Rabu, 02 Maret 2016

CALO TERMINAL DAN AGAMA


Sebagian besar dari yang membaca tulisan ini pastilah pernah mendengar istilah terminal, melihat terminal dan bahkan pernah masuk ke dalam terminal. Bahkan mungkin ada yang sering memasuki tempat yang bernama terminal itu. Sebuah tempat yang jauh dari sepi, sebuah tempat yang penuh hiruk pikuk kehidupan. Ada aneka  macam model kehidupan di sana, ada penjual,pembeli, penumpang, angkutan, yang sekedar nongkrong sampai pengemis. Dari orang manula sampai bayi kemarin sore. Pokoknya isi atau penghuni terminal tu sempurna, lengkap.

Sering terjadi pula agama menjadi seperi terminal. Di dalamnya ada riuh rendah tawaran-tawaran dari sang penghuninya. Bukan hanya penjual dan crew angkutan namun juga para calo. Mereka berteriak-teriak sekerasnya, menawarkan dan mencoba memberi bantuan. Berlaku seolah tahu dan paham akan sebuah tempat. Seolah akan “Pergi ke sana” namun  dalam prakteknya tidak. Berkata dan bertindak sangat meyakinkan. Bergaya sangat santun dan menyenangkan. Namun sering  kali menyimpan belati pembunuh yang kejam ia sembunyikan dibalik senyum yang khas itu. 

                                           Awasss!!!Sulit Tidurrr!!




Bisingnya deru suara kehidupan dan penghuni terminal itu sering mengacaukan dan membingungkan “Para Calon” dan bahkan para penumpang itu sendiri. Mereka semakin bingung dan terkadang pula ada yang tersesat. Ada yang kehilangan .
Agama  dalam segala keberagamannya sekarang ini sudah menjelma menjadi “KIOS-KIOS” dan “Terminal” kehidupan. Agama lupa akan tugas hakiki panggilannya.  Menjadi mitra kerja ALLAH dalam menghadirkan (Ingat menghadirkan lho ya bukan membawa karena banyak agama yang hadir untuk membawa si damai itu pergi menjauh.) damai sejahtera kehidupan ini. Agama terjebak pada rute (route)  jaman. Terhanyut oleh arus yang menderu. Agama menjadi ompong karena taring kasih itu sudah dijual untuk mengumpulkan para pembeli dan penumpang kehidupan ini. Karena perbuatan yang tercela itu maka tidaklah mengherankan apabila banyak manusia yang antipati terhadap agama seperti antipatinya masyarakat terhadap para calo di terminal.
Pada awal keberadaannya, calo dimungkinkan untuk menjadi “Pemandu” arah tujuan perjalanan. Dia legal, resmi dan memiliki posisi yang benar. Bersama dengan bergulirnya waktu, jaman dan peradaban bergulirlah,tumbuhlah agama dalam dekapan jaman, budaya, pergumulannya Namun seiring gerakan jaman beserta saudara kembarnya yang bernama peradaban, berubahlah hakekat fungsi dari pemandu itu, untuk kemudian memetamorfosis menjadi  CALO. Dalam beberapa hal, agama punya kemiripaN  dengan kisah di atas. Awalnya agama terbentuk dari perkawinan antara keringnya relegiusitas umat pada jamannya dan tepat pada waktu itu muncullah pembaharuan. Para nabi sebagai tokoh sentral  “Terlahirnya” agama. 
Awalnya agama dibutuhkan, dicari, dinanti. Mereka –umat manusia itu- mencari area/ruang untuk mengaktualisasikan hidup dan tanggung jawabnya. sendiri. Bentukan-bentukan yang kemudian dipandang berbeda, semua berkaitan dengan tempat berkembannya. Melompat jauh.  Dua abad setelah agama lahir. Di sini dan saat ini ‘hic an nuck’. Ternyata wajah agama sudah sedemikian berubah. Semakin tidak terkenali. 



Agama sudah menjadi anak jaman yang terbaur kehidupan. Identitas hilang, wajah pecah, hidup menggelandang dalam pusaran jaman. Salah satu gejala yang nyaring terdengar dan terlihat adalah agama  “Hanya Sebagai Calo” kehidupan i seberang sana. Selalu menawarkan dunia lain nun jauh di sana, sementara di sini dan saat ini, dengan selaksa pergumulan sengaja di singkirkan. Calo-calo kerajaan surga itu tidak pernah peduli akan calon dan si korban. Yang penting dia puas, beruntung dan menyenangkan. Yang penting ia puas. 
Bukankah agama (Baik sebagai institusi maupun komunitas) sudah nyaman pada “Tempat duduk” yang meninabobokan ini?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH