Selasa, 23 Juli 2019

MEMAKNAI (SEBUAH) PERPISAHAN




Hukum semesta ini lengkap, tidak ada yang timpang, meski terkadang ada anomali, di sana-sini. Namun, meski ada anomali, kesempurnaan hukum semesta itu adalah pasti. Ada gelap,ada terang, ada jauh ada dekat,ada sedikit ada banyak dan juga pada akhirnya, ada pertemuan untuk kemudian sempurna dengan hadirnya perpisahan.

Perpisahan seolah selalu diposisikan dalam posisi yang salah, manakala dalam rentang waktu yang telah terlampaui, ada sebongkah sukacita dalam kebersamaan, meski perpisahan bisa menjadi siraman air kehidupan manakala kebersamaan laksana penjara atau neraka (saya sendiripun belum tahu keberadaan neraka ding..hehe). Namun demikian, Perpisahan tetaplah sebuah keadaan yang bisa memompa air mata hingga luber taktersisa.
Dalam sebuah cerita Alkitab, yang dinarasikan dengan sangat elok oleh Lukas, Ada kisah perpisahan Rasul Paulus dengan sebuah jemaat (nampaknya Miletus), yang dilaporkan oleh Lukas di Kisah Rasul 20:36-21:14. Di sana ada doa dan kemudian tangisan, artinya memang perpisahan (hampir) selalau menghadirkan duka dan kesedihan. Jemaat nampaknya tidak rela Paulus pergi, tentunya dengan harapan-harapan yang menurut mereka BENAR. Adapun tentang benar inipun bisa jadi hanya menurut mereka, karena tidak selalu benar itu bersifat universal.

Kedukaan jemaat yang hendak ditinggalkan Paulus sangat beralasan, karena (menurut Paulus) setelah itu mereka tidak akan pernah bertemu lagi. Mungkin kalau dilihat dari pespektif  saat ini, apa yang diucapkan oleh Paulus terasa Lebay dan juga tangisan jemaat yang hendak ditinggalkan Paulus juga terasa Lebay. Namun benarkah ada nuansa lebay dalam hal ini?

Dari sudut Paulus, mengapa ia sampai mengatakan “Bahwa ini adalah perpisahan dan tidak akan mungkin berjumpa kembali?”. Ini sangat rasional, karena medan serta jarak dan juga tugas Paulus. Tidak mungkinlah Paulus harus “ngrumati” sebuah jemaat dengan totalitas waktu dan fisik sempurna, karena memang ada banyak tugas yang lain yang mesti dikerjakan. Artinya, bagi Paulus, perpisahan dan kata-kata “tidak akan mungkin berjumpa kembali” adalah wajar.

Kemudian dari sudut Jemaat yang akan ditinggalkan, mengapa mereka nampak lebay?Lukas melaporkan..” Maka menangislah mereka semua tersedu-sedu dan sambil memeluk Paulus, mereka berulang-ulang mencium dia.” . Menangis dengan tersedu-sedu, artinya menangis dengan amat sangat. Menangis dengan tersedu-sedu bisa terjadi karena rasa duka dan sedih yang sangat mendalam. Dan ini bisa dipahami bersama,karena memang mereka tidak akan mungkin berjumpa lagi.

Lalu, mengapa toh akhrnya mereka mengijinkan atau (rela) melepaskan Paulus untuk pergi?Ini yang pantas kita perhatikan dengan seksama. Benar bahwa mereka sangat mengasihi atau menyayangi Paulus, namun berkat penjelasan Paulus, mereka bisa menerima semua yang menjadi alasan Paulus untuk pergi. Ini yang sangat menarik. Jemaat Miletus sadar, bahwa mereka menginginkan keberadaan Paulus di situ, namun kesadaran itu terkalahkan oleh “kepentingan yang lain” dari Paulus. Di sini kita bisa melihat betapa kebesaran hati jemaat Miletus patut diteladani.  Mereka tidak ngotot dengan sejuta argument (dan kalau sekarang bisanya mutung..hehe), mereka menerima itu dengan iklas dan tangisan mereka adalah pertanda ikatan emosional yang mendalam, buka tangisan cengeng.

Dari sisi Paulus, mengapa ia “begitu tega” meninggalkan sekelompok orang yang sungguh-sungguh tulus mengasihinya?Adakah misi yang lain? Paulus sadar, betapa cinta dan kasih jemaat Miletus kepadanya sempurna, namun demikian, ia juga sadar bahwa masih banyak pekerjaan yang lain, yang lebih bisa menumbuhkan dan mengembangkan kebaikan Kristus. Maka, meski sangat berat, boleh dilihat narasi melo yang dilukiskan Lukas, Paulus tetap harus pergi.

Dalam hal ini, kita bisa melihat sebuah ketegaran hati dan kekuatan batin yang luarbiasa dari sosok Paulus. Ada dua kisah yang mungkin bisa menolong kita semua menempatkan kisah Paulus dan Jemaat Miletus dalam sebuah perspektif KEPENTINGAN UMUM DI ATAS KEPENTINGAN PRIBADI. Yang pertama adalah Kisah Pertemua terakhir Ibu Kunthi dengan anaknya yang sulung, Karna.

Di sebuah malam, dengan diam-diam, Kunthi menyuruh orang untuk menemuai Karna. Kunthi ingin menjumpai Karna, selain ingin meluapkan rasa rindunya juga ingin mengngatkan akan pilihan Karna memihak Kurawa. Di tepian sungai Suci Gangga, dua anak manusia, ibu dan anak saling bertatap, setelah sekian lama (bahkan mungknin hampir sleuruh usia) takpernah berjumpa. Ada keharuan,ada rindu,ada cinta,ada marah dan ada harapan, semua tertumpah dalam sebuah perjumpaan malam itu. Dan dalam potongan di akhir perjumpaan (sebelum berpisah), satu kalimat harapan dari Kunthi. “Mereka, Pandawa itu, adalah adik-adikmu nak…” dengan sepenuh hati kunthi mengatakan hal ini, namun Karna tetap tegar. Meski hatinya luluh lantak, namun jiwa ksatrianya menarinya dari pusaran nuansa melankolis, sehingga Karna tetap berpamitan.

“Aku tahu semua Ibu, namun biarlah ini semua terjadi. Aku di pihak Kurawa,bukan karena aku benci adik-adik Pandawa, namun justru aku sangat menyayangi mereka. Kehadiranku di Kurawa justru akan mempercepat kejahatan menemukan jalan kehancurannya. Sudahlah ibu, selamat tinggal. Sampai berjumpa di Surga!” Dengan berat, Karna berpamitan dan kemudian pergi dengan iringan derai air mata seorang ibu, yang bahkan tidak pernah mengasuhnya.

Karna meninggalkan ibunya, Kunthi, bukan karena tidak cinta, justru ia sangat mencintai ibunya. Dan di seberang lain, Kunthi, melepaskan anaknya juga bukan karena tidak cinta, ia (meski berat) mengerti pilihan hidup anak sulungnya. Itu semua yang menjadikan “harmoni” kehidupan tetap terjaga. Kunthi tidak memaksa anak sulungnya menginkari panggilan Ksatrianya, siapa yang memberinya hidup dan Karna, tidak terdera cinta dan bakti kepada sosok ibunda, panggilan kehidupan bersama, kepentingan orang banyak yang lebih utama.

Selain Kisah Barathayuda dengan episode perjumpaan Kunthi dengan Karna, ada juga sebuah film yang cukup menarik, untuk dijadikan sebuah refleksi. Film itu adalah WaterWorld. Yang akan saya ambil sebagai refleksi adalah epilog film tersebut. Setelah menyelamatkan Enola, Gregor pada akhirnya berhasil memecahkan peta di pungguna Enola. Setelah itu mereka bertiga kemudian menemukan Dryland. Gregor, Enola dan Helen memulai peradaban yang baru di pulau tersebut. Tetapi Pengembara merasa tidak nyaman dan membuat kapal dan melaut kembali, kembali pada hidup asalnya. Sebelum pergi Helen memberinya nama dari mitos kuno, Ulysses.

Sebelum berpisah, Gregor berpamitan dan nampaknya “Perjalanan Mereka” sudah menumbuhkan cinta dalam hati Helen. Semua bujuk rayu Helen, tidak mampu menghentikan hasrat Gregor untuk melanjutkan perjalanan. Bagi Gregor, hidupnya adalah perjalanan dan itu yang dipilihnya,maka seberapapun kuatnya rayuan, tak akan mungkin mampu menhentikan langkahnya, kecuali maut.

Dari tiga cerita tadi, ada beberapa poin yang bisa diambil sebagai sebuah referensi untuk kehidupan, utamanya soal pilihan hidup,perjumpaan dan juga perpisahan. Jemaat (terutama para penatua) di Miletus dan juga yang baru datang dari Effesus, menginginkan Paulus tetap bersama mereka. Namun mereka sadar, bahwa itu adalah ambisi pribadi (kelompok) mereka saja,maka demi kebaikan bersama, mereka mengijinkan Paulus melanjutkan perjalanannya. Demikian juga dengan Paulus, ia merasa nyaman dengan mereka semua dan perjalanan adalah menhemput ancaman serta tantangan. Namun Paulus berani memilih, untuk tetap setia dengan JANJI yang pernah ia ungkapkan, entah kapan, namun paska ia ditangkap Tuhan Yesus, ia pernah berjanji untuk SETIA, meski diperhadapkan dengan maut. Tiada ia akan undur sejengkalpun dari sumpah imannya. Ia tidak melo, apalagi baper. Ia tegar.

Dalam hal ketegaran, Karna juga mirip Paulus. Ia bisa saja memilih masuk dalam dekapan bunda yang sepanjang usia, tiada pernah ia dekap. Namun panggilan jiwa Ksatria, ebih kuat menggerakkan nurani Karna. Demikian juga dengan Kunthi. Jiwa seorang ibu, bisa untuk mengikat hati dan rasa sang anak, namun itu tiada dilakukannya. Kunthi mampu bertindak itu, karena bisa melihat “sesuatu” yang lebih  besar, daripada kepuasan dirinya. Ia, ibu Kunthi, mengiklaskan rasa serta cintanya, demi kepentingan yang lebih luas.

Juga Kisah dalam Film Water World, Gregor menepiskan “hangatnya dekapan Helen”, demi sebuah panggilan hidup,dan bahkan demi hidup itu sendiri. Meninggalkan Helen dan Enola sendirian di Dryland, juga bukan sebuah kejahatan, karena di tanah kering itu mereka berdua bisa hidup. Pada akhirnya, semua kembali pada “Panggilan” mula-mula. Paulus mampu menepis kehidupan yang lebih nyaman dengan beberapa tawaran kepuasan daging dibandingkan dengan kemungkinan bahaya  dan bencana. Semua terjadi karena kesetian terhadap panggilan. Pun demikian denganJemaat (penatua) di Miletus, mereka bisa iklas melepaskan Paulus, sejatinya melepaskan kepentingan dirinya, demi kebaikan bersama. Kisah Karna,Kunthi, Gregor,Helen dan Enola, juga memberi kepada kita semua sebuah “map” kehidupan. Di sana ada perjumpaan dan juga cinta,namun di sana juga ada perpisahan yang tidak harus diartikan tanpa cinta. Tiga kisah ini, Paulus dan rombongan dengan Jemaat dan para Penatua, Kisah Karna dan Kunthi, Sang Bunda serta Kisah Water World, yang di sana ada Romansa Gregor, Helen dan Enola,mengajak kita semua sadar, bahwa melepaskan ego adalah kunci utama damai sejahtera itu menyapa dan hadir dalam kehidupan kita.

Tanggal 20 Juli 2019, sudah bergulir sekitaran 3 hari, karena saya menulis ini di tanggal 23, namun nuansa Perpisahan itu masih sangat terasa. Masih ada yang tiada percaya, masih ada yang belum sepenuhnya iklas sehingga mengambil pilihan-pilihan lain. Namun bagaimanapun juga, hidup harus tetap dianjutkan. Biarlah “perpisahan” ini menjadi sebuah spirit bersama, untuk saling bertumbuh dalam segala yang berbeda. Mari bercermin dari tiga kisah yang saya angkat, Paulus dan Jemaat (para penatua) di Miletus, Ibu Kunthi dengan sang sulung, Karna dan juga dari Kisah Gregor,Helen dan Enola di film Water World. Mereka semua iklas menikmati sebuah perpisahan, karena dengan demikian, mereka sedang menghargai sebuah perjumpaan.

Sebuah Ungkapan Cinta 
Salam..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH