Selasa, 01 Maret 2016

Memaknai Siklus Kehidupan

DAUN KERING

Sore ini cuaca menyejukkan. Hujan tak turun namun panas juga tidak menyerang dengan ganasnya. Awan putih nampak asyik bermain di angkasa, menutupi sinar matahari untuk bumi yang kami tinggali. Anak-anak memanfaatkannya untuk bermain bersama. Riang gembira penuh sukacita,tak nampak ada rona kecewa dan gelisah. Sungguh bahagia sederhana, romansa purbakala.

Semilir angin lembut menambah erotis suasana. Di sekitaran sawah,capung-capung berkejaran dengan sederhana,bermain di sekitar genangan air sawah yang membentang siap ditanami padi. Burung kuntul bersenda-gurau di atas permukaan sawah, mengejar anak-anak katak. Sesaat kemudian terbelalak melonjak terbang saat anjing pak tani muncul sekejap di hadapan mereka. Bersama tiga buah hatiku, berjalan menyisir jalanan kecil pinggiran sawah. Ingin masuk ke pematang namun takut gadis kecilku terpeleset.


Sampai di ujung sawah, kami mendekati rimbunan pohon-pohon cengkih. Kokoh batangnya dan hijau daun-daunnya. Nampak diantara rerimbunan daun-daunnya, sarang burung pipit dan burung gereja bersepakat saling bertetanggaan dengan saling menghormat. Persahabatan yang polos dalam keberbedaan bentuk mereka.

“Persahabatan yang sejati adalah persahabatan dalam keberbedaan. Jika persahabatan hanya berdasarkan persamaan, sama sajadengan memelihara kemunafikan”

Diantara daun-daun pohon cengkeh itu,ternyata tidak semuanya hijau. Ada yang semburat kekuning-kuningan. Ada yang kemerah-merahan. Dan hijau yang sempurna itu  berada di tengah-tengah ranting, yang kekuning-kuningan itu hampir luruh, yang kemerah-merahan itu berada di ujung ranting, baru akan berkarya. Merekapun rukun dan tidak saling berebut siapa yang penting dan paling bermakna. Mereka rukun, bahkan lebih rukun dari manusia yang sering berteriak rukun dan damai. Mereka saling percaya meski sangat saling berbeda.

“Kehadiran, seberapapun bentuknya pasti akan memberi makna untuk kehidupan”

Semilir angin tiba-tiba berkembang, menjadi tiupan angin. Agak kencang, meski bukan badai,bukan Taufan. Gemerisik daun kelapa kering dan daun pisang gering menanda, betapa tiupan angin berkembang lebih kuat. Kami tetap berjalan,meski terkadang berhenti untuk menikmati keadaan. Dan kemudian kami melihat daun-daun cengkeh terjatuh,berwarna kekuning-kuningan. Melambai mengikuti berat tubuhnya dan taat kepada tiupan angin. Menikmati nuansa lain dalam terbang sekali dalam usia mereka, dan terakhir pula.

Daun kuning hampir kering itu mendarat di bawah, pada tanah yang masih agak basah. Dia terpisah dari karib hidup sepanjang usianya,berpisah untuk selamanya. Namun bukan perpisahan yang tragis, mereka saling menghargai satu dengan yang lain. Si daun kekuning-kuningan akan berganti fungsi,akan melebur bersama tanah dan memberi warna kehidupan lain untuk sesama mereka.

“Perpisahan, seperti halnya perjumpaan, adalah sebuah kemestian. Tidak penting kapan dan seperti apa model perpisahan itu, yang paling penting adalah sejauh mana perpisahan itu saling mampu memberi kehidupan baru”

Daun Kekuning-kuningan itu akhirnya berpisah dari kaumnya di sebatang ranting dan kelompoknya pada Pohon itu. Tidak dibuatkan seremoni heboh, karena mereka masing-masing sangat memahami siklus kehidupan yang sejati.

Senja semakin merayap dalam kemestiannya. Sebentar lagi  Jubah Malam yang gelap akan menyelimuti alam kami. Dan kami segera berbalik, menuju rumah tinggal kami. Sore ini, alam semesta ini telah mengjari kami makna kehidupan yang sejati. Ingat sahabat, alam ini adalah bangku kuliah di fakultas kehidupan yang sebenarnya. 

Baca Juga...:http://ppsetyasemesta.blogspot.co.id/2015/04/petiklah-pelajaran-spiritualitas-hujan.html

Mari kita belajar darinya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH