yang berwajah sangar dengan watak berangasan, tidak terlihat di penyaliban, meski dari beberapa kaak-kusuk, ia mengikuti rombongan paska penangkapan di Kebun Getsmane. Yohanes sama sekali tidak terlihat, juga Andreas. Si Thomas yang apatis dan juga fatalis, tidak juga aku lihat, malah si Yudas yang sempat aku lihat, namun kemudian lari ke arah barat daya, seperti catatanku sebelumnya.

Dan yang kusaksikan serta aku alami adalah sebuah keajaiban saat siang di sabbat itu. Siang di tempat jauh dari rumah ibadah, sungguh pengalaman yang istimewa untukku, yang selama ini selalu terpenjara dalam tembok-tembok tempat ibadah dan juga penjara aturan-aturan itu. Sebuah keheningan aneh, keheningan sempurna untuk alam semesta yang kujumpai.

Berisik para prajurit yang menjaga makam sirna, karena pengaruh anggur yang mereka minum, mungkin terlalu banyak dan juga mungkin membayangkan bayaran berlebih karena tugas istimewa menjaga makam dari sosok yang dianggap musuh utama agama kami. Semua binatang liar penghuni Golgota juga sama sekali tidak beraktifitas, mungkinkah mereka juga beragama Yahudi sehingga takut dihukum para ahli taurat sepertiku?Nampaknya tidak, dan keheningan itu adalah akibat dari energi ajaib dari Makam yang di dalamnya ada Jenasah Rabbi dari Nazaret itu.

Seperti aku, semua makluk seolah mengarahkan semua perhatian ke makam itu, sehingga semesta menjadi diam dalam keheningan purba. Juga para kerabat Rabbi dari Nazaret itu taksatupun yang nampak, apalagi bapaknya, sampai setua ini, tidak lebih dari jumalh jari satu tanganku akau menjumpai bapak dari Rabbi itu. Mungkin semua sedang tenggelam dalam keharuan dalam balutan duka yang terdalam, sehingga enggan melakukan apapun.
Dan saat matahari tenggelam di sabbat itu, aku semakin berdebar dalam harap dan terbalut ragu. JanjiNya, paska kematian akan bangkit saat memasuki hari ke tiga dan manakala matahari sudah terbenam, terpelosok di punggung bukit nun jauh di ufuk barat, seharusnya ada keajaiban dari dalam makam itu. Mataku tertuju ke makam, di mana jenasah Rabbi dari Nazaret itu dimakamkan, sedari terang karena sisa-sisa cahaya matahari, hingga temaram dan sempurna gelap. Tidak ada keajaiban. Dan gelisah semakin mendera aku, kudongakkan ke atas, langit cerah, gemerlip bintang berlomba memacu cahaya yang adalah miliknya.

Dalam kegudahanku, aku masih memeluk sebuah harap, bahwa dari dalam makam itu, sebelum esok matahari kembali terbenam, aka nada mujijat seperti cerita kitab suci. Biarlah aku menunggu dalam kesendirian, menunggu dalam keresahan seorang diri. Malam ini biarlah menjadi malam terakhirku di bukit ini, semoga esok aka nada cahay yang menyinari keraguanku. Aku hanya berharap, di kemudian waktu, aka nada banyak orang meniti jalan sunyi dalam penantian kebangkitanNya, menanti dengan iman meski ragu mendera sepanjang masa.

Salam dariku
NIKODEMUS si Peragu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH