Hujan kemarin sudah mencumbui tanah semanjak siang. Gelap
dan dingin. Kabut menyapa semenjak hujan berlangsung sekitar 20 memit, namun
demikian toh aktifitas yang rutin tetap berlangsung. Petani sebisa mungkin
mengerjakan bagiannya, meski hujan dan dingin menemaninya, sopir angkot tetap
perkasa menjual jsa, anak sekolah setia menerobos hujan, baik yang menggunakan
penghalang hujan ataupun yang nekat mencumbui hujan.
Dan sampai senja hujan
teta setia, mencurahkan rindunya untuk tanah yang tertunda.
Air hujan menggutuy bumi, namun sebelumnya menyapa
dedaunan,menyusuri dahan dan ranting. Sesampai di bawah, ada yang langsung ke
tanah, meresap dan menyatu dengan bumi, ada yang langsung mangalir ke lapisan
rendah tanah, karena memang demikianlah sifat air yang selalu mencari keadaan
yang rendah. Air hanya akan meluap jika dalam situasi tertentu, secara naluriah
air akan selalu meluncur ke bawah..
Hujan kemarin nampaknya ikut mempersiapkan debat
capres-cawapres untuk menjadi nahkoda negeri indah ini 5 tahun ke depan. Tidak sempat
aku menyaksikan seuanya,selain kalah dengan anak-anak yang melihat sinetron
gombal, juga karena ada yang mesti dikerjakan dan itu menurutku lebih penting. Menontonku
hanya selang-seling, tidak utuh, karena memang malas menyaksikan. Ada percakapan
yang semestinya dua arah dalam wujud “Dialog”, namun nampaknya yang terjadi
tidak demikian.
Salah satu
menyerang,menyerang,menyerang dengan brutal..semua amunisi dihamburkan,
entah itu amunisinya tepat atau tidak. Layaknya seseorang yang kalap, apa saja
yang di dekatnya diambil, dihantamkan,diamburkan, dan juga bisa laksana hujan,
derasnya serangan seolah akan berdampak lunglainya pasangan yang satunya, yang incumbent.
Namun nampaknyanya sang incumbent, memiliki ajian hebat, ajian yang mampu
menyerap semua bentuk serangan yang di arahkan kearah dirinya. Bagaikan hujan
yang menyerang tanah tidak mematikan tanah, namun justru tanah semakin subur,
semakin lentur,bahkan terkadang malah membuat si hujan kehilangan akal..
Saat amunisi hampir habis, Nampak wajahnya semakin nampak memelas, sememlas nasipnya yang
ditinggal istri dan anaknya. Smemelas nasipnya yang selalu gagal dan gagal. Ada
iba saat aku memandangnya di layar tipi, sebuah iba naluriahku sebagai manusia.
Betatpun keberadaannya, ia punya sisi yang bisa diteladani, meski sangat minim.
Semangat pantang meyerahnya, keberaniannya sendiri, penampilan awal yang (Nampak)
gagah, adalah upaya membentuk citra diri, meski menurutku terlambat.
Dan, manakala lonceng “pertarungan” berbunyi, Nampak gontai
langkahnya,mungkin belum sadar,dan kemudian saat sadar, ada joget tersaji. Bukan
joget panggilan hati, namun joget pelipur kegundahan. Pasangannya lebih lucu
lagi, semua hal ditempatkan pada satu titik, UANG. Seolah dengan uang semua
rampung, dan dari jawabanya Nampak jelas, dia tidak berkualitas sebagai
pemimpin.
Dan hujan reda, saat ebat di tipi juga reda. Gemuruh hujan
seperti mengirih gemuruh khalayak yang disajikan tontonan menarik, antara Hujan
melawan Bumi.. semoga anak-anak negeri ini semakin paham, mana yang akan
dilalui untuk kebaikan negeri..
Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar