Sabtu, 18 Desember 2021

TIGA ORANG YANG TERTOLAK

Fiksi Bulan Desember




Senja yang basah baru saja membuka lembaran megahnya. Suara jangkrik dan serangga liar mulai nyaring, bersaing dengan deru music dari sebuah gedung megah. Suara lagu natal dari gedung gereja terdengar nyaring, rehat sejenak dalam bingkai toleransi untuk berganti dengan gema bedhug untuk memanggil orang Islam menjalankan ibadah Isya. Usai adzan isya, nyanyian gereja itu kembali berkumandang.

Seorang lelaki, bersama dengan istri dan anak dalam gendongan ada di bawah sebuah pohon di tingungn jalan desa, agak dekat dengan gedung gereja itu. Nampaknya mereka bukan bagian dari kelompok yang sedang pesta itu. Dengan payung lusuh, satu untuk bertiga, dan si bapak nampak mengalah demi istri dan anaknya, mereka mencoba menarik perhatian mereka yang berpesta, sembari berharap ada yang mengajaknya bergabung. 

 Siapa gerangan lelaki dan istri bersama dengan anak itu? Ataukah mereka pemudik yang baru saja datang? Tapi mengapa tidak ada yang mengenalinya?Entahlah. Wajah si   bapak itu nampak beku, biru menggelap tertutup kabut malam.  


Semakin jelas terdengar puji-pujian mengalun dan meraung dari gedung  gereja, natal bagi mereka yang merayakannya. Sorak sorai sukacita karena kelahiran Sang Juru Selamat menggema bak letusan gunung Semeru tempo hari. Yesus telah lahir ke dunia untuk mengalahkan dosa. Nampaknya keluarga itu baru saja menerima anak, karena tangisan bayi itu masih terkesan masih kecil, Sempat terdengar olehku lirih tangisan bayi dalam dekapan si ibu, di bawah payung lusuh itu, di balik selendang yang juga nampak lusuh, sangat lusuh malah.

Aku mencoba mendekati, awalnya aku agak ragu, namun tatapan senyum polos meski terdera dingin dan lapar, dari bapak beserta istrinya, membuatku berani mendekati mereka. Kudengar lirih tangisan bayi, namun keburu ditenangin ibunya, perempuan yang nampaknya masih muda dan cantik.

“Selamat malam pak” Tanyaku dengan suara agak bergetar.

“Selamat malam mas…” jawab si bapak dengan santun.

“Bapak mau ke mana dan dari mana? Ini desa kecil lho pak, sehingga saya hampir kenal dengan semua warga desa ini?” Tanyaku menelisik, sembari ku makin mendekat. Dingin, senja telah usai, sisa hujan menjadikan kabut memberi dingin lebih, suara music dan lagu natal masih meraung meriah. Dan dari pojokan jalan ini, terlihat orang berbondong. Mereka ada yang baru berangkat, ada juga yang lalu-lalang karena ingin mencari sesuatu agar saat perayaan tidak terjadi kendala.

“Kami dari jauh mas dan memang bukan orang sini. Tadi sewaktu lewat di jalan atas desa, mendengar nyaring puji-pujian natal, makanya kami hendak ikut merayakannya.” Jawab si Bapak dengan lembut dan polos.

“Lho, bapak sudah sampai sana, tempat perayaan itu?”Tanyaku menyelidik.

“Sudah mas, tadi. Namun karena tidak ada yang kenal, dan nampaknya menjadikan banyak orang terganggu dengan kondisi kami, kami menyingkir. Saking penuhnya jemaat yang merayakan sukacita natal, meski masa pandemic, gedung gereja itu penuh. Kami menjadi tidak enak, karena tidak ada yang mau mendekati kami, juga tangisan anak kami membuat orang-orang terganggu mas” Bapak itu menjawab dengan lancar, meski lirih namun iklas dan penuh belas  kasih.

“Ooo, seperti itu ya pak?” Jawabku setengah bertanya, karena aku juga sembari menyelidik, siapa gerangan keluarga ini. Jangan-janagn teroris yang menyamar.

“Oiya mas, di gedung itu mau ada acara perayaan natal kan ?” Tanya si bapak, sembari melipat payung lusuhnya, karena hujan sudah mereda.

“Oo, itu mau perayaan Natal pak. Kami bersuka cita dalam peringatan dan perayaan natal, karena menurut iman kami, natal adalah kedatangan Tuhan Yesus, penyelamat kami. Natal adalah symbol kepedulian, cinta kasih Allah kepada manusia. Natal adalah keiklasan Allah untuk ikut merasakan derita manusia, Allah rela menjadi manusia, menjadi bayi lemah..”Jawabku mengalir layaknya seorang nabi, dan bapak itu nampak mengangguk sembari tetap tersenyum. Kembali kudengar lirih suara tangisan bayi, di balik dekapan si ibu. Siapa gerangankah keluarga ini? Batinku terus menelisik, dan kemudian lewatlah beberapa orang yang nampaknya menjadi panitia dari acara tersebut. Saat melintas, mereka menoleh ke arah keluarga yang sedang bersamaku, nampak tatapannya kurang ramah, agak sinis.

“Weh, wong racetha mau jebule jik neng kono…”Sayup kudengar suara dari yang baru saja melintas. Mendengar komentar itu, aku menjadi miris dan berharap si bapak dan istri  tak mendengar suara beberapa orang tadi.

“Mas, kok tidak segera menuju tempat perayaan?Nanti telat lho, jangan suka telat, tidak baik mas..” si bapak itu menyapaku dan mengingatkanku. Aku tersentak, namun rasa penasaranku terhadap keluarga kecil nan asing ini mencegahku segera menuju tempat perayaan.

“ Bapak, ibu, ayo ikut saya. Nanti saya yang bertanggung jawab Pak..”Ajakku kepada mereka.

“Tidak usahlah mas, biar saya melanjutkan perjalanan saja. Kami tidak mau mengganggu kebahagiaan mereka, kami ingin mereka bahagia. Karena bagi mereka, perayaan haruslah bahagia, tidak penting dengan apa dan siapa sejatinya yang sedang di rayakan. Pernah saya membaca tulisan mas, Yesus Yang tersingkir dalam Perayaan Natal. Dan peristiwa itu sepertinya selalu terulang setiap tahun, terulang dan terulang kembali. Mereka merayakan natal, memperingati kelahiran Yesus, namun sering Yesusnya ditenggelamkan oleh keinginan-keinginan pribadi, oleh kepuasan-kepuasan pribadi. Sering mereka berteriak lantang bahwa kelahiran yesus adalah wujud kepedulian Allah, namun mereka enggan meniti jejak peduli itu, apalagi untuk yang miskin dan tersisih..” Bapak itu menghentikan perkataannya, nampaknya kehausan, lalu mengambil botol lusuh dari tas yang juga lusuh. Meminumnya, untuk kemudian menghela nafas dan melanjutkan perkataannya.

 

“Mas, ijinkan saya berkenalan.  Nama saya Yusuf, ini istri saya, orang menyebutnya Maryam dan yang di gendong itu anak sulung saya mas.” Suara bapak itu bak petir menggelegar di pagi hari,  Aku terperanjat, aku kaget. Belum hilang kagetku, bapak itu kembali berkata-kata.

"Memang keadaan kami seperti ini mas, kami bukan orang kaya, bukan orang berada. Mas pasti paham kan tempat lahirnya anak sulung kami? Tidak usah mas ajak kami, biarkan kami melanjutkan perjalanan. Kami tidak ingin merusak sukacita dan bahagia mereka semua..Suatu saat pasti mereka akan sadar. Selamat natal ya mas….” Ucap si bapak menutup perkataannya. Aku tertegun, memejamkan mata, merasa malu tiada terkira.

Pada saat aku terpejam itulah, bapak itu mengajak istri dan anak mereka pergi menjauh. Menelusuri jalanan kampung, menuju tempat tinggal mereka yang entah di mana. Aku terkesima dan seperti orang kena bius atau ilmu sirep, terdiam dalam mata terpejam. Dalam keterpejaman mataku, aku tersadar.

Memang benar, sering dalam perayaan-perayaan natal, yang semestinya Tuhan Yesus yang menjadi pusat, justru malah hanya sebagai ornament. Tuhan Yesus malah sering ditolak dari perayaan, hanya karena hadir dalam wajah miskin dan papa, hanya karena hadir dalam kekumalan pakaian, hadir dalam seribu pergumulan kehidupan, namun jiwa tetap sebening embun pagi. Aku tersentak dan berniat membawa bapak dan keluarganya masuk ke gedung perayaan, namun saat aku membuka mata, tak kulihat siapa-siapa.

Semilir angin musim hujan, menambah dingin suasana. Suara nyanyian pujian gereja, puian natal masih mengumandang dan beberapa orang masih lalu-lalang menuju tempat perayaan, ada beberapa yang terlambat. Aku kemudian kembali menuju tempat perayaan dengan perasaan tidak menentu, gundah gulana. Sesampai di tempat perayaan, kulihat suasana semakin meriah, hampir semua berpakaian bagus, menjadikan cocok dengan lampu malam yang syahdu, se-syahdu pujian natal itu. Sesaat setelah aku mendekat, aku ditemui seorang sahabat dan kemudian bertanya.

“Kamu tadi menemui bapak dan istrinya yang kusut itu ya? Hati-hati bro, jangan sembarangan di situasi seperti ini. Siapa tahu dia orang menyamar dan hendak mengacaukan acara kita..” Sembur sahabatku itu.

“Iya, aku tadi penasaran dan menemui mereka di ujung jalan, di tempat yang agak gelap, karena si bapak itu tak ingin hadirnya mengganggu siapapun” Jawabku santai.

“Jangan terkecoh bro, saat seperti ini sulit mempercayai orang apalagi belum  kita kenal..tadi memang aku meminta beberapa orang mananyainya dan saat tidak ada yang mengenal, maka kami minta untuk meninggalkan acara…” kata sahabatku dengan lanatang.

“Tahukan kamu, siapa si bapak tadi? Kenalkah kamu siapa si ibu dan si anak bayinya tadi?” Tanyaku agak bernada tinggi.

“Lho, apa urusanku dengan orang asing yang tidak jelas itu? Dan ngapain kamu bertanya begitu?” Sahabatku nampanya mulai emosi, karena dia termasuk orang terpandang, karena di usia muda sudah kaya.

“Bapak dan istrinya itu adalah adalah bapak Yusuf dan ibu Maria. mereka menggendong Bayi Yesus, Tuhan kita, yang kelahirannya sedang kita rayakan” Jawabku tak kalah lantang, dan sahabatku nampak tidak percaya.

“Mana mungkin itu terjadi? Mustahil..” Jawabnya.

“Bagi Tuhan tidak ada yang mustahil. Tuhan sendiri pernah bersabda, bahwa Dia ada di dalam diri siapa yang tertindas dan tersisih. Dia ada di dalam mereka yang tertolak dan miskin, dan mala mini, Dia mendatangi kita namun kita menolaknya,kita terlalu sombong dengan diri kita. Kita merayakan natal namun justru Tuhan Yesus kita singkirkan diantara ornament dan hiasan natal kita..” Ucapku lantang, kemudian aku bergegas untuk pulang, ada sesal menyesak di dalam dada ini, karena gagal menghadirkan Tuhan Yesus dalam perayaan kalahiranNya.

 

@catatanbulandesember


 

3 komentar:

FIKSI Di Malam PASKAH