Fiksi Bulan Desember
Senja yang
basah baru saja membuka lembaran megahnya. Suara jangkrik dan serangga liar
mulai nyaring, bersaing dengan deru music
dari sebuah gedung megah. Suara lagu natal dari gedung gereja terdengar nyaring, rehat sejenak dalam bingkai
toleransi untuk berganti dengan
gema bedhug
untuk memanggil orang Islam menjalankan ibadah Isya. Usai adzan isya, nyanyian gereja itu
kembali berkumandang.
Seorang lelaki, bersama dengan istri dan anak dalam
gendongan ada di bawah sebuah pohon di
tingungn jalan desa, agak dekat dengan gedung gereja itu. Nampaknya mereka
bukan bagian dari kelompok yang sedang pesta itu. Dengan payung
lusuh, satu untuk bertiga, dan si bapak nampak mengalah demi istri dan anaknya,
mereka mencoba menarik perhatian mereka yang berpesta, sembari berharap ada yang
mengajaknya bergabung.
Siapa gerangan lelaki dan istri bersama dengan
anak itu? Ataukah mereka pemudik yang baru saja datang? Tapi mengapa tidak ada
yang mengenalinya?Entahlah. Wajah si bapak itu nampak beku, biru
menggelap tertutup kabut malam.
Semakin jelas
terdengar puji-pujian mengalun
dan meraung dari
gedung gereja, natal bagi
mereka yang merayakannya. Sorak sorai sukacita karena kelahiran Sang Juru
Selamat menggema bak letusan gunung Semeru tempo hari. Yesus telah lahir ke
dunia untuk mengalahkan dosa. Nampaknya
keluarga itu baru saja menerima anak, karena tangisan bayi itu masih terkesan
masih kecil, Sempat terdengar olehku lirih tangisan bayi dalam dekapan si ibu,
di bawah payung lusuh itu, di balik selendang yang juga nampak lusuh, sangat
lusuh malah.
Aku mencoba
mendekati, awalnya aku agak ragu, namun tatapan senyum polos meski terdera
dingin dan lapar, dari bapak beserta istrinya, membuatku berani mendekati
mereka. Kudengar lirih tangisan bayi, namun keburu ditenangin ibunya, perempuan
yang nampaknya masih muda dan cantik.
“Selamat malam pak”
Tanyaku dengan suara agak bergetar.
“Selamat malam mas…”
jawab si bapak dengan santun.
“Bapak mau ke mana
dan dari mana? Ini desa kecil lho pak, sehingga saya hampir kenal dengan semua
warga desa ini?” Tanyaku menelisik, sembari ku makin mendekat. Dingin, senja
telah usai, sisa hujan menjadikan kabut memberi dingin lebih, suara music dan
lagu natal masih meraung meriah. Dan dari pojokan jalan ini, terlihat orang
berbondong. Mereka ada yang baru berangkat, ada juga yang lalu-lalang karena
ingin mencari sesuatu agar saat perayaan tidak terjadi kendala.
“Kami dari jauh
mas dan memang bukan orang sini. Tadi sewaktu lewat di jalan atas desa,
mendengar nyaring puji-pujian natal, makanya kami hendak ikut merayakannya.”
Jawab si Bapak dengan lembut dan polos.
“Lho, bapak sudah
sampai sana, tempat perayaan itu?”Tanyaku menyelidik.
“Sudah mas, tadi.
Namun karena tidak ada yang kenal, dan nampaknya menjadikan banyak orang
terganggu dengan kondisi kami, kami menyingkir. Saking penuhnya jemaat yang
merayakan sukacita natal, meski masa pandemic, gedung gereja itu penuh. Kami
menjadi tidak enak, karena tidak ada yang mau mendekati kami, juga tangisan
anak kami membuat orang-orang terganggu mas” Bapak itu menjawab dengan lancar,
meski lirih namun iklas dan penuh belas
kasih.
“Ooo, seperti itu
ya pak?” Jawabku setengah bertanya, karena aku juga sembari menyelidik, siapa
gerangan keluarga ini. Jangan-janagn teroris yang menyamar.
“Oiya mas, di
gedung itu mau ada acara perayaan natal kan ?” Tanya si bapak, sembari melipat payung
lusuhnya, karena hujan sudah mereda.
“Oo, itu mau perayaan
Natal pak. Kami bersuka cita dalam peringatan dan perayaan natal, karena menurut
iman kami, natal adalah kedatangan Tuhan Yesus, penyelamat kami. Natal adalah symbol
kepedulian, cinta kasih Allah kepada manusia. Natal adalah keiklasan Allah
untuk ikut merasakan derita manusia, Allah rela menjadi manusia, menjadi bayi
lemah..”Jawabku mengalir layaknya seorang nabi, dan bapak itu nampak mengangguk
sembari tetap tersenyum. Kembali kudengar lirih suara tangisan bayi, di balik
dekapan si ibu. Siapa gerangankah keluarga ini? Batinku terus menelisik, dan
kemudian lewatlah beberapa orang yang nampaknya menjadi panitia dari acara
tersebut. Saat melintas, mereka menoleh ke arah keluarga yang sedang bersamaku,
nampak tatapannya kurang ramah, agak sinis.
“Weh,
wong racetha mau jebule jik neng kono…”Sayup kudengar suara dari yang baru saja melintas.
Mendengar komentar itu, aku menjadi miris dan berharap si bapak dan istri tak mendengar suara beberapa orang tadi.
“Mas, kok tidak
segera menuju tempat perayaan?Nanti telat lho, jangan suka telat, tidak baik
mas..” si bapak itu menyapaku dan mengingatkanku. Aku tersentak, namun rasa
penasaranku terhadap keluarga kecil nan asing ini mencegahku segera menuju
tempat perayaan.
“ Bapak, ibu, ayo ikut saya. Nanti saya yang bertanggung
jawab Pak..”Ajakku kepada mereka.
“Tidak usahlah mas, biar saya melanjutkan perjalanan saja.
Kami tidak mau mengganggu kebahagiaan mereka, kami ingin mereka bahagia. Karena
bagi mereka, perayaan haruslah bahagia, tidak penting dengan apa dan siapa
sejatinya yang sedang di rayakan. Pernah saya membaca tulisan mas, Yesus Yang
tersingkir dalam Perayaan Natal. Dan peristiwa itu sepertinya selalu terulang
setiap tahun, terulang dan terulang kembali. Mereka merayakan natal,
memperingati kelahiran Yesus, namun sering Yesusnya ditenggelamkan oleh
keinginan-keinginan pribadi, oleh kepuasan-kepuasan pribadi. Sering mereka
berteriak lantang bahwa kelahiran yesus adalah wujud kepedulian Allah, namun
mereka enggan meniti jejak peduli itu, apalagi untuk yang miskin dan tersisih..”
Bapak itu menghentikan perkataannya, nampaknya kehausan, lalu mengambil botol
lusuh dari tas yang juga lusuh. Meminumnya, untuk kemudian menghela nafas dan
melanjutkan perkataannya.
“Mas, ijinkan saya berkenalan. Nama saya Yusuf, ini istri saya, orang
menyebutnya Maryam dan yang di gendong itu anak sulung saya mas.” Suara bapak
itu bak petir menggelegar di pagi hari,
Aku terperanjat, aku kaget. Belum hilang kagetku, bapak itu kembali
berkata-kata.
"Memang keadaan kami seperti ini mas, kami bukan orang
kaya, bukan orang berada. Mas pasti paham kan tempat lahirnya anak sulung kami?
Tidak usah mas ajak kami, biarkan kami melanjutkan perjalanan. Kami tidak ingin
merusak sukacita dan bahagia mereka semua..Suatu saat pasti mereka akan sadar.
Selamat natal ya mas….” Ucap si bapak menutup perkataannya. Aku tertegun,
memejamkan mata, merasa malu tiada terkira.
Pada saat aku terpejam itulah, bapak itu mengajak istri dan
anak mereka pergi menjauh. Menelusuri jalanan kampung, menuju tempat tinggal
mereka yang entah di mana. Aku terkesima dan seperti orang kena bius atau ilmu
sirep, terdiam dalam mata terpejam. Dalam keterpejaman mataku, aku tersadar.
Memang benar, sering dalam perayaan-perayaan natal, yang
semestinya Tuhan Yesus yang menjadi pusat, justru malah hanya sebagai ornament.
Tuhan Yesus malah sering ditolak dari perayaan, hanya karena hadir dalam wajah
miskin dan papa, hanya karena hadir dalam kekumalan pakaian, hadir dalam seribu
pergumulan kehidupan, namun jiwa tetap sebening embun pagi. Aku tersentak dan
berniat membawa bapak dan keluarganya masuk ke gedung perayaan, namun saat aku
membuka mata, tak kulihat siapa-siapa.
Semilir angin musim hujan, menambah dingin suasana. Suara nyanyian pujian gereja,
puian natal masih mengumandang dan beberapa orang masih lalu-lalang menuju
tempat perayaan, ada beberapa yang terlambat. Aku kemudian kembali menuju
tempat perayaan dengan perasaan tidak menentu, gundah gulana. Sesampai di
tempat perayaan, kulihat suasana semakin meriah, hampir semua berpakaian bagus,
menjadikan cocok dengan lampu malam yang syahdu, se-syahdu pujian natal itu.
Sesaat setelah aku mendekat, aku ditemui seorang sahabat dan kemudian bertanya.
“Kamu tadi menemui
bapak dan istrinya yang kusut itu ya? Hati-hati bro, jangan sembarangan di
situasi seperti ini. Siapa tahu dia orang menyamar dan hendak mengacaukan acara
kita..” Sembur sahabatku itu.
“Iya, aku tadi
penasaran dan menemui mereka di ujung jalan, di tempat yang agak gelap, karena
si bapak itu tak ingin hadirnya mengganggu siapapun” Jawabku santai.
“Jangan terkecoh
bro, saat seperti ini sulit mempercayai orang apalagi belum kita kenal..tadi memang aku meminta beberapa
orang mananyainya dan saat tidak ada yang mengenal, maka kami minta untuk
meninggalkan acara…” kata sahabatku dengan lanatang.
“Tahukan kamu,
siapa si bapak tadi? Kenalkah kamu siapa si ibu dan si anak bayinya tadi?”
Tanyaku agak bernada tinggi.
“Lho, apa urusanku
dengan orang asing yang tidak jelas itu? Dan ngapain kamu bertanya begitu?”
Sahabatku nampanya mulai emosi, karena dia termasuk orang terpandang, karena di
usia muda sudah kaya.
“Bapak dan
istrinya itu adalah adalah bapak Yusuf dan ibu Maria. mereka menggendong Bayi
Yesus, Tuhan kita, yang kelahirannya sedang kita rayakan” Jawabku tak kalah
lantang, dan sahabatku nampak tidak percaya.
“Mana mungkin itu
terjadi? Mustahil..” Jawabnya.
“Bagi Tuhan tidak
ada yang mustahil. Tuhan sendiri pernah bersabda, bahwa Dia ada di dalam diri
siapa yang tertindas dan tersisih. Dia ada di dalam mereka yang tertolak dan
miskin, dan mala mini, Dia mendatangi kita namun kita menolaknya,kita terlalu
sombong dengan diri kita. Kita merayakan natal namun justru Tuhan Yesus kita
singkirkan diantara ornament dan hiasan natal kita..” Ucapku lantang, kemudian
aku bergegas untuk pulang, ada sesal menyesak di dalam dada ini, karena gagal
menghadirkan Tuhan Yesus dalam perayaan kalahiranNya.
@catatanbulandesember
Terima kasih utk tulisan refleksi ini
BalasHapusMakasih sudah mencerahkan
BalasHapusTrims...sudah menginspiras
BalasHapus