Fenomena
media sosial yang menggelora tanpa bisa dibendung, menjadikanbanyak orang
menjadi was-was, kuatir dan bahkan sudah sampai k tahap ketkutan. Mengapa demikian?
Karena memang melalui media sosial, semua informasi mengalir bagai air bah ke
dalam serambi kehidupan masyarakat. Ironisnya tidak semua informasi itu benar
pada dirinya sendiri. Banyak informasi yang hanya bertujuan demi kepuasan diri
dan kelompok tertentu, ada informasi yang isinya hanya fitnah,makian,tuduhan,
hoax dan semua yang salah dengan tujuan mendiskriditkan kelompok atau orang
yang sedang tidak disukainya. Semua informasi itu tanpa filter menerobos
kehidupan kita semua. Jangankan anak kecil, orang dewasapun akan sulit memilah
dan kemudian memilih mana yang benar dan mana yang salah, semua sudah memiliki
kepentingan dan tidak mau bercerita untuk informasi itu, melainkan menggunakan
informasi demi tujuan-tujuan tertentu. Semua yang terjadi di atas kenyataan
yang ada yang bisa menjadikan orang lain kebingungan, itulah yang bisa
dikategorikan penyesatan. Maka dalam
ibadah minggu ini, marilah kita merefleksikan kehidupan kita, bercermin dari
Alkitab, supaya tidak tersesat dan tidak menyesatkan. Kita akan belajar dari
Injil Markus 9:38-50.
Kisah
dalam bancaan Injil di minggu ini, 30 september 2018 sangat menarik. Ada dua bagian
perikop menurut LAI, yang pertama di Markus 9 ayat 38-41 yang berkisah tentang
kedegilan hati para murid yang diwakili oleh
Yohanes. Kedegilan yang tergambarkan dalam ungkapan “bukan pengikut
kita”. Kedegilan hati yang langsung direspon Yesus dengan tegas dan kugas,
bahwa KITA itu bukan sekedar serombongan,sekumpulan,sekelompok tertentu, namun
KITA bagi Yesus bermakna sangat luas. KITA menurut Yesus adalah siapa saja yang
berbuat kebaikan.Sebenarnya mengapa Yohanes merasa perlu melapor kepada Yesus,
ketika ada orang yang berbuat baik, dan itu bukan dari kelompoknya? Manusia
memiliki kecenderungan untuk selalu menjadi yang nomor satu, pada bidang apapun
itu. Manusia enggan tersaingi,mereka mau bersaing, namun enggan kalah. Nah,
dalam titik inilah Yohanes sedang berada. Ia tidak bisa melakukan sesuatu dan
pada saat bersamaan, ada “Orang lain” yang bisa melakuan tindakan itu. Disinilah
Yohanes terhinggapi kecemburuan,kedengkian dan rasa iri hati berlebihan, maka
dia lapor ke Tuhan Yesus. Ironisnya, bukannya dibela, justru Yohanes yang
ditampar Tuhan Yesus dengan sikap dan pernyataan Tuhan Yesus.
Perikop
kedua, dari Markus pasal 9 ayat 42-50,
yang berkisah tentang PENYESATAN. Digambarkan batapa beratnya hukuman bagi siapa saja yang
melakukan penyesatan . Artinya, siapapun itu,, jika melakukan penyesatan akan
mendapatkan hukuman dengan api yang takterpadamkan. Yang menarik lagi adalah,
Yesus memilah tentang apa saja yang bisa menyesatkan, dan itu seluruh anggota
tubuh. Namun ada satu hal perlu dijadikan perhatian, meskipun Yesus tidak
menyebutkan, namun terkait penyesatan itu sering terjadi dalam ranah ini :PEMAHAMAN
Yohanes
memiliki pemahaman yang salah, karena berpikir bahwa yang menjadi golongannya
adalah yang selalu bersamanya,yang sepaham, yang sama segalanya, yang manut dan
tidak pernah memberontak, pokoknya yang selalu seragam. Itulah pemahaman
Yohanes, dan ketika itu diungkapkan dihadapan Yesus, Yohanes berpikir akan
dibela oleh Yesus, namun yang terjadi justru sebaliknya. Mengapa demikian?
Karena dalam pandangan Yesus, PEMAHAMAN Yohanes SALAH, tidak benar, tidak hanya
mereka yang grudak-gruduk saja yang harus menjadi satu golongan, namun siapa
saja yang bertindak baik, itulah golongan Yesus. Menurut Yesus, konsep atau
pandangan Yohanes itu menyesatkan dan bisa terjadi Penyesatan, oleh karena itu
perlu dihentikan.
Pertanyaan
buat kita sekarang adalah seperti judul renunganatau di atas, Penyesatan, masih adakah saat ini?
Menurut saya masih subur pertumbuhannya, baik dalam ranah konsep atau tindakan.
Dan gereja justru sering melakukan itu, meski terkadang tanpa disadari. Sebagai
contoh, soal perkunjungan orang sakit. Konsep yang hidup dan dihidupi adalah
bareng-bareng mengunjungi yang sakit, dan itu seolah menjadi kebenaran mutlak,
ketika tidak seperti itu maka penilaian yang muncul adalah SALAH, lalu
mengkritik mejelis gereja. Apaka memang benar harus demikian?Nampaknya tidak,
karena Yesus selalu sendirian saat mengunjungi yang sakit. Maksutnya adalah,
jangan pernah memegangi satu pengalaman sebagai kebenaran mutlak, karena itu
bisa menyesatkan.
Berkenaan
dengan perjamuan kudus, gereja tanpa disadari telah memegangi satu konsep
teologi tertentu dan itu dijaga sedemikian erat, sehingga mendiskriditkan anak.
Anak dilihat sebagai “bakal manusia” yang selalu dikatakan belum dewasa,karena
memang ukuran dewasa adalah usia dan menurut kaca mata orang dewasa. Bukankah ini
juga meyesatkan dan bisa dikatakan penysatan?
Adakah
yang lain?Silakan saudara-saudara membuat daftar untuk pribadi masing-masing..
Kembali
ke persoalan Yohanes yang menuduh orang lain, meski berbuat baik, sebagai musuh
karena bukan dari golongannya, nampaknya “Yohanesisme” itu masih tumbuh subur
dijaman ini. Orang selalu melihat tang tidak dikenalinya sebagai lawan, sebagai
“Mereka” atau “dia” dan bukan sebagai bagian dari kami. Semestinya, seperti
pengalaman Yohanes, yang harus dikerjakan adalah bercapak, membangun dialog
untuk kemudian bekerjasama. Sepanjang berpikir dia atau mereka, maka spirit
membuka diri untuk bekerjasama sangat sempit dan itu berbahaya. Oleh karena
itu, marilah kita meletakkan konsep hidup sederhana, bahwa siapapun itu, yang
berbaut baik demi kebaikan bersama, kenal atau tidak kenal, dialah saudara kita
dan sebaiknya diajak bekerjasama demi kebiakan yang lebih luas..
Nalen
280918