Jumat, 18 Januari 2019

YANG TERSISA DARI DEBAT CAPRS RONDE 1


Hujan kemarin sudah mencumbui tanah semanjak siang. Gelap dan dingin. Kabut menyapa semenjak hujan berlangsung sekitar 20 memit, namun demikian toh aktifitas yang rutin tetap berlangsung. Petani sebisa mungkin mengerjakan bagiannya, meski hujan dan dingin menemaninya, sopir angkot tetap perkasa menjual jsa, anak sekolah setia menerobos hujan, baik yang menggunakan penghalang hujan ataupun yang nekat mencumbui hujan. 

Dan sampai senja hujan teta setia, mencurahkan rindunya untuk tanah yang tertunda.
Air hujan menggutuy bumi, namun sebelumnya menyapa dedaunan,menyusuri dahan dan ranting. Sesampai di bawah, ada yang langsung ke tanah, meresap dan menyatu dengan bumi, ada yang langsung mangalir ke lapisan rendah tanah, karena memang demikianlah sifat air yang selalu mencari keadaan yang rendah. Air hanya akan meluap jika dalam situasi tertentu, secara naluriah air akan selalu meluncur ke bawah..

Hujan kemarin nampaknya ikut mempersiapkan debat capres-cawapres untuk menjadi nahkoda negeri indah ini 5 tahun ke depan. Tidak sempat aku menyaksikan seuanya,selain kalah dengan anak-anak yang melihat sinetron gombal, juga karena ada yang mesti dikerjakan dan itu menurutku lebih penting. Menontonku hanya selang-seling, tidak utuh, karena memang malas menyaksikan. Ada percakapan yang semestinya dua arah dalam wujud “Dialog”, namun nampaknya yang terjadi tidak demikian.

Salah satu  menyerang,menyerang,menyerang dengan brutal..semua amunisi dihamburkan, entah itu amunisinya tepat atau tidak. Layaknya seseorang yang kalap, apa saja yang di dekatnya diambil, dihantamkan,diamburkan, dan juga bisa laksana hujan, derasnya serangan seolah akan berdampak lunglainya pasangan yang satunya, yang incumbent. Namun nampaknyanya sang incumbent, memiliki ajian hebat, ajian yang mampu menyerap semua bentuk serangan yang di arahkan kearah dirinya. Bagaikan hujan yang menyerang tanah tidak mematikan tanah, namun justru tanah semakin subur, semakin lentur,bahkan terkadang malah membuat si hujan kehilangan akal..

Saat amunisi hampir habis, Nampak wajahnya semakin  nampak memelas, sememlas nasipnya yang ditinggal istri dan anaknya. Smemelas nasipnya yang selalu gagal dan gagal. Ada iba saat aku memandangnya di layar tipi, sebuah iba naluriahku sebagai manusia. Betatpun keberadaannya, ia punya sisi yang bisa diteladani, meski sangat minim. Semangat pantang meyerahnya, keberaniannya sendiri, penampilan awal yang (Nampak) gagah, adalah upaya membentuk citra diri, meski menurutku terlambat.
Dan, manakala lonceng “pertarungan” berbunyi, Nampak gontai langkahnya,mungkin belum sadar,dan kemudian saat sadar, ada joget tersaji. Bukan joget panggilan hati, namun joget pelipur kegundahan. Pasangannya lebih lucu lagi, semua hal ditempatkan pada satu titik, UANG. Seolah dengan uang semua rampung, dan dari jawabanya Nampak jelas, dia tidak berkualitas sebagai pemimpin.
Dan hujan reda, saat ebat di tipi juga reda. Gemuruh hujan seperti mengirih gemuruh khalayak yang disajikan tontonan menarik, antara Hujan melawan Bumi.. semoga anak-anak negeri ini semakin paham, mana yang akan dilalui untuk kebaikan negeri..

Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH