Sabtu, 29 September 2018

BENCANA, layakkah nama ini??



Siapa yang memberi nama terhadap benda,mahkluk dan sebuah peristiwa?Apakah benda, makluk dan peristiwa  itu datang dan berteriak ini aku. Aku ayam,aku sapi, aku angina,aku hujan dan juga aku BENCANA?  Bukankah manusia yang memberi nama atas semua yang terbentang di bentangan semesta ini? Tak terkecuali dengan BENCANA. Bukankah sejatinya yang dinamakan Bencana itu adalah peristiwa alam biasa yang sudah menjadi hukum alam yang abadi?

Manusia terlalu daj selalu pongah dan arogan, semua dinilai dari sudut pandang dirinya. Sulit ditemui manusia yang mau menilai sesuatu dari luar dirinya, dari luar kepentingannya. Semisal bencana, pernahkan manusia mencoba melihat apa yang menjadi kehendakNya, kehendak Sang Pemilik Semesta , dari semua peristiwa yang telah,sedang dan pasti akan terjadi dikemudian hari? Saat menulis tulisan inipun, saya baru saja menyimak dunia media sosial, yang mana manusia sedang memainkan perannya, untuk melihat (paling tidak) satu peristiwa, BENCANA, yang sedang terjadi di Palu dan Donggala. Perlu saya sampaikan, bahawa saya teramat sangat prihatin dengan peristiwa yang terjadi dan semampu saya berjuang mempedulikan mereka.

Kembali ke soal peristiwa alam yang kemudian diberi nama Bencana. Bukankah dengan memaknai peristiwa alam yang tidak sesuai dengan harapan manusia dengan nama bencana,itu berarti manusia sedang menempatkan Tuhan dalam persimpangan? Pada satu sisi yakin bahwa kehenakNya pastilah baik, namun saat menghadapi kenyataan yang terjadi,apakah itu masih bisa diyakini baik untuk manusia? Bukankah dengan balutan keyakinan bahwa semua peristiwa semesta adalah atas ijin atau sepengetahuan Tuhan, itu berarti menjadikan bencana seolah mainan Sang Illahi?Mengapa “Mainan?”, Lha iya, sudah tahu itu akan menyengsarakan salah satu ciptaanNya kokya tetap diijinkan?Itu kalau berpandangan picik nan sempit.

Yang lebih ironis adalah ketika manusia memberi makna bahwa peristiwa alam yang dirasakan merugikan manusia itu akibat dosa kelompok manusia tertentu,akibat ketidakadilan atas sekelompok orang tertentu dan yang lebih lucu lagi adalah akibat presiden. Apa hubungannya peristiwa alam dengan  situasi pemerintahan?Benar-benar konyol?Namun meskipun konyol, itulah fakta, bahwa saat ada peristiwa alam yang dirasakan merugikan manusia, maka semua berteriak, semua berlomba memberi makna, meskipun tetap berorientasi dirinya sendiri dan juga kelompoknya. Ada yang mengatakan, bencana ini karena menolak tokoh agama ini,bencana ini karena mengusir tokoh keyakinan ini, semuanya menurut saya MBELGEDESS!!!

BENCANA, itu pemaknaan manusia. Bisa jadi dalam pandangan Sang Penyelenggara Semesta, peristiwa alam ini adalah bagian dari PEMBAHARUAN semesta yang terjadi dengan hukum alam yang abadi. Alam semesta sedang tidak imbang, dan bisajadi manusia terlibat di dalam ketidakseimbangan ini, oleh karenanya, semesta sedang memperbaharui diri. Kalau kemudian dalam proses memperbaharui diri itu ada yang terlukakan, ya itulah konsekwensi alamiahnya. Manusia melolong senyaring apapun, karena merasa semesta ini miliknya, dan karena itu, semua mesti sesuai dengan kehendak atau keinginannya. Maka, ketika terjadi gerakan-gerakan alam  yang dirasakan merugikan dirinya, manusia seenaknya memberi nama BENCANA.

Tulisan ini berangkat dari sebuah pengalaman sekitar 8 tahun silam, saat Gunung Merapi erupsi. Ada korban yang bisa dikatakan banyak, ada yang terluka, ada yang kehilangan dan ada yang terhilang. Saat upaya mengamankan apa saja yang dirasa perlu diamankan menurut sudut pandang manusia, ada seseorang (juga manusia) yang sudah tua. Dalam segala keberadaannya, dia sangat santai menyikapi semua yang terjadi. Tidak ada kegelisahan berlebihan, tidak ada rona ketakutan berlebihan, yang ada adalah sikap tenang, setenang  air telaga dini hari. Ketika semua tergesa demi menyelamatkan harta dan nyawa, ketika semua berteriak agar lebih cepat, dia tetap santai. Dan saat 3 jam kemudian sampai ke tempat yang dirasa aman, berbincanglah kami. Betapa terkejutnya manusia (khususnya saya) saya memberi makna terhadap peristiwa yang terjadi. Menurut dia, tidak ada itu yang namanya bencana, itu hanya akal-akalan manusia saja, yang ada adalah “Sing mbaureksa merapi lagi dandan-dandan”, yang artinya kira-kira demikian : yang menguasahi merapi sedang berbenah.
“Lho mbah, menawi dandan-dandan kok kathah ingkang ical?”, Tanyaku. (Mbah kalau berbenah, kok banyak korbannya). “Ilang kuwi manut awake dewe, ning tumrap sing kuasa,ora ana sing ilang, sing ana, lagi maes ben luwih apik” (Hilang itu menurut manusia,bagi Tuhan ga ada itu yang hilang, yang ada adalah sedang merias alam menjadi lebih baik).

Peristiwa alam adalah sesuatu yang harus tunduk pada hukum alam. Pada dasarnya alam semesta ini harmoni,seimbang sempurna. Maka jika terjadi ketidakseimbangan, maka alam dengan hukumnya yang abadi, akan membenahi dirinya agar terjadi keseimbangan lagi. Jika dalam proses mengembalikan ketidakseimbangan untuk menjadi seimbang itu kemudian melukai penghuni alam semesta, ya itu bagian dari keseimbangan itu sendiri. Dan nampaknya hanya manusia yang lantang berteriak seua ini BENCANA, ciptaan yang lain belum tentu menilai ini sebagai bencana.

Lalu pertanyaan yang mungkin nanti akan muncul dari membaca tulisan ini (semoga tidak ada yang membaca, wong ini catatn pribadi yang kebetulan saya lempar ke dunia maya), Apakah itu berarti anda akan diam saja dengan “peristiwa alam “ ini?Dan dengan demikian anda akan bersorak diatas derita orang lain? TIDAK. Justru dari sudut pandang ini saya akan bergerak, bahwa ketika semesta sedang merasa tidak seimbang/harmoni,dan kemudian berupaya mengembalikan harmoni,sampai melukai, saya justru akan memakai spirit pemulihan demi keseimbangan ini. Nalarnya?

Bukankah ada “Korban” dari peristiwa alam ini dan itu sama saja dengan ketidakseimbangan, maka saya akan bergerak demi terjadinya keseimbangan semesta kembali. Artinya, saya hanya akan mengajak siapa saja untuk tidak dengan mudah memberi nama sesuatu teramat anthoposentris, selalu dalam sudut pandang manusia, cobalah melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang berbeda.

Teriring lantunan energy positif dalam untaian doa, demi semua saudara yang sedang diajak semesta berbenah..

Tepian rawapening. Ujung September 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH