Di sela-sela dedaunan, sinar matahari mencoba dengan
setia menerobos masuk. Dedaunan itu bergoyang dipermainkan angina yang sepoi
menyegarkan. Matahari sudah condong kea rah barat, tepat di atas punggung Bukit
yang biasa disebut Watu Berik, demikian orang-dusun kecil itu menyebut bukit
kecil di sebelah barat dusun mereka.
Dua orang berjalan menyusuri pematang sawah, seorang
lelaki hampir setengah baya dengan lelaki yang hampir menginjak remaja. Si
bapak ada di depan sementara anaknya dengan setia mengiringi di belakang.
Sekelompok burung Pipit terkejut dan terbang taktentu arah ketika melihat ada
makluk lain di dekat mereka. Kemudian terbang dan hinggap di pohon nangka tua
nan kerdil di pojokan sawah teras erring
itu. Mungkin mereka bercakap,mengumpat dan marah dengan kehadiran dua manusia
di dekatnya, mengganggunya saat makan dengan lapap butiran-butiran padi ranum
itu..Entahlah..
Dua orang, nampaknya bapak dengan anaknya , it uterus
melanjutkan perjalanan mereka. Meniti pinggiran sungai gunung dengan gemericik
air bening di sana. Dan di sana akan ada aneka kehidupan, dari ikan-ikan sungai
gunung hingga kepiting air tawar. Angin kembali behembus, nampaknya Kemarau
hadir premature, jauh dari waktu biasanya. Mungkin ini akibat dari sirkulasi
Semesta yang mencoba bertahan dari aneka gempuran manusia dengan segala
kepandaian yangsering tidak untuk menjaga,
malah untuk merusaknya.
Perjalanan dua anak manusia berbeda usia itu sampai pada
sebuah pinggiran sungai. Ada jurang yang menghalangi. Curam meski tidak terlalu
dalam. Di sana, di atas sungai gunung itu, di antara sawah di ujung utara dan
selatan, ada empat potongan kayu tidak rapi, membentang serta melintang. Di atas
empat balok kayu itulah orang-orang biasanya menyeberang.
“Bapak akan ke sana nak..tinggalah kamu di sini sendiri”,
Bapak itu berkata dengan lembut kepada anaknya. Dan tanpa menunggu ijin
anaknya, bapak itu berjalan dengan tenang, meniti empat balok kayu yang tiada
rapi, bahkan bisa dikatakan sangat jelek itu. Sesaat kemudian sampai di seberang,
lalu menoleh kea rah anaknya. Si anak itu Nampak gugup, bingung melihat
bapaknya meninggalkannya sendirian.
“Bapak….kenapa aku ditinggal?”, Jerit si anak tersebut. Nampak
wajahnya pucat, ada sebaris takut terpacar dari wajahnya yang sejatinya masih
polos..
“Ke sinilah nak..kamu pasti berhasil. Jembatan ini aman,
tidak berbahaya. Jikapun berbahaya, pasti sudah diganti oleh yang sering
menggunakan jembatan ini nak”, Jawab bapak itu denga tenang, setenang langit
senja saat itu. Kemudian anak itu beranjak, mencoba melakukan yang bapaknya katakana.
Perlahan, namun Nampak iya yakin..sempat meragu di tengah jalan, namun kemudian
tenang dan sampai juga di ujung, dekat dengan bapaknya.
“Kamu hebat nak, berani mengambil keputusan. Tidak nangis
saat bapak tinggalan dan tidak merengek minta bapak jemput. Namun kau berani
meniti jalan yang pernah bapak lewati, berani melalui ancaman meski belum
pernah mengalaminya. Kamu hebat nak..”Si Bapak itu memuji anaknya, sembari
membelai rambut ikal si anak, yang Nampak agak basah karena ada keringat yang
keluar.
Sore makin terkikis, hampir senja. Matahari diatas bukit
semakin redup, jauh menukik ke ujung cakrawala. Burung-burung pulang ke sarang
atau ke tempat biasa mereka menghabiskan waktu malam. Langit cerah dan di timur
laut, Nampak lembayung senja, melukis semesta dengan kejujurannya.
Suara katak di ujung sungai gunung semakin menandakan
betapa siang sudah habis masa baktinya, sedangkan nyanyian Cenggeret makin
nyaring menandakan Kemarau benar-benar prematur. Di atas, beberapa kelelawar
sudah keluar dari persembunyiannya, mencari santapan demi bertahan hidup. Meski
ketika mencari santapan itu, dia harus menyabung nyawa dengan ancaman predator
pemangsanya. Namun itulah kehidupan, membunuh dan dibunuh, bertahan atau
hilang, diingat atau dilupakan..
“Anakku, kehidupan ini penuh dengan jurang-jurang, yang
membatasi jarak. Denga jembatan, kita bisa menyeberangi satu sisi ke sisi yang
lain. Seburuk apapun jembatan itu, lihatlah, itulah yang berjasa mengantarkanmu
sampai di sini, di tempat ini. Kau bisa berkelit, bahwa keberanianmu yang
berjasa, kau bisa berkelit bahwa kau bisa melompat, namun bapak tahu, hanya
dengan jembatan jelek itulah kau sampai di
sini”, Dengan lembut si bapak menasehati anak itu.
Gelap nampaknya segera akan menyelimuti alam semesta, dan
si anak Nampak mulai sibuk mengusir nyamuk genit yang mulai mencumbui tubuh si
bocah itu. Nampak ingin berkata kepada bapaknya,namun tertahan karena bapaknya
kemudian melanjutkan bicaranya.
“Seberhasil dirimu nanti, sebahagia dirimu setelah
menyerang melalui jembatan, ingatlah anakku. Bahwa tanpa jembatan itu, engkau
tidak akan sampai di sini. Tanpa jembatan ini, takmungkin kau bisa dekat dengan
bapak. Maka psan bapak, kapanpun dan dimanapun, ingatlah akan yang pernah kau
lewati nak..jangan melupakannya. Kadang menolehlah hanya untuk sekedar menyapa,
sekedar melempar senyum. Tolehlah jembatan itu selama masih ada, sebelum rapuh
dan kemudian luruh dimakan jaman yang kejam..”Bapak itu Nampak menitikkan air
mata, namun tidak tertangkap si anak, karena gelap sudah semakin sempurna.
“Bapak, ayo pulang…sudah gelap…”, Anak itu mangajak
bapaknya pulang namun tiada jawaban. Sementara ada tubuh yang luruh,
terdudukdan kemudian rebah, tiada lagi detak jantung,namun Nampak terseyum
karena sudah mengantarkan si anak menyeberangi kehidupannya.
“Bapak, ayo pulangggg…” Kembali si anak mengajak, namun
diam itu kemudian menguasahi, hingga kemudian terdengar rintihan..
“Selamat jalan bapak….”
sastrodalijo..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar