DAUN KERING
Sore ini cuaca menyejukkan. Hujan
tak turun namun panas juga tidak menyerang dengan ganasnya. Awan putih nampak
asyik bermain di angkasa, menutupi sinar matahari untuk bumi yang kami
tinggali. Anak-anak memanfaatkannya untuk bermain bersama. Riang gembira penuh
sukacita,tak nampak ada rona kecewa dan gelisah. Sungguh bahagia sederhana,
romansa purbakala.
Semilir angin lembut menambah
erotis suasana. Di sekitaran sawah,capung-capung berkejaran dengan
sederhana,bermain di sekitar genangan air sawah yang membentang siap ditanami
padi. Burung kuntul bersenda-gurau di atas permukaan sawah, mengejar anak-anak
katak. Sesaat kemudian terbelalak melonjak terbang saat anjing pak tani muncul
sekejap di hadapan mereka. Bersama tiga buah hatiku, berjalan menyisir jalanan
kecil pinggiran sawah. Ingin masuk ke pematang namun takut gadis kecilku
terpeleset.
Sampai di ujung sawah, kami mendekati rimbunan pohon-pohon cengkih. Kokoh batangnya dan hijau daun-daunnya.
Nampak diantara rerimbunan daun-daunnya, sarang burung pipit dan burung gereja
bersepakat saling bertetanggaan dengan saling menghormat. Persahabatan yang
polos dalam keberbedaan bentuk mereka.
“Persahabatan yang sejati
adalah persahabatan dalam keberbedaan. Jika persahabatan hanya berdasarkan
persamaan, sama sajadengan memelihara kemunafikan”
Diantara daun-daun pohon
cengkeh itu,ternyata tidak semuanya hijau. Ada yang semburat kekuning-kuningan.
Ada yang kemerah-merahan. Dan hijau yang sempurna itu berada di tengah-tengah ranting, yang
kekuning-kuningan itu hampir luruh, yang kemerah-merahan itu berada di ujung
ranting, baru akan berkarya. Merekapun rukun dan tidak saling berebut siapa yang
penting dan paling bermakna. Mereka rukun, bahkan lebih rukun dari manusia yang
sering berteriak rukun dan damai. Mereka saling percaya meski sangat saling
berbeda.
“Kehadiran, seberapapun
bentuknya pasti akan memberi makna untuk kehidupan”
Semilir angin tiba-tiba
berkembang, menjadi tiupan angin. Agak kencang, meski bukan badai,bukan Taufan. Gemerisik
daun kelapa kering dan daun pisang gering menanda, betapa tiupan angin
berkembang lebih kuat. Kami tetap berjalan,meski terkadang berhenti untuk
menikmati keadaan. Dan kemudian kami melihat daun-daun cengkeh
terjatuh,berwarna kekuning-kuningan. Melambai mengikuti berat tubuhnya dan taat
kepada tiupan angin. Menikmati nuansa lain dalam terbang sekali dalam usia
mereka, dan terakhir pula.
Kunjungi Ini : http://ppsetyasemesta.blogspot.co.id/2015/04/mencari-kesadaran-melalui-perubahan.html
Daun kuning hampir kering itu mendarat di bawah, pada tanah yang masih agak basah. Dia terpisah dari
karib hidup sepanjang usianya,berpisah untuk selamanya. Namun bukan perpisahan
yang tragis, mereka saling menghargai satu dengan yang lain. Si daun
kekuning-kuningan akan berganti fungsi,akan melebur bersama tanah dan memberi
warna kehidupan lain untuk sesama mereka.
“Perpisahan, seperti halnya
perjumpaan, adalah sebuah kemestian. Tidak penting kapan dan seperti apa model
perpisahan itu, yang paling penting adalah sejauh mana perpisahan itu saling
mampu memberi kehidupan baru”
Daun Kekuning-kuningan itu
akhirnya berpisah dari kaumnya di sebatang ranting dan kelompoknya pada Pohon
itu. Tidak dibuatkan seremoni heboh, karena mereka masing-masing sangat
memahami siklus kehidupan yang sejati.
Senja semakin merayap dalam
kemestiannya. Sebentar lagi Jubah Malam
yang gelap akan menyelimuti alam kami. Dan kami segera berbalik, menuju rumah
tinggal kami. Sore ini, alam semesta ini telah mengjari kami makna kehidupan
yang sejati. Ingat sahabat, alam ini adalah bangku kuliah di fakultas kehidupan
yang sebenarnya.
Baca Juga...:http://ppsetyasemesta.blogspot.co.id/2015/04/petiklah-pelajaran-spiritualitas-hujan.html
Mari kita belajar darinya..
Baca Juga...:http://ppsetyasemesta.blogspot.co.id/2015/04/petiklah-pelajaran-spiritualitas-hujan.html
Mari kita belajar darinya..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar