Jumat, 01 Maret 2019

PADA SEBUAH JEMBATAN





Di sela-sela dedaunan, sinar matahari mencoba dengan setia menerobos masuk. Dedaunan itu bergoyang dipermainkan angina yang sepoi menyegarkan. Matahari sudah condong kea rah barat, tepat di atas punggung Bukit yang biasa disebut Watu Berik, demikian orang-dusun kecil itu menyebut bukit kecil di sebelah barat dusun mereka.

Dua orang berjalan menyusuri pematang sawah, seorang lelaki hampir setengah baya dengan lelaki yang hampir menginjak remaja. Si bapak ada di depan sementara anaknya dengan setia mengiringi di belakang. Sekelompok burung Pipit terkejut dan terbang taktentu arah ketika melihat ada makluk lain di dekat mereka. Kemudian terbang dan hinggap di pohon nangka tua nan kerdil di pojokan  sawah teras erring itu. Mungkin mereka bercakap,mengumpat dan marah dengan kehadiran dua manusia di dekatnya, mengganggunya saat makan dengan lapap butiran-butiran padi ranum itu..Entahlah..

Dua orang, nampaknya bapak dengan anaknya , it uterus melanjutkan perjalanan mereka. Meniti pinggiran sungai gunung dengan gemericik air bening di sana. Dan di sana akan ada aneka kehidupan, dari ikan-ikan sungai gunung hingga kepiting air tawar. Angin kembali behembus, nampaknya Kemarau hadir premature, jauh dari waktu biasanya. Mungkin ini akibat dari sirkulasi Semesta yang mencoba bertahan dari aneka gempuran manusia dengan segala kepandaian yangsering tidak untuk menjaga,  malah untuk merusaknya.
Perjalanan dua anak manusia berbeda usia itu sampai pada sebuah pinggiran sungai. Ada jurang yang menghalangi. Curam meski tidak terlalu dalam. Di sana, di atas sungai gunung itu, di antara sawah di ujung utara dan selatan, ada empat potongan kayu tidak rapi, membentang serta melintang. Di atas empat balok kayu itulah orang-orang biasanya menyeberang.

“Bapak akan ke sana nak..tinggalah kamu di sini sendiri”, Bapak itu berkata dengan lembut kepada anaknya. Dan tanpa menunggu ijin anaknya, bapak itu berjalan dengan tenang, meniti empat balok kayu yang tiada rapi, bahkan bisa dikatakan sangat jelek itu. Sesaat kemudian sampai di seberang, lalu menoleh kea rah anaknya. Si anak itu Nampak gugup, bingung melihat bapaknya meninggalkannya sendirian.

“Bapak….kenapa aku ditinggal?”, Jerit si anak tersebut. Nampak wajahnya pucat, ada sebaris takut terpacar dari wajahnya yang sejatinya masih polos..
“Ke sinilah nak..kamu pasti berhasil. Jembatan ini aman, tidak berbahaya. Jikapun berbahaya, pasti sudah diganti oleh yang sering menggunakan jembatan ini nak”, Jawab bapak itu denga tenang, setenang langit senja saat itu. Kemudian anak itu beranjak, mencoba melakukan yang bapaknya katakana. Perlahan, namun Nampak iya yakin..sempat meragu di tengah jalan, namun kemudian tenang dan sampai juga di ujung, dekat dengan bapaknya.

“Kamu hebat nak, berani mengambil keputusan. Tidak nangis saat bapak tinggalan dan tidak merengek minta bapak jemput. Namun kau berani meniti jalan yang pernah bapak lewati, berani melalui ancaman meski belum pernah mengalaminya. Kamu hebat nak..”Si Bapak itu memuji anaknya, sembari membelai rambut ikal si anak, yang Nampak agak basah karena ada keringat yang keluar.
Sore makin terkikis, hampir senja. Matahari diatas bukit semakin redup, jauh menukik ke ujung cakrawala. Burung-burung pulang ke sarang atau ke tempat biasa mereka menghabiskan waktu malam. Langit cerah dan di timur laut, Nampak lembayung senja, melukis semesta dengan kejujurannya.

Suara katak di ujung sungai gunung semakin menandakan betapa siang sudah habis masa baktinya, sedangkan nyanyian Cenggeret makin nyaring menandakan Kemarau benar-benar prematur. Di atas, beberapa kelelawar sudah keluar dari persembunyiannya, mencari santapan demi bertahan hidup. Meski ketika mencari santapan itu, dia harus menyabung nyawa dengan ancaman predator pemangsanya. Namun itulah kehidupan, membunuh dan dibunuh, bertahan atau hilang, diingat atau dilupakan..

“Anakku, kehidupan ini penuh dengan jurang-jurang, yang membatasi jarak. Denga jembatan, kita bisa menyeberangi satu sisi ke sisi yang lain. Seburuk apapun jembatan itu, lihatlah, itulah yang berjasa mengantarkanmu sampai di sini, di tempat ini. Kau bisa berkelit, bahwa keberanianmu yang berjasa, kau bisa berkelit bahwa kau bisa melompat, namun bapak tahu, hanya dengan jembatan jelek itulah kau sampai di  sini”, Dengan lembut si bapak menasehati anak itu.

Gelap nampaknya segera akan menyelimuti alam semesta, dan si anak Nampak mulai sibuk mengusir nyamuk genit yang mulai mencumbui tubuh si bocah itu. Nampak ingin berkata kepada bapaknya,namun tertahan karena bapaknya kemudian melanjutkan bicaranya.

“Seberhasil dirimu nanti, sebahagia dirimu setelah menyerang melalui jembatan, ingatlah anakku. Bahwa tanpa jembatan itu, engkau tidak akan sampai di sini. Tanpa jembatan ini, takmungkin kau bisa dekat dengan bapak. Maka psan bapak, kapanpun dan dimanapun, ingatlah akan yang pernah kau lewati nak..jangan melupakannya. Kadang menolehlah hanya untuk sekedar menyapa, sekedar melempar senyum. Tolehlah jembatan itu selama masih ada, sebelum rapuh dan kemudian luruh dimakan jaman yang kejam..”Bapak itu Nampak menitikkan air mata, namun tidak tertangkap si anak, karena gelap sudah semakin sempurna.
“Bapak, ayo pulang…sudah gelap…”, Anak itu mangajak bapaknya pulang namun tiada jawaban. Sementara ada tubuh yang luruh, terdudukdan kemudian rebah, tiada lagi detak jantung,namun Nampak terseyum karena sudah mengantarkan si anak menyeberangi kehidupannya.
“Bapak, ayo pulangggg…” Kembali si anak mengajak, namun diam itu kemudian menguasahi, hingga kemudian terdengar rintihan..
“Selamat jalan bapak….”



sastrodalijo..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar