Minggu, 06 Maret 2016

JANGAN PILIH SATU,PILIHLAH SEMUA

Bacaan Sabda minggu ini salah satunya terambil dari bacaan yang populer dalam tradisi gereja. kisah atau narasi tentang anak yang hilang. Saya tidak tahu mengapa laI memberi tema itu,namun saya yakin mesti ada alasan dan juga tujuan. Karena menurut saya, bisa sja judulnya “Kedurhakaan Anak Sulung” atau “Keterbukaan si Bapak”. Karena tema perikop bukan hukum Illahi, maka silakan saja kalau diantara yang membaca tulisan ini ingin menggantinya.

Tulisan ini berangkat dari pertanyaan seorang warga jemaat seusai Tauziah pertama, jam 07.00. setelah usai, dalam acara jabat tangan demi menjaga kekerabatan dan persaudaraan, seorang warga bertanya. “Pak, tiga tokoh dalam narasi Kitab suci tadi mana yang paling bisa diteladani?”. Sontak saya diam dan sambil melanjutkan berjabatan tangan dengan banyak warga yang lain saya berpikir.

Si Anak Bungsu, memang bisa diteladani dari sikap besar hatinya, yang mau bertobat dengan menyesal. Yang rela berserah untuk tidak lagi diakui sebagai anak dan hanya meminta menjadi budak bapaknya. Namun, apakah tindakan boros,menghamburkan uang, meminta jatah terlalu cepat dan pergi seenaknya sendiri itu bisa diteladani?Apakah bisa meneladani tindakan si Bungsu yang sadar setelah semuanya hancur luluh tiada bermakna?Beruntung Si Bungsu “Sampai ke Rumah” bapaknya, kalau tidak?Waooow...

Dalam sebuah percakapan diskusi tentang narrasi ini, seorang sahabat dengan setengah bercanda berujar. “Wah, enakan si bungsu, setelah senang-senang dengan bagiannya, setelah habis dan hancur bisa bertobat dan diterima”, Mungkin ada yang juga berpikir demikian?Silakan saja, tidak ada yang melarang. Silakan bersenang-senang,berfoya-foya dan silakan akan seperti si Bungsu, sadar belum terlambat. Jika terlambat, itu hak saudara, bukan urusan saya lho ya..
Gaya dan mentalitas si Bungsu sulit diterapkan secara utuh, meski aspek pertobatan sangat perlu diteladani. Kalau untuk si Sulung?

Nahh, ini dia simbol pekerja sejati, tertib,taat,setia, pendiam 
dan tidak neka-neka. Dia taat bekerja, rajin berkarya,setia dengan orang tua. Namun, di dalam hatinya tersimpan Bisa dendam, sakit hati, iri dan dengki,sakit hati dan egoisme yang sangat ganas dan berbahaya. Dibalik ketekunannya, dibalik kesetiannya, dibalik ke-diam-annya, ternyat menyimpan sejuta racun kehidupan yang mematikan. Marah, mutung,ngamuk dan tidak bisa menerima kebaikan untuk yang lain. Mengapa saat adiknya mau pergi dia diam saja?Mengapa saat adiknya mau menjual haknya dia diam saja, mengapa saat tidak ada kabar dari adiknya di diam saja?Ternyata dia, si sulung itu sudah tidak berkomunikasi baik dengan adiknya. Ketekunan,sikap diam dan (maaf,) sok shaleh dan sok rohani, ternyata hanyalah sebuah tutup pembungkus. Isinya adalah racun hidup yang mematikan.

Lah untuk si bapak?Bukankah dia berhati seluas samudera yang sanggup menerima semuanya?Bukankah ia patut diteladani?Apa yang  kurang dari si bapak?

Ada, bapak ini gagal membangun komunikasi, membangun dialog dengan seluruh anggota keluarga. Ia hanya menuruti kemauan anggota keluarganya. Mungkin si bapak ini bertipe, yang penting anaknya tidak rewel.  Namun toh ada banyak sisi positif si bapak ini. Kelegaan hatinya memberi permohonan anaknya,keterbukaan menerima kembali tanpa syarat anaknya yang telas menghamburkan uang. Kerelaannya untuk “Meninggalkan  Pesta” demi menjemput anak sulungnya, adalah keteladanan. Teladan orang yang memiliki kebesaran hati yang sempurna. Meninggalkan pesta berarti meninggalkan kesenangan diri demi “Menjemput” yang sedang terluka dan bersedih. Itulah teladan si Bapak meski masih banyak salahnya.

Lalu, siapa yg akan diteladani?

Silakan ambil yang baik..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH