Jumat, 24 Desember 2021

PADA SEBUAH MALAM

 



Udara terasa dingin semenjak sore, gerimis semenjak pagi. Tidak deras, karena gerimis, namun karena  lamanya maka situasi menjadi terasa lebih dingin dari biasanya. Lampu kamar tengah menyala terang, di kamar-kamar semua rumah juga sudah menyala. Puji Syukur, semua kamar penginapanku penuh, dan itu menjadikanku lebih berbahagia.  Kebijakan Kaisar untuk mengadakan sensus adalah anugerah bagi kami, para pengusaha rumah penginapan. Tiga belas kamar penuh dengan tamu, dan itu menjadikanku tersenyum lebih leluasa, itu juga yang kulihat di raut istri dan anak-anakku. Ada harapan yang mulai merekah, ada senyum yang mengembang.

Tidak ada satupun penghuni kamar penginapanku kukenal, meskipun leluhur mereka berasal dari kampung kecil ini, namun mereka semua ramah-ramah. Nampaknya mereka kaum beragama, itu kesimpulanku dari yang kulihat dan kurasakan. Kulihat bahasa-bahasa mereka kukenal bahasa relegius, dan itu menjadikan aku sebagai pemilik penginapan ini jauh lebih tenag, karena , pikirku, orang relegius pastilah baik hati. Sempat ada yang mengajakku bercakap, Tanya beberapa hal dan kujawab semampuku, semua berjalan dengan ramah. Aku merasa menemukan saudara-saudara sesama manusia yang baru.

Malam semakin beringsut, bergerak dengan pasti dalam ketenangannya. Udara dingin semakin terasa menyusup ke raga, bahkan terasa sampai ke tulang-tulang di dalam tubuh yang menjelang renta ini. Tidak kutahu waktu saat itu, namun nampaknya sudah jauh mendekati puncak malam. Kuhabiskan cerutu warisan leluhurku, juga kutuang sisa-sisa anggur dari hasil panen kebunku sendiri. Kuminum demi membantuku mengatasi dinginnya malam. Saat aku bergerak hendak menutup gerbang penginapanku, karena kurasa malam semakin larut dan juga karena kamar penginapanku sudah penuh, dari jauh kulihat bayangan mendekat.

Aku tidak tahu siapa yang berjalan itu, dan bisa kubayangkan betapa berat meniti malam dalam dingin seperti ini. Aku yakin, dia pendatang yang juga hendak mengadakan sensus. Akupun juga yakin, jika desa ini tujuan mereka, pastilah ada garis kerabat di desa ini. Aku memutuskan menunggu mereka mendekat, siapa tahu mereka membutuhkan bantuanku. Suara kaki keledai letih merintih pile dalam pelukan dinginnya malam. Semakin mendekat, semakin deat hingga aku mulai bisa mengidentifikasi mereka, secara jumlah. Ada dua orang, dan satu bayangan lain, yaitu keledai mereka. Temaram lampu minyak yang ada di pinggir jalan membuat aku mampu melihat  secara lebih jelas, siapa mereka. Dua orang, laki-laki muda dan seorang perempuan.  Dan saat semakin mendekat, kutahu yang perempuan sedang mengandung.  Ya Tuhan, betapa berat perjalanan mereka.

“Selamat malam Pak, apakah di penginapan bapak masih tersisa kamar? Saya sudah terlalu letih Pak, semua penginapan penuh dan sudah tutup. Ini istri saya yang sedang hamil tua, nampaknya sudah waktunya melahirkan” Suara laki-laki yang datang mendekat. Aku terkesiap, nampak wajah mereka ppucat, seperti menahan lehitu yang tiada terkira. Bahkan, keledainyapun kulihat sangat kelelahan. Beberapa detik kemudian, aku tersadar dan menjawab.

“Mari masuk dulu kisanak, soal kamar nanti bisa kita bicarakan” Jawabku polos, demi ikut merasakan derita mereka. Lalu aku mengajak mereka masuk, setelah terlebih dahulu menunggu si laki-laki menambatkan keledainya di tempat penambatan yang juga sudah penuh. Lalu setelah laki-laki itu usai menambatkan keledainya, kembali ke depan dan bersamaku masuk ke ruangan depan, yang terbiasa untuk proses administrasi. Kulihat perempuan muda yang sedang hamil tua itu diam, seolah menahan rasa sakit karena hendak melahirkan. Aku bisa ikut merasakan rasa itu. Rintih yang tertahan dan juga tangan kanan yang menutup mulut, tidak bisa menyembunyikan getir rasa di perempuan itu.

“Maaf pak, sudah semua penginapan di desa ini saya datangi, namun semuanya penuh. Hanya bapak yang mau menerima kami masuk” Ungkap Lelaki itu sembari mengatur nafasnya yang terengah, menandakan letih tak terkira. Aku tertegun namun maklum dengan keadaan yang terjadi. Perintah Kaisar memang wajib dipatuhi dan itu menjadikan semua orang berbondong mendaftarkan diri untuk sensus ini. Penginapankupun sangat penuh, aku sendiri hanya berjaga di ruangan ini, sehingga tidak mungkin jika ada proses persalinan.

“Sebenere sama Pak, penginapan saya juga penuh. Tetapi akan saya akan coba menaya yang sedang menginap di masing-masing kamar” Jawabku akan mencoba bertanya kepada para penyewa kamar yang sudah masuk ke kamar, karena memang letih dan hak mereka untuk menempati kamarnya, karena mereka sudah membayar sesuai harga yang aku patok. Kemudian aku mencoba mendekati kamar satu persatu, akan kucoba menanyai mereka, semoga ada yang  mengiklaskan kamarnya ditempati ibu muda yang semakin menahan sakit itu.

“Selamat malam, bolehkan saya bicara barang beberapa saat?” Sambil kuketok pintu sebuah kamar. Aku menungga bebrapa saat, namun tidak dibukakan, mungkin sudah terlelap. Aku bergerak ke kamar yang lain, dan seperti kamar sebelumnya, aku mengetok pintu dan menanyai. Namun sampai pintu kamar ke empat, semua diam, tidak ada yang merespon. Dan aku maklum, mereka semua letih dan punya hak menolak pintaku. Aku menlanjutkan ke kamar berikutnya, dan setelah aku ketok, pintu dibuka. Nampak lelaki yang menghuni kamar itu menampilkan wajah agak marah.

“Ada apa mengganggu istirahat kami? Apakah ada kekurangan bayarannya ?” Sengol penghuni kamar itu membuka percakapan. Aku agak rishi, berat untuk bernegosiasi dengan orang yang seperti ini, namun tetap aku memberanikan diri.

“Maaf kisanak, ini ada keluarga, seorang bapak dan istrinya yang sedang hamil tua dan hendak melahirkan. Penginapan saya sudah penuh semua bolehkan saya meminta ses…” Belum sempat aku merampungkan kalimatku, laki-laki itu menutup pintunya sembari menajwab kaku.

“Aku tidak ada urusan dengan  siapapun. Kalau mau melahirkan dan kehabisan kamr, silakan resiko ditanggung sendiri!” Jawab penghuni kamar itu. Aku tertegun, setahuku orang tampilannya sangat agamis,sangat relegius, namun sikapnya itu…Akhh. Aku mencoba ke kamar-kamar yang lain, sembari terus berharap ada yang mau dan iklas berbagi dengan ibu yang melahirkan itu. Namun sampai kamar ke delapan semua sia-sia. Jangankan dibukakan, dijawab saja tidak. Aku semakin cemas, kudengar lirih rintih perih perempuan itu. Dalam letih karena perjalanan panjangnya, dia menawah rasak sakit kodrati seorang perempuan dan dalam situasi seperti ini, tidak ada ora yang mau memberikan hatinya, termasuk akukah? Akhirnya aku sampai di kamar paling ujung, dua kamar sebelum kamar terakhir, karena kamar terakhir ada di lokasi berbeda dengan ramah utama, lokasinya dekat kandang ternakku.

“Selamat malam, maaf mengganggu. Bolehkah saya bicara sesaat saja?” Tanyaku sopan sembari mengetok pintu, karena kudengar masih ada suara-suara dari kamar itu. Diam, kemudian kudengar suara membuka kancing pintu, dan seorang perempuan yang muncul, wajahnya ketus dan lalu berbicara.

“Saudara itu kurang kerjan ya? Ini kamar sudah aku pesan, aku bayar lunas. Ada apa masih mengganggu di saat malam seperti ini?” Tanyanya sangat ketus.

“Maaf ibu, kalau berkenan, bisakah menitipkan seorang ibu yang sudah mendekati saat persalinan?Dia baru saja datang dan nampak sangat kelehahan. Hampir semua kamar sudah saya ketok namun tidak ada yang berkenan. Semoga ibu berkenan..”Jawabku ramah, mencoba mengusik nurani perempuan itu.

“Enak sajak. Ini saya capek, saya juga sudah membayar lunas dan kami tidak kenal dengan orang yang bapak maksut. Ngapain merepotkan diri. Dulu dia menikah hingga hamil kan enak, sekarang biar dirasakan sendiri jika merasakan sakit. Dia bukan siapa-siapa kami”. Semprot perempuan itu. Kembali aku tertegun, karena aku juga ingat, dia juga kulihat sangat relegius, namun nampaknya nurani atay hatinya tidak serelegius penampilannya. Miris. Benar bahwa perempuan yang sedang menahan perih itu bukan siapa-siapanya, namun kan sesama manusia dan ciptaan Tuhan Juga? Ya Tuhan.. Aku tertegun, kamar terakhir itupun nampaknya akan sama saja, tidak ada hasil.

Dingin malam mulai membuat raga tuaku menggigil. Namun nurani manusiaku berontak, bergerak mencari pertolongan untuk si ibu muda itu. Mungkinkah tempat makanan domba-dombaku bisa untuk persalinannya? Mendandak terbesit pemikiranku. Aku tidak mau memberikan ruang tamu itu demi menjada proses persalinan, dan mungkin lebih baik aku tata palungan tempat makan dombaku beserta ruangan dombaku untuk persalinan dan palungan untuk bayinya, kelak. Aku bergegas menuju ruang belakang, ruangan domba-dombaku berada. Aku tidak berbicara dengan ibu dan bapak itu, namun saat aku melintas di dekat mereka, kulirik lelaki itu mengelus tengkuk istrinya dan kudengar lirih perempuan itu tetap merintih. Kau sampai di kandang domba, meski sempat beberapa saat gaduh, namun aku tak peduli, kubersihkan semuanya. Dingin lenyap karena aku justru mengeluarkan keringat. Beberapa saat kemudian aku usai membersihkan kandang ini, menjadi tidak lagi baud an kotor . Kemudian aku kembali menuju ruangan di mana si ibu  yang hendak bersalin dan suaminya berada.

“Kisanak, semua kamar sudah penuh dan tidak ada yang mau berbagi. Sebelumnya maaf, saya tinggal punya sebuah ruangan, namun jujur saja itu sangat tidak layak untuk ki sanak berdua. Ruangan itu adalah kandang domba-domba kami, tetapi sudah saya bersihkan semampu saya. Kalau berkenan mari saya antarkan. Ini selimut dan sarung saya, ini alas juga saya bawa untuk ibu..” Ungkapku terbata karena menahan gejolak gundah gulana. Kulihat lelaki itu mengangguk, tersenyum dan dengan suara berat dan lembab, menjawab.

“Sungguh terimah kasih pak, sudah mau peduli dengan kami. Bagi kami yang penting ada tempat berteduh dan terhadang dari pandangan orang serta terhalang dari hempasan udara dingin ini. Kami mau di ruangan itu pak” Jawab lelaki itu sembari memapah istrinya yang semakin menahan rasa sakit. Aku berjalan di depan dan sesampai di ruangan itu, mereka masuk sembari berucap terimakasih yang tiada henti-hentinya. Setelah mereka masuk, bergegas aku menuju rumah simbah tetangga sebelah yang adalah dhukun beranak. Beberapa saat kemudian simbah kuantar ke kandang domba-dombaku yang sudah kusulap menjadi ruangan bersalin. Aku kemudian bergegas kembali ke tempatku semua, tiada kuat aku mendengar rintih sakit persalinan itu.

Udara semakin dingin, keringatku mulai sirna tertelan dinginnya malam. Suara burung hutan nyaring nun di sana, di sekitaran hutan.Seekor kelelawar hinggap di ujung ranting dan berhasil mengambil buah yang sudah masak. Aku melamun.

“Sedari kemarin tamu-tamuku datang. Mereka dari berbagai daerah perantauan. Mereka orang-orang berada, juga nampak sangat relegius. Pakaiannya, ucapannya, aksesorisnya, sungguh sangat agamis. Namun ketika ada sesama yang membutuhkan, bahkan sangat membutuhkan dengan nyawa sebagai taruhannya, mereka menutup pintu hidup mereka. Mereka merasa bukan urusannya, buka kerabatnya, bukan sesuatu yang mesti dipikirkannya. Sungguh ironis! Dan aku juga hanya mampu memberikan kandang domba-dombaku untuk perempuan itu, juga aku terima biaya kamar ini seperti kamar-kamar yang lain. Ya Tuhan, betapa bejatnya aku ini. Sebenernya aku bisa mengubah kamar tamu itu menjadi kamar yang cocok untuk persalinan, namun aku tidak iklas,aku tidak mau di kemudian hari akan dikomplain para pelanggan penginapanku.” Batinku semakin bergumul.

Dari ajaran kitab suci, aku tahu apa itu berbuat baik. Juga dari kitab suciku, aku paham hokum agama, namun aku masih  berat untuk melakukannya. Aku melamun dan lamunanku pecah ketika terdengar tangisan bayi menggelegar memecah sunyi dan dingginya malam. Aku ikut senang dengan tangisan bayi itu, namun rasa Maluku menjadikan aku enggan mendekat ke kandang domba itu, Aku malu, sangat malu.

Tetiba ada suara masuk ke dalam  getaran telingaku.Sangat jelas, namun aku tidak tahu suara siapa gerangan itu. “Bayi yang baru saja lahir di kandang dombamu itulah yang akan menyelamatkanmu dari hukuman dosa!” Sangat jelas dan kemudian aku terjaga. Suara tangisan bayi itu makin nyaring dan sebuah pintu kamar terbuka.

“Penginapanmu juga rumah bersalin ya? Berisik tahu! Mengganggu tidurku dan istriku!” Suara seorang lalaki yang juga selalu berpenampilan agamis. Aku diam, tak merespon ujaran lelaki itu, kamudian dia menutup pintu kamarnya. Kembali senyap. Masih kudengar tangisan bayi, dan di gendang telingaku terasa seperti nyanyian sugawi. Aku kembali terdiam, belum sampai ke ruangan yang aslinya kandang domba itu. Aku kembali termenung dan tiba-tiba suara itu datang kembali.

“Terimalah dia jauh lebih baik di kemudian hari. Jangan hanya memandang kehinaan, karena dalam kehinaanlah aku hadir.Aku tidak hadir dalam kemewaha, tidak hadir dalam gebyar nan gembira. Aku hadir dalam kesederhanaan. Jangan gelisah, upayamu membersihkan kandang itu adalah hidupmu sendiri, yang berniat membersihkan sudut kecil ruangan hatimu untuk menerimaKU” AKu tertegun. Ampuni aku Tuhan.

Dalam permenunganku kemudian berharap, agar kelak di kemudian hari, mereka yang percaya akan Bayi itu tidak melupakanNya. Jangan sampai peringatan akan lahirNya tenggelam oleh samudera ambisi pribadi yang terkadang menjadi lupa mengampuni. Aku ke dapur, aku hendak merebus air, semoga bisa berguna untuk ibu dan bayi yang baru terlahir itu.

 

Tuntang, Ujung Desember 2021

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH