Sebagian besar dari yang membaca tulisan ini
pastilah pernah mendengar istilah terminal, melihat terminal dan bahkan pernah
masuk ke dalam terminal. Bahkan mungkin ada yang sering memasuki tempat yang
bernama terminal itu. Sebuah tempat yang jauh dari sepi, sebuah tempat yang
penuh hiruk pikuk kehidupan. Ada aneka
macam model kehidupan di sana, ada penjual,pembeli, penumpang, angkutan,
yang sekedar nongkrong sampai pengemis. Dari orang manula sampai bayi kemarin
sore. Pokoknya isi atau penghuni terminal tu sempurna, lengkap.
Sering terjadi pula agama menjadi seperi
terminal. Di dalamnya ada riuh rendah tawaran-tawaran dari sang penghuninya.
Bukan hanya penjual dan crew angkutan namun juga para calo. Mereka
berteriak-teriak sekerasnya, menawarkan dan mencoba memberi bantuan. Berlaku
seolah tahu dan paham akan sebuah tempat. Seolah akan “Pergi ke sana”
namun dalam prakteknya tidak. Berkata
dan bertindak sangat meyakinkan. Bergaya sangat santun dan menyenangkan. Namun
sering kali menyimpan belati pembunuh
yang kejam ia sembunyikan dibalik senyum yang khas itu.
Awasss!!!Sulit Tidurrr!!
Awasss!!!Sulit Tidurrr!!
Bisingnya deru suara
kehidupan dan penghuni terminal itu sering mengacaukan dan membingungkan “Para
Calon” dan bahkan para penumpang itu sendiri. Mereka semakin bingung dan
terkadang pula ada yang tersesat. Ada yang kehilangan .
Agama dalam segala keberagamannya sekarang ini sudah
menjelma menjadi “KIOS-KIOS” dan “Terminal” kehidupan. Agama lupa akan tugas
hakiki panggilannya. Menjadi mitra kerja
ALLAH dalam menghadirkan (Ingat menghadirkan lho ya bukan membawa karena banyak
agama yang hadir untuk membawa si damai itu pergi menjauh.) damai sejahtera
kehidupan ini. Agama terjebak pada rute (route)
jaman. Terhanyut oleh arus yang menderu. Agama menjadi ompong karena
taring kasih itu sudah dijual untuk mengumpulkan para pembeli dan penumpang
kehidupan ini. Karena perbuatan yang tercela itu maka tidaklah mengherankan
apabila banyak manusia yang antipati terhadap agama seperti antipatinya
masyarakat terhadap para calo di terminal.
Pada awal keberadaannya, calo dimungkinkan
untuk menjadi “Pemandu” arah tujuan perjalanan. Dia legal, resmi dan memiliki
posisi yang benar. Bersama dengan bergulirnya waktu, jaman dan peradaban
bergulirlah,tumbuhlah agama dalam dekapan jaman, budaya, pergumulannya Namun
seiring gerakan jaman beserta saudara kembarnya yang bernama peradaban,
berubahlah hakekat fungsi dari pemandu itu, untuk kemudian memetamorfosis
menjadi CALO. Dalam beberapa hal, agama
punya kemiripaN dengan kisah di atas. Awalnya agama terbentuk dari perkawinan
antara keringnya relegiusitas umat pada jamannya dan tepat pada waktu itu
muncullah pembaharuan. Para nabi sebagai tokoh sentral “Terlahirnya” agama.
Awalnya agama dibutuhkan,
dicari, dinanti. Mereka –umat manusia itu- mencari area/ruang untuk
mengaktualisasikan hidup dan tanggung jawabnya. sendiri. Bentukan-bentukan yang
kemudian dipandang berbeda, semua berkaitan dengan tempat berkembannya.
Melompat jauh. Dua abad setelah agama
lahir. Di sini dan saat ini ‘hic an nuck’. Ternyata wajah agama sudah
sedemikian berubah. Semakin tidak terkenali.
Agama sudah menjadi anak jaman
yang terbaur kehidupan. Identitas hilang, wajah pecah, hidup menggelandang
dalam pusaran jaman. Salah satu gejala yang nyaring terdengar dan terlihat
adalah agama “Hanya Sebagai Calo”
kehidupan i seberang sana. Selalu menawarkan dunia lain nun jauh di sana,
sementara di sini dan saat ini, dengan selaksa pergumulan sengaja di
singkirkan. Calo-calo kerajaan surga itu tidak pernah peduli akan calon dan si
korban. Yang penting dia puas, beruntung dan menyenangkan. Yang penting ia
puas.
Bukankah agama (Baik sebagai institusi maupun komunitas) sudah nyaman
pada “Tempat duduk” yang meninabobokan ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar