Minggu, 20 Maret 2016

Kisah Di Perbatasan Kota

Catatan Hati Seorang Ibu

Sejatinya aku berniat menjemputnya diujung kota, jauh sebelum gerbang itu. Berita tentang kedatangan anakku sudah aku ketahui meski anakku takberkabar sedikitpun tentang rencananya kembali ke kota ini. Akupun hendak ke kota ini hendak beribadah sesuai dengan kebiasaan dan ketaatanku sebagai pemeluk Agama Yahudi yang taat.

Kulihat banyak orang menyambut kedatangan anakku. Aneka ornament dicoba dihias demi menyambut kedatangan anakku. Isu tentang keberadaannya sebagai Mesias ternyata telah kuat mencengkeram nurani bangsaku,dan olehnya mereka berharap Sang Mesias itu akan melepaskan belenggu penjajah Romawi yang sudah sangat lama menindas bangsa kami. Aku menyaksikan sendiri,betapa kaum bawah, kaum miskin papa, tiada berharta namun haus akan kebenaran nyatalah, masyarakat biasa yang relah berpanas-panas demi menjemput sebersit harapan kebebasan mereka.



Terik mentari kurasakan berbeda waktu itu. Panas dan menyengat. Masih juga belum ada tanda-tanda kedatangan anakku dan rombongan yang dikemudian hari banyak orang menyebutnya murid-muridnya,meski bagiku mereka adalah sahabat,rekan dan bahkan saudara dalam segala keadaan. 

Duabelas orang laki-laki seusianya, beberapa pernah berjumpa denganku saat ada pesta pernikahan di kota Kana,sekitar tiga tahun yang lalu. Setelah itu,sangat jarang kami saling berjumpa,mereka selalu berkeliling dari tempat yang satu ke tempat yang lain,untuk membagikan pemahaman iman yang dipahami anakku.
Lamunanku tiba-tiba pecah,saat seorang anak kecil berlai-lari dari ujung jalan sambil berteriak-teriak. Anak kecil itu telah meliat serombongan orang berjalan,dan yang paling depan adalah seseorang yang menendarai seekor keledai kecil. Segera orang banyak ceria,berdiri dan memegang  daun-daun palma yang mereka bawa. 

Beberapa berbisik,bahwa Sang Raja yang akan membebaskan mereka akan segera memasuki kota. Hatiku tertegun, bagaimana orang banyak ini nantinya bersikap saat melihat anakku hanya dengan keledai dan tidak dengan seekor kuda?Selama ini, anakku sendiri tidak pernah sekalipun bercerita tentang dirinya yang adalah raja, tidak pernah. Akupun hanya mendengar kasak-kusuk dari beberapa saudagar yang kebetulan pernah berjumpa denganku.

Orang banyak itu semakin antusias,dan saat rombongan anakku mendekat, pakaian merekapun dilepas dan kemudian dihamparkan bak permadani indah,seperti menyambut seorang Raja agung yang hendak mendekati wilayah mereka. Mereka berteriak,bersorak dan  menyanyi. Hosanna…hosanna…

Aku sendiri diam, diam dan hanya diam seribu bahasa. Perasaanku tidak menentu, antara gundah dan kuatir. Sepertinya sesuatu yang tidak baik akan segera menimpa anakku,namun aku tidak tahu itu. Penyambutan heboh itu,seolah gerbang derita yang hendak dinikmati anak sulungku itu. Sewaktu kulihat,anakku duduk dengan tenang dan dingin di atas keledai muda itu, aku hanya bisa menatap dari jauh. Gemuruh orang banyak menenggelamkan galau dan resahku. Hampir tidak bisa kulihat wajah anakku yang sulung itu. 
Namun, aku tahu,dia sudah menyadari aku ada. Dan sewaktu kuliha dia menatapku, mataku takuasa membendung air mata ini. Sekian waktu kami berpisah. Teringatku saat kecil,dalam keadaan sakit panas,hujan dan dingin,dia, anak sulungku itu menggigil dalam dekapanku. Teringat tangisnya sewaktu kami mengunsi ke Mesir. Dan mata itu, sungguh mata  yang merindu belaian seorang ibu. Namunterhalang banyaknya orang yang menyambutnya.
Dia semakin mendekat gerbang kota,dan orang banyak semakin riuh rendah menyambut. Ada segumpal harap yang terbaur diantara deru suara mereka,harap akan bebasnya belenggu penindasan ini. Mereka menumpukkan seluruh harap mereka kepada anak sulungku itu, yang sedang berkendara  keledai muda.
Tiba-tiba, ada tangan menyentuh pundakku, dari belakang..aku menoleh dan kaget….
Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH