Udara terasa dingin semenjak sore, gerimis semenjak
pagi. Tidak deras, karena gerimis, namun karena
lamanya maka situasi menjadi terasa lebih dingin dari biasanya. Lampu
kamar tengah menyala terang, di kamar-kamar semua rumah juga sudah menyala.
Puji Syukur, semua kamar penginapanku penuh, dan itu menjadikanku lebih
berbahagia. Kebijakan Kaisar untuk
mengadakan sensus adalah anugerah bagi kami, para pengusaha rumah penginapan.
Tiga belas kamar penuh dengan tamu, dan itu menjadikanku tersenyum lebih leluasa,
itu juga yang kulihat di raut istri dan anak-anakku. Ada harapan yang mulai
merekah, ada senyum yang mengembang.
Tidak ada satupun penghuni kamar penginapanku
kukenal, meskipun leluhur mereka berasal dari kampung kecil ini, namun mereka
semua ramah-ramah. Nampaknya mereka kaum beragama, itu kesimpulanku dari yang
kulihat dan kurasakan. Kulihat bahasa-bahasa mereka kukenal bahasa relegius,
dan itu menjadikan aku sebagai pemilik penginapan ini jauh lebih tenag, karena
, pikirku, orang relegius pastilah baik hati. Sempat ada yang mengajakku
bercakap, Tanya beberapa hal dan kujawab semampuku, semua berjalan dengan
ramah. Aku merasa menemukan saudara-saudara sesama manusia yang baru.
Malam semakin beringsut, bergerak dengan pasti dalam
ketenangannya. Udara dingin semakin terasa menyusup ke raga, bahkan terasa
sampai ke tulang-tulang di dalam tubuh yang menjelang renta ini. Tidak kutahu
waktu saat itu, namun nampaknya sudah jauh mendekati puncak malam. Kuhabiskan
cerutu warisan leluhurku, juga kutuang sisa-sisa anggur dari hasil panen
kebunku sendiri. Kuminum demi membantuku mengatasi dinginnya malam. Saat aku
bergerak hendak menutup gerbang penginapanku, karena kurasa malam semakin larut
dan juga karena kamar penginapanku sudah penuh, dari jauh kulihat bayangan
mendekat.
Aku tidak tahu siapa yang berjalan itu, dan bisa
kubayangkan betapa berat meniti malam dalam dingin seperti ini. Aku yakin, dia
pendatang yang juga hendak mengadakan sensus. Akupun juga yakin, jika desa ini
tujuan mereka, pastilah ada garis kerabat di desa ini. Aku memutuskan menunggu
mereka mendekat, siapa tahu mereka membutuhkan bantuanku. Suara kaki keledai
letih merintih pile dalam pelukan dinginnya malam. Semakin mendekat, semakin
deat hingga aku mulai bisa mengidentifikasi mereka, secara jumlah. Ada dua
orang, dan satu bayangan lain, yaitu keledai mereka. Temaram lampu minyak yang
ada di pinggir jalan membuat aku mampu melihat
secara lebih jelas, siapa mereka. Dua orang, laki-laki muda dan seorang
perempuan. Dan saat semakin mendekat,
kutahu yang perempuan sedang mengandung.
Ya Tuhan, betapa berat perjalanan mereka.
“Selamat malam Pak, apakah di penginapan bapak masih
tersisa kamar? Saya sudah terlalu letih Pak, semua penginapan penuh dan sudah
tutup. Ini istri saya yang sedang hamil tua, nampaknya sudah waktunya
melahirkan” Suara laki-laki yang datang mendekat. Aku terkesiap, nampak wajah
mereka ppucat, seperti menahan lehitu yang tiada terkira. Bahkan, keledainyapun
kulihat sangat kelelahan. Beberapa detik kemudian, aku tersadar dan menjawab.
“Mari masuk dulu kisanak, soal kamar nanti bisa kita
bicarakan” Jawabku polos, demi ikut merasakan derita mereka. Lalu aku mengajak
mereka masuk, setelah terlebih dahulu menunggu si laki-laki menambatkan
keledainya di tempat penambatan yang juga sudah penuh. Lalu setelah laki-laki
itu usai menambatkan keledainya, kembali ke depan dan bersamaku masuk ke
ruangan depan, yang terbiasa untuk proses administrasi. Kulihat perempuan muda
yang sedang hamil tua itu diam, seolah menahan rasa sakit karena hendak
melahirkan. Aku bisa ikut merasakan rasa itu. Rintih yang tertahan dan juga
tangan kanan yang menutup mulut, tidak bisa menyembunyikan getir rasa di
perempuan itu.
“Maaf pak, sudah semua penginapan di desa ini saya
datangi, namun semuanya penuh. Hanya bapak yang mau menerima kami masuk” Ungkap
Lelaki itu sembari mengatur nafasnya yang terengah, menandakan letih tak
terkira. Aku tertegun namun maklum dengan keadaan yang terjadi. Perintah Kaisar
memang wajib dipatuhi dan itu menjadikan semua orang berbondong mendaftarkan
diri untuk sensus ini. Penginapankupun sangat penuh, aku sendiri hanya berjaga
di ruangan ini, sehingga tidak mungkin jika ada proses persalinan.
“Sebenere sama Pak, penginapan saya juga penuh.
Tetapi akan saya akan coba menaya yang sedang menginap di masing-masing kamar”
Jawabku akan mencoba bertanya kepada para penyewa kamar yang sudah masuk ke
kamar, karena memang letih dan hak mereka untuk menempati kamarnya, karena
mereka sudah membayar sesuai harga yang aku patok. Kemudian aku mencoba
mendekati kamar satu persatu, akan kucoba menanyai mereka, semoga ada yang mengiklaskan kamarnya ditempati ibu muda yang
semakin menahan sakit itu.
“Selamat malam, bolehkan saya bicara barang beberapa
saat?” Sambil kuketok pintu sebuah kamar. Aku menungga bebrapa saat, namun
tidak dibukakan, mungkin sudah terlelap. Aku bergerak ke kamar yang lain, dan
seperti kamar sebelumnya, aku mengetok pintu dan menanyai. Namun sampai pintu
kamar ke empat, semua diam, tidak ada yang merespon. Dan aku maklum, mereka
semua letih dan punya hak menolak pintaku. Aku menlanjutkan ke kamar
berikutnya, dan setelah aku ketok, pintu dibuka. Nampak lelaki yang menghuni
kamar itu menampilkan wajah agak marah.
“Ada apa mengganggu istirahat kami? Apakah ada
kekurangan bayarannya ?” Sengol penghuni kamar itu membuka percakapan. Aku agak
rishi, berat untuk bernegosiasi dengan orang yang seperti ini, namun tetap aku
memberanikan diri.
“Maaf kisanak, ini ada keluarga, seorang bapak dan
istrinya yang sedang hamil tua dan hendak melahirkan. Penginapan saya sudah
penuh semua bolehkan saya meminta ses…” Belum sempat aku merampungkan
kalimatku, laki-laki itu menutup pintunya sembari menajwab kaku.
“Aku tidak ada urusan dengan siapapun. Kalau mau melahirkan dan kehabisan
kamr, silakan resiko ditanggung sendiri!” Jawab penghuni kamar itu. Aku
tertegun, setahuku orang tampilannya sangat agamis,sangat relegius, namun
sikapnya itu…Akhh. Aku mencoba ke kamar-kamar yang lain, sembari terus berharap
ada yang mau dan iklas berbagi dengan ibu yang melahirkan itu. Namun sampai
kamar ke delapan semua sia-sia. Jangankan dibukakan, dijawab saja tidak. Aku
semakin cemas, kudengar lirih rintih perih perempuan itu. Dalam letih karena
perjalanan panjangnya, dia menawah rasak sakit kodrati seorang perempuan dan
dalam situasi seperti ini, tidak ada ora yang mau memberikan hatinya, termasuk
akukah? Akhirnya aku sampai di kamar paling ujung, dua kamar sebelum kamar
terakhir, karena kamar terakhir ada di lokasi berbeda dengan ramah utama,
lokasinya dekat kandang ternakku.
“Selamat malam, maaf mengganggu. Bolehkah saya
bicara sesaat saja?” Tanyaku sopan sembari mengetok pintu, karena kudengar masih
ada suara-suara dari kamar itu. Diam, kemudian kudengar suara membuka kancing
pintu, dan seorang perempuan yang muncul, wajahnya ketus dan lalu berbicara.
“Saudara itu kurang kerjan ya? Ini kamar sudah aku
pesan, aku bayar lunas. Ada apa masih mengganggu di saat malam seperti ini?”
Tanyanya sangat ketus.
“Maaf ibu, kalau berkenan, bisakah menitipkan
seorang ibu yang sudah mendekati saat persalinan?Dia baru saja datang dan
nampak sangat kelehahan. Hampir semua kamar sudah saya ketok namun tidak ada
yang berkenan. Semoga ibu berkenan..”Jawabku ramah, mencoba mengusik nurani
perempuan itu.
“Enak sajak. Ini saya capek, saya juga sudah membayar
lunas dan kami tidak kenal dengan orang yang bapak maksut. Ngapain merepotkan
diri. Dulu dia menikah hingga hamil kan enak, sekarang biar dirasakan sendiri
jika merasakan sakit. Dia bukan siapa-siapa kami”. Semprot perempuan itu.
Kembali aku tertegun, karena aku juga ingat, dia juga kulihat sangat relegius,
namun nampaknya nurani atay hatinya tidak serelegius penampilannya. Miris.
Benar bahwa perempuan yang sedang menahan perih itu bukan siapa-siapanya, namun
kan sesama manusia dan ciptaan Tuhan Juga? Ya Tuhan.. Aku tertegun, kamar
terakhir itupun nampaknya akan sama saja, tidak ada hasil.
Dingin malam mulai membuat raga tuaku menggigil.
Namun nurani manusiaku berontak, bergerak mencari pertolongan untuk si ibu muda
itu. Mungkinkah tempat makanan domba-dombaku bisa untuk persalinannya? Mendandak
terbesit pemikiranku. Aku tidak mau memberikan ruang tamu itu demi menjada
proses persalinan, dan mungkin lebih baik aku tata palungan tempat makan
dombaku beserta ruangan dombaku untuk persalinan dan palungan untuk bayinya,
kelak. Aku bergegas menuju ruang belakang, ruangan domba-dombaku berada. Aku
tidak berbicara dengan ibu dan bapak itu, namun saat aku melintas di dekat
mereka, kulirik lelaki itu mengelus tengkuk istrinya dan kudengar lirih
perempuan itu tetap merintih. Kau sampai di kandang domba, meski sempat
beberapa saat gaduh, namun aku tak peduli, kubersihkan semuanya. Dingin lenyap
karena aku justru mengeluarkan keringat. Beberapa saat kemudian aku usai
membersihkan kandang ini, menjadi tidak lagi baud an kotor . Kemudian aku
kembali menuju ruangan di mana si ibu
yang hendak bersalin dan suaminya berada.
“Kisanak, semua kamar sudah penuh dan tidak ada yang
mau berbagi. Sebelumnya maaf, saya tinggal punya sebuah ruangan, namun jujur
saja itu sangat tidak layak untuk ki sanak berdua. Ruangan itu adalah kandang
domba-domba kami, tetapi sudah saya bersihkan semampu saya. Kalau berkenan mari
saya antarkan. Ini selimut dan sarung saya, ini alas juga saya bawa untuk ibu..”
Ungkapku terbata karena menahan gejolak gundah gulana. Kulihat lelaki itu
mengangguk, tersenyum dan dengan suara berat dan lembab, menjawab.
“Sungguh terimah kasih pak, sudah mau peduli dengan
kami. Bagi kami yang penting ada tempat berteduh dan terhadang dari pandangan
orang serta terhalang dari hempasan udara dingin ini. Kami mau di ruangan itu
pak” Jawab lelaki itu sembari memapah istrinya yang semakin menahan rasa sakit.
Aku berjalan di depan dan sesampai di ruangan itu, mereka masuk sembari berucap
terimakasih yang tiada henti-hentinya. Setelah mereka masuk, bergegas aku
menuju rumah simbah tetangga sebelah yang adalah dhukun beranak. Beberapa saat
kemudian simbah kuantar ke kandang domba-dombaku yang sudah kusulap menjadi
ruangan bersalin. Aku kemudian bergegas kembali ke tempatku semua, tiada kuat
aku mendengar rintih sakit persalinan itu.
Udara semakin dingin, keringatku mulai sirna
tertelan dinginnya malam. Suara burung hutan nyaring nun di sana, di sekitaran
hutan.Seekor kelelawar hinggap di ujung ranting dan berhasil mengambil buah
yang sudah masak. Aku melamun.
“Sedari kemarin tamu-tamuku datang. Mereka dari
berbagai daerah perantauan. Mereka orang-orang berada, juga nampak sangat
relegius. Pakaiannya, ucapannya, aksesorisnya, sungguh sangat agamis. Namun
ketika ada sesama yang membutuhkan, bahkan sangat membutuhkan dengan nyawa
sebagai taruhannya, mereka menutup pintu hidup mereka. Mereka merasa bukan
urusannya, buka kerabatnya, bukan sesuatu yang mesti dipikirkannya. Sungguh
ironis! Dan aku juga hanya mampu memberikan kandang domba-dombaku untuk
perempuan itu, juga aku terima biaya kamar ini seperti kamar-kamar yang lain.
Ya Tuhan, betapa bejatnya aku ini. Sebenernya aku bisa mengubah kamar tamu itu
menjadi kamar yang cocok untuk persalinan, namun aku tidak iklas,aku tidak mau
di kemudian hari akan dikomplain para pelanggan penginapanku.” Batinku semakin
bergumul.
Dari ajaran kitab suci, aku tahu apa itu berbuat
baik. Juga dari kitab suciku, aku paham hokum agama, namun aku masih berat untuk melakukannya. Aku melamun dan
lamunanku pecah ketika terdengar tangisan bayi menggelegar memecah sunyi dan
dingginya malam. Aku ikut senang dengan tangisan bayi itu, namun rasa Maluku menjadikan
aku enggan mendekat ke kandang domba itu, Aku malu, sangat malu.
Tetiba ada suara masuk ke dalam getaran telingaku.Sangat jelas, namun aku
tidak tahu suara siapa gerangan itu. “Bayi yang baru saja lahir di kandang
dombamu itulah yang akan menyelamatkanmu dari hukuman dosa!” Sangat jelas dan
kemudian aku terjaga. Suara tangisan bayi itu makin nyaring dan sebuah pintu
kamar terbuka.
“Penginapanmu juga rumah bersalin ya? Berisik tahu!
Mengganggu tidurku dan istriku!” Suara seorang lalaki yang juga selalu
berpenampilan agamis. Aku diam, tak merespon ujaran lelaki itu, kamudian dia
menutup pintu kamarnya. Kembali senyap. Masih kudengar tangisan bayi, dan di
gendang telingaku terasa seperti nyanyian sugawi. Aku kembali terdiam, belum
sampai ke ruangan yang aslinya kandang domba itu. Aku kembali termenung dan
tiba-tiba suara itu datang kembali.
“Terimalah dia jauh lebih baik di kemudian hari.
Jangan hanya memandang kehinaan, karena dalam kehinaanlah aku hadir.Aku tidak
hadir dalam kemewaha, tidak hadir dalam gebyar nan gembira. Aku hadir dalam
kesederhanaan. Jangan gelisah, upayamu membersihkan kandang itu adalah hidupmu
sendiri, yang berniat membersihkan sudut kecil ruangan hatimu untuk menerimaKU”
AKu tertegun. Ampuni aku Tuhan.
Dalam permenunganku kemudian berharap, agar kelak di
kemudian hari, mereka yang percaya akan Bayi itu tidak melupakanNya. Jangan
sampai peringatan akan lahirNya tenggelam oleh samudera ambisi pribadi yang
terkadang menjadi lupa mengampuni. Aku ke dapur, aku hendak merebus air, semoga
bisa berguna untuk ibu dan bayi yang baru terlahir itu.
Tuntang, Ujung Desember 2021