Hukum semesta ini lengkap, tidak ada yang timpang, meski
terkadang ada anomali, di sana-sini. Namun, meski ada anomali, kesempurnaan
hukum semesta itu adalah pasti. Ada gelap,ada terang, ada jauh ada dekat,ada
sedikit ada banyak dan juga pada akhirnya, ada pertemuan untuk kemudian
sempurna dengan hadirnya perpisahan.
Perpisahan seolah selalu diposisikan dalam posisi yang
salah, manakala dalam rentang waktu yang telah terlampaui, ada sebongkah
sukacita dalam kebersamaan, meski perpisahan bisa menjadi siraman air kehidupan
manakala kebersamaan laksana penjara atau neraka (saya sendiripun belum tahu
keberadaan neraka ding..hehe). Namun demikian, Perpisahan tetaplah sebuah
keadaan yang bisa memompa air mata hingga luber taktersisa.
Dalam sebuah cerita Alkitab, yang dinarasikan dengan
sangat elok oleh Lukas, Ada kisah perpisahan Rasul Paulus dengan sebuah jemaat
(nampaknya Miletus), yang dilaporkan oleh Lukas di Kisah Rasul 20:36-21:14. Di sana
ada doa dan kemudian tangisan, artinya memang perpisahan (hampir) selalau
menghadirkan duka dan kesedihan. Jemaat nampaknya tidak rela Paulus pergi,
tentunya dengan harapan-harapan yang menurut mereka BENAR. Adapun tentang benar
inipun bisa jadi hanya menurut mereka, karena tidak selalu benar itu bersifat
universal.
Kedukaan jemaat yang hendak ditinggalkan Paulus sangat
beralasan, karena (menurut Paulus) setelah itu mereka tidak akan pernah bertemu
lagi. Mungkin kalau dilihat dari pespektif
saat ini, apa yang diucapkan oleh Paulus terasa Lebay dan juga tangisan
jemaat yang hendak ditinggalkan Paulus juga terasa Lebay. Namun benarkah ada
nuansa lebay dalam hal ini?
Dari sudut Paulus, mengapa ia sampai mengatakan “Bahwa
ini adalah perpisahan dan tidak akan mungkin berjumpa kembali?”. Ini sangat
rasional, karena medan serta jarak dan juga tugas Paulus. Tidak mungkinlah
Paulus harus “ngrumati” sebuah jemaat dengan totalitas waktu dan fisik sempurna, karena memang ada
banyak tugas yang lain yang mesti dikerjakan. Artinya, bagi Paulus, perpisahan
dan kata-kata “tidak akan mungkin berjumpa kembali” adalah wajar.
Kemudian dari sudut Jemaat yang akan ditinggalkan,
mengapa mereka nampak lebay?Lukas melaporkan..” Maka menangislah mereka semua tersedu-sedu dan sambil memeluk
Paulus, mereka berulang-ulang mencium dia.” . Menangis dengan tersedu-sedu, artinya menangis
dengan amat sangat. Menangis dengan tersedu-sedu bisa terjadi karena rasa duka
dan sedih yang sangat mendalam. Dan ini bisa dipahami bersama,karena memang
mereka tidak akan mungkin berjumpa lagi.
Lalu, mengapa toh akhrnya
mereka mengijinkan atau (rela) melepaskan Paulus untuk pergi?Ini yang pantas
kita perhatikan dengan seksama. Benar bahwa mereka sangat mengasihi atau
menyayangi Paulus, namun berkat penjelasan Paulus, mereka bisa menerima semua
yang menjadi alasan Paulus untuk pergi. Ini yang sangat menarik. Jemaat Miletus
sadar, bahwa mereka menginginkan keberadaan Paulus di situ, namun kesadaran itu
terkalahkan oleh “kepentingan yang lain” dari Paulus. Di sini kita bisa melihat
betapa kebesaran hati jemaat Miletus patut diteladani. Mereka tidak ngotot dengan sejuta argument (dan
kalau sekarang bisanya mutung..hehe), mereka menerima itu dengan iklas dan
tangisan mereka adalah pertanda ikatan emosional yang mendalam, buka tangisan
cengeng.
Dari sisi Paulus, mengapa ia
“begitu tega” meninggalkan sekelompok orang yang sungguh-sungguh tulus
mengasihinya?Adakah misi yang lain? Paulus sadar, betapa cinta dan kasih jemaat
Miletus kepadanya sempurna, namun demikian, ia juga sadar bahwa masih banyak
pekerjaan yang lain, yang lebih bisa menumbuhkan dan mengembangkan kebaikan
Kristus. Maka, meski sangat berat, boleh dilihat narasi melo yang dilukiskan
Lukas, Paulus tetap harus pergi.
Dalam hal ini, kita bisa
melihat sebuah ketegaran hati dan kekuatan batin yang luarbiasa dari sosok
Paulus. Ada dua kisah yang mungkin bisa menolong kita semua menempatkan kisah
Paulus dan Jemaat Miletus dalam sebuah perspektif KEPENTINGAN UMUM DI ATAS
KEPENTINGAN PRIBADI. Yang pertama adalah Kisah Pertemua terakhir Ibu Kunthi
dengan anaknya yang sulung, Karna.
Di sebuah malam, dengan
diam-diam, Kunthi menyuruh orang untuk menemuai Karna. Kunthi ingin menjumpai
Karna, selain ingin meluapkan rasa rindunya juga ingin mengngatkan akan pilihan
Karna memihak Kurawa. Di tepian sungai Suci Gangga, dua anak manusia, ibu dan
anak saling bertatap, setelah sekian lama (bahkan mungknin hampir sleuruh usia)
takpernah berjumpa. Ada keharuan,ada rindu,ada cinta,ada marah dan ada harapan,
semua tertumpah dalam sebuah perjumpaan malam itu. Dan dalam potongan di akhir
perjumpaan (sebelum berpisah), satu kalimat harapan dari Kunthi. “Mereka,
Pandawa itu, adalah adik-adikmu nak…” dengan sepenuh hati kunthi mengatakan hal
ini, namun Karna tetap tegar. Meski hatinya luluh lantak, namun jiwa ksatrianya
menarinya dari pusaran nuansa melankolis, sehingga Karna tetap berpamitan.
“Aku tahu semua Ibu, namun
biarlah ini semua terjadi. Aku di pihak Kurawa,bukan karena aku benci adik-adik
Pandawa, namun justru aku sangat menyayangi mereka. Kehadiranku di Kurawa
justru akan mempercepat kejahatan menemukan jalan kehancurannya. Sudahlah ibu,
selamat tinggal. Sampai berjumpa di Surga!” Dengan berat, Karna berpamitan dan
kemudian pergi dengan iringan derai air mata seorang ibu, yang bahkan tidak
pernah mengasuhnya.
Karna meninggalkan ibunya,
Kunthi, bukan karena tidak cinta, justru ia sangat mencintai ibunya. Dan di seberang
lain, Kunthi, melepaskan anaknya juga bukan karena tidak cinta, ia (meski
berat) mengerti pilihan hidup anak sulungnya. Itu semua yang menjadikan “harmoni”
kehidupan tetap terjaga. Kunthi tidak memaksa anak sulungnya menginkari
panggilan Ksatrianya, siapa yang memberinya hidup dan Karna, tidak terdera
cinta dan bakti kepada sosok ibunda, panggilan kehidupan bersama, kepentingan
orang banyak yang lebih utama.
Selain Kisah Barathayuda
dengan episode perjumpaan Kunthi dengan Karna, ada juga sebuah film yang cukup
menarik, untuk dijadikan sebuah refleksi. Film itu adalah WaterWorld. Yang akan
saya ambil sebagai refleksi adalah epilog film tersebut. Setelah menyelamatkan Enola, Gregor pada
akhirnya berhasil memecahkan peta di pungguna Enola. Setelah itu mereka bertiga
kemudian menemukan Dryland. Gregor, Enola dan Helen memulai peradaban yang baru di pulau
tersebut. Tetapi Pengembara merasa tidak nyaman dan membuat kapal dan melaut
kembali, kembali pada hidup asalnya. Sebelum pergi Helen memberinya nama dari
mitos kuno, Ulysses.
Sebelum berpisah, Gregor
berpamitan dan nampaknya “Perjalanan Mereka” sudah menumbuhkan cinta dalam hati
Helen. Semua bujuk rayu Helen, tidak mampu menghentikan hasrat Gregor untuk
melanjutkan perjalanan. Bagi Gregor, hidupnya adalah perjalanan dan itu yang
dipilihnya,maka seberapapun kuatnya rayuan, tak akan mungkin mampu menhentikan
langkahnya, kecuali maut.
Dari tiga cerita tadi, ada
beberapa poin yang bisa diambil sebagai sebuah referensi untuk kehidupan, utamanya
soal pilihan hidup,perjumpaan dan juga perpisahan. Jemaat (terutama para
penatua) di Miletus dan juga yang baru datang dari Effesus, menginginkan Paulus
tetap bersama mereka. Namun mereka sadar, bahwa itu adalah ambisi pribadi
(kelompok) mereka saja,maka demi kebaikan bersama, mereka mengijinkan Paulus
melanjutkan perjalanannya. Demikian juga dengan Paulus, ia merasa nyaman dengan
mereka semua dan perjalanan adalah menhemput ancaman serta tantangan. Namun Paulus
berani memilih, untuk tetap setia dengan JANJI yang pernah ia ungkapkan, entah
kapan, namun paska ia ditangkap Tuhan Yesus, ia pernah berjanji untuk SETIA,
meski diperhadapkan dengan maut. Tiada ia akan undur sejengkalpun dari sumpah
imannya. Ia tidak melo, apalagi baper. Ia tegar.
Dalam hal ketegaran, Karna
juga mirip Paulus. Ia bisa saja memilih masuk dalam dekapan bunda yang
sepanjang usia, tiada pernah ia dekap. Namun panggilan jiwa Ksatria, ebih kuat
menggerakkan nurani Karna. Demikian juga dengan Kunthi. Jiwa seorang ibu, bisa
untuk mengikat hati dan rasa sang anak, namun itu tiada dilakukannya. Kunthi
mampu bertindak itu, karena bisa melihat “sesuatu” yang lebih besar, daripada kepuasan dirinya. Ia, ibu
Kunthi, mengiklaskan rasa serta cintanya, demi kepentingan yang lebih luas.
Juga Kisah dalam Film Water
World, Gregor menepiskan “hangatnya dekapan Helen”, demi sebuah panggilan
hidup,dan bahkan demi hidup itu sendiri. Meninggalkan Helen dan Enola sendirian
di Dryland, juga bukan sebuah kejahatan, karena di tanah kering itu mereka
berdua bisa hidup. Pada akhirnya, semua kembali pada “Panggilan” mula-mula. Paulus
mampu menepis kehidupan yang lebih nyaman dengan beberapa tawaran kepuasan daging
dibandingkan dengan kemungkinan bahaya
dan bencana. Semua terjadi karena kesetian terhadap panggilan. Pun demikian
denganJemaat (penatua) di Miletus, mereka bisa iklas melepaskan Paulus,
sejatinya melepaskan kepentingan dirinya, demi kebaikan bersama. Kisah
Karna,Kunthi, Gregor,Helen dan Enola, juga memberi kepada kita semua sebuah “map”
kehidupan. Di sana ada perjumpaan dan juga cinta,namun di sana juga ada
perpisahan yang tidak harus diartikan tanpa cinta. Tiga kisah ini, Paulus dan
rombongan dengan Jemaat dan para Penatua, Kisah Karna dan Kunthi, Sang Bunda
serta Kisah Water World, yang di sana ada Romansa Gregor, Helen dan
Enola,mengajak kita semua sadar, bahwa melepaskan ego adalah kunci utama damai
sejahtera itu menyapa dan hadir dalam kehidupan kita.
Tanggal 20 Juli 2019, sudah
bergulir sekitaran 3 hari, karena saya menulis ini di tanggal 23, namun nuansa Perpisahan
itu masih sangat terasa. Masih ada yang tiada percaya, masih ada yang belum
sepenuhnya iklas sehingga mengambil pilihan-pilihan lain. Namun bagaimanapun
juga, hidup harus tetap dianjutkan. Biarlah “perpisahan” ini menjadi sebuah
spirit bersama, untuk saling bertumbuh dalam segala yang berbeda. Mari bercermin
dari tiga kisah yang saya angkat, Paulus dan Jemaat (para penatua) di Miletus,
Ibu Kunthi dengan sang sulung, Karna dan juga dari Kisah Gregor,Helen dan Enola
di film Water World. Mereka semua iklas menikmati sebuah perpisahan, karena
dengan demikian, mereka sedang menghargai sebuah perjumpaan.
Sebuah Ungkapan Cinta
Salam..