Pengantar
Memulai
sesuatu yang baru bukanlah halyang mudah, apalagi bagi orang Indonesia,
termasuk Jawa. Pengalaman bertahun-tahun bergelt dengan sesuatu yang ada sudah
hidup dan menghidupinya, atau istilahnya mbalung sumsum. Akibat dari “pola”
seperti ini adalah, sulitnya menghasilkan inovasi dalam segala aspek. Pola piker
orang lebih kuat dikuasahi oleh kebiasaan dan warisan, sehingga seperti yang
saya sebutkan di atas, memulai sesuatu yang baru, benar-benar sulit. Selain beberapa
factor “genetif dan warisan” di atas, ada juga factor pengalaman terdekat, soal
penipuan-penipuan yang terjadi, sehingga semuanya menghadirkan sisi
traumatiknya sendiri.
Seperti
budidaya-budidaya tanaman yang lain, budidaya tanaman Porang termasuk sesuatu “yang
baru” di alam piker masyarakat Indonesia, meskipun sejatinya sudah dilakukan
agak lama. Porang adalah tanaman “Pribumi” Indonesia dan sangat dibutuhkan oleh
masyarakat di banyak negara. Jauh sebelum saat ini , pengolahan Porang sudah
dilakukan di beberapa pabrik di wilayah Jatim, namun karena saat itu kebutuhan
pabrik terpenuhi dari panen Porang liar, maka belum banyak yang membudidayakan.
Namun situasi berubah saat pabrik bertambah, permintaan meningkat, namun stok
semakin terbatas. Berburu umbi Porang di lahan liar semakin tidak mungkin,
sehingga dibudidayakan adalah jwaban terbaik. Maka, semenjak 10 tahunan
terakhir, banyak yang sudah membudidayakan Porang.
Agar
bisa menarik minat masyarakat, khususnya petani milenial, maka saya siapkan
analisa. Semoga analisa di bawah ini
bisa menginspirasi siapa saja, khususnya para oemuda untuk memetamorfosis diri
menjadi petani milenial yang siap bersaing di panggung Global.
Analisa
Kegiatan persiapan lahan secara borongan Rp 1.500.000/Ha.
Artinya kalau lahan 4000 meter, biaya Menjadi 0,4 x 1.500.000 : Rp. 600.000
Pembelian 10.000 bibit umbi porang untuk jarak tanaman 30 x 30 cm
dengan harga Rp. 25.000/kg (isi 20 umbi). 500 kg x Rp. 25.000, sehingga total biaya
Bibit Total Rp 12. 500.000
Penanaman secara harian dibutuhkan Rp 500.000
Biaya Pupuk Rp. 1.200.000
Biaya perawatan & pemupukan Rp 1.400.000
Jadi Total biaya Tanam yang diperlukan adalah : Rp. 15. 600.000
Pendapatan yang diperoleh satu tahun panen:
Catatan :Tingkat
kematian adalah 5%, namun akan disulam, sehingga asumsi jumlah batang/tanaman
tetap 10.000. Maka tambahan biaya Sulam adalah 5% x Rp. 12.500.000 : Rp.625.000, Sehingga total biaya untuk produksi
sampai panen adalah Rp. 15.600.000 + 625.000 Rp.
16.225.000
Minimal bobot porang: 0,8 kg/batang
Total bobot panen porang:
10000 batang x 0,8 kg :8.000 kg
=
Harga porang Rp 8000 (rendah)
Total pendapatan kotor di akhir tahun pertama
Rp 8.000 x 8.000
kg
= Rp 64.000.000
Pendapatan bersih panen
Rp 64.000.000 — Rp 16.225.000 = Rp 47.775.000
Catatan:
Untuk
Hasil Katak/Bulbil jika dijual, maka analisanya adalah:
10000
batang x 2 (katak) Rp.
20.000
Jika
satu kg isinya 200 butir, maka akan
dihasilkan 200 Kg, dan jika harga katak adalah 80.000/kg, maka akan dihasilkan
uang Rp. 16.000.000. maka total keuntungan budidaya porang luas 4000 m adalah
Rp.96.400.000.
Catatan:
Semua dalam hitungan rendah, baik harga bibit, harga porang prosuksi dan juga
harga tenaga penggarap. Untuk hasil katak atau bulbil, angka dua adalah hitungan
terendah.
Penutup
Analisa
adalah hitungan di atas kertas, dia hanya akan bisa terwujud jika dipraktekan
dengan serius dan dengan pendampingan serius. Ada sebuah pepatah bijak dari
orang bijak tempoe doeloe, “Reaksi terbaik atas munculnya ide/info adalah
mencoba mempraktekannya”. Negara Indonesia adalah negara agraris, berubah
menjadi negara industri pabrikan boleh-boleh saja, namun melawan “takdir”
dengan menghindari mengolah tanah pemebrian Tuhan adalah kesalahan sejarah yang
teramat fatal. Oleh karena itu, baik kalau kemudian kita menjadi pelopor
menjadi negara dengan ketahanan pangan terdepan. Lahan-lahan tidur yang ada di
sekitar kita perlu dicumbui. Agar terangsang dan memberikan buahnya.
Salam
dari
Dalijo&Lik
Ndoleng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar