Bacaan Sabda minggu ini salah satunya terambil
dari bacaan yang populer dalam tradisi gereja. kisah atau narasi tentang anak
yang hilang. Saya tidak tahu mengapa laI memberi tema itu,namun saya yakin
mesti ada alasan dan juga tujuan. Karena menurut saya, bisa sja judulnya “Kedurhakaan
Anak Sulung” atau “Keterbukaan si Bapak”. Karena tema perikop bukan hukum
Illahi, maka silakan saja kalau diantara yang membaca tulisan ini ingin
menggantinya.
Tulisan ini berangkat dari pertanyaan seorang
warga jemaat seusai Tauziah pertama, jam 07.00. setelah usai, dalam acara jabat
tangan demi menjaga kekerabatan dan persaudaraan, seorang warga bertanya. “Pak,
tiga tokoh dalam narasi Kitab suci tadi mana yang paling bisa diteladani?”. Sontak
saya diam dan sambil melanjutkan berjabatan tangan dengan banyak warga yang lain
saya berpikir.
Si Anak Bungsu, memang bisa diteladani dari sikap
besar hatinya, yang mau bertobat dengan menyesal. Yang rela berserah untuk
tidak lagi diakui sebagai anak dan hanya meminta menjadi budak bapaknya. Namun,
apakah tindakan boros,menghamburkan uang, meminta jatah terlalu cepat dan pergi
seenaknya sendiri itu bisa diteladani?Apakah bisa meneladani tindakan si Bungsu
yang sadar setelah semuanya hancur luluh tiada bermakna?Beruntung Si Bungsu “Sampai
ke Rumah” bapaknya, kalau tidak?Waooow...
Dalam sebuah percakapan diskusi tentang narrasi
ini, seorang sahabat dengan setengah bercanda berujar. “Wah, enakan si bungsu,
setelah senang-senang dengan bagiannya, setelah habis dan hancur bisa bertobat
dan diterima”, Mungkin ada yang juga berpikir demikian?Silakan saja, tidak ada
yang melarang. Silakan bersenang-senang,berfoya-foya dan silakan akan seperti
si Bungsu, sadar belum terlambat. Jika terlambat, itu hak saudara, bukan urusan
saya lho ya..
Gaya dan mentalitas si Bungsu sulit diterapkan
secara utuh, meski aspek pertobatan sangat perlu diteladani. Kalau untuk si Sulung?
Nahh, ini dia simbol pekerja sejati,
tertib,taat,setia, pendiam
dan tidak neka-neka. Dia taat bekerja, rajin
berkarya,setia dengan orang tua. Namun, di dalam hatinya tersimpan Bisa dendam,
sakit hati, iri dan dengki,sakit hati dan egoisme yang sangat ganas dan
berbahaya. Dibalik ketekunannya, dibalik kesetiannya, dibalik ke-diam-annya,
ternyat menyimpan sejuta racun kehidupan yang mematikan. Marah, mutung,ngamuk
dan tidak bisa menerima kebaikan untuk yang lain. Mengapa saat adiknya mau
pergi dia diam saja?Mengapa saat adiknya mau menjual haknya dia diam saja,
mengapa saat tidak ada kabar dari adiknya di diam saja?Ternyata dia, si sulung
itu sudah tidak berkomunikasi baik dengan adiknya. Ketekunan,sikap diam dan
(maaf,) sok shaleh dan sok rohani, ternyata hanyalah sebuah tutup pembungkus. Isinya
adalah racun hidup yang mematikan.
Lah untuk si bapak?Bukankah dia berhati seluas
samudera yang sanggup menerima semuanya?Bukankah ia patut diteladani?Apa yang kurang dari si bapak?
Ada, bapak ini gagal membangun komunikasi,
membangun dialog dengan seluruh anggota keluarga. Ia hanya menuruti kemauan
anggota keluarganya. Mungkin si bapak ini bertipe, yang penting anaknya tidak
rewel. Namun toh ada banyak sisi positif
si bapak ini. Kelegaan hatinya memberi permohonan anaknya,keterbukaan menerima
kembali tanpa syarat anaknya yang telas menghamburkan uang. Kerelaannya untuk “Meninggalkan
Pesta” demi menjemput anak sulungnya,
adalah keteladanan. Teladan orang yang memiliki kebesaran hati yang sempurna. Meninggalkan
pesta berarti meninggalkan kesenangan diri demi “Menjemput” yang sedang terluka
dan bersedih. Itulah teladan si Bapak meski masih banyak salahnya.
Lalu, siapa yg akan diteladani?
Silakan ambil yang baik..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar