Sabtu, 26 Maret 2016

Colors


Kemarin waktu makan siang bersama klien di Pizza Marzanno Cityloft Sudirman, saya tertarik sekali dengan sekelompok eksekutif muda yang asyik berbagi cerita, dan jokes. Begitu relaks dan ceria. Mereka memesan beberapa pan pizza, dan makan bersama-sama. Menariknya, bukan karena mereka mengisi sudut restoran dengan keramaian yang mereka ciptakan. Tapi lebih karena saya melihat mereka begitu berwarna.
Berdelapan orang, tidak hanya berwajah asli Indonesia, ada yang berwajah oriental, ada yang kental dengan garis mediterania nya dan ada yang kentara sekali blasteran / Indo. Aku menebak-nebak, tentu mereka tidak sekantor, karena aku melihat tag yang disematkan pada pakaian kerja mereka, beraneka warna. Menarik dan harmonis.
Sebenarnya topic ini, tersimpan cukup lama di agenda saya. Sudah lama saya ingin sekali menuliskan tentang PLURALISME. Hal yang sangat sensitif untuk dibahas akhir-akhir ini. Dan ketika saya mengamati mereka, saya seperti mendapatkan inspirasi yang tepat untuk menuliskannya.
Saya sendiri, adalah perempuan keturunan Tionghoa, yang lahir dan besar di Sumatra Selatan. Dengan ayah yang datang dari keluarga Hokkian, mereka telah menetap di Palembang sejak beberapa generasi sebelum beliau lahir. Ibu saya, seorang peranakan, istilah yang umum disebut untuk mereka yang darahnya telah bercampur dengan darah lokal asli.
Dari kecil, saya tinggal di rumah ½ batu dan ½ kayu, di sebuah daerah yang kami sebut Hulu, dimana bagian belakang rumah kami memiliki tangga yang langsung bermuara pada aliran sungai musi. Rumah ½ kayu kami, bertetanggaan dengan penduduk-penduduk asli Palembang. Sementara rumah ½ batu kami, bertetanggaan dengan keluarga-keluarga peranakan lainnya. Sehari-harinya, nenek dan saudara nenek saya, memakai kebaya dan sarung yang mereka jahit sendiri. Demikianlah kaum peranakan sehari-hari berpakaian. Lain waktu, saya akan menuliskan kisah-kisah masa kecilku di rumah kayu tepi sungai musi itu.
Sejak saya kecil, saya memiliki banyak teman bermain. Dari anak pribumi, anak keturunan Tionghoa juga anak-anak seperti saya, setengah Tionghoa dan setengah pribumi. Waktu itu, kami tidak pernah memikirkan mengapa ada yang berkulit coklat, sawo matang, mengapa bermata sipit dan berkulit putih, yang bermata agak besar tapi kulitnya kuning. Kami hanya menikmati masa kecil dengan ceria, bermain bersama-sama, atau duduk sambil bernyanyi ketika sore tiba, setiap hari.
Menjelang remaja dan dewasa, saya baru menyadari artinya perbedaan. Saya baru mengerti, oh teman saya A, adalah orang pribumi, oh si B adalah orang Tionghoa, dan C adalah tengah-tengah diantaranya. Dan saya pun menjadi terbiasa dengan lingkungan yang terkelompok-kelompok. Teman-teman Tionghoa akan bermain dengan teman-teman dari Tionghoa juga, lalu teman-teman pribumi atau lokal asli, akan bermain dengan teman-teman yang pribumi juga. Lalu bagaimana nasib saya? Beruntung, saya yang tidak terlalu Tionghoa, dan tidak terlalu pribumi bisa masuk kemana-mana.
Di lingkungan sekolah, baik tingkat menengah dan kuliah, saya masih bisa bertahan dengan dua lingkungan tersebut. Sebentar terlibat......selengkapnya di...Nomor1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH