Jumat, 24 Januari 2020

PAGI HARI DAN ANAK-ANAK AYAM





Setiap orang pastilah pernah mengalami pagi hari, karena memang pagi adalah bagian tak terpisahkan dalam siklus alam semesta. Dan di pagi hari selalu ada banyak peristiwa yang terjadi, meskipun tidak semua mampu ditangkap dan juga tertangkap oleh manusia, termasuk yang membaca tulisan ini.
Manusia hanya mau menangkap sesuatu yang dekat dengan dirinya dan yang paling penting yang menguntungkan dirinya. Jika tidak dekat dengan dirinya dan -apalagi- tidak memberi keuntungan, hampir pasti manusia enggan menangkapnya, enggan memperhatikannya dan enggan “mendokumentasikannya” di dalam laju kehidupannya.
Setiap pagi, si segala sudut dunia, ada milyaran peristiwa dan manusia tidak bisa menangkap sepermilyar peristiwa itu. Pun demikian dengan peristiwa keseharian di sekitaran kita, tidak semua tertangkap dan tidak semua terperhatikan. Nah, salah satu peristiwa keseharian yang sering terabaikan dari fokus kehidupan kita adalah saat pagi hari memperhatikan “polah tingkah” aneka makluk hidup, yang salah satunya adalah keluarga ayam.
Seperti pagi ini, terbangun setelah “Jago Kluruk” kedua, sekitaran jam 03.50an , segera menjalani ritual pagi dan kemudian membaktikan diri dengan menulis, meski amat sangat sederhana. Usai semua “rutinitas’, seperti biasa, segera beranjak keluar rumah di mana saya tinggal. Sudah terang tanah, meski masih amat temaram. Mengayun langkah pagi, menyisir jalanan kampung yang masih masih oleh sisa hujan semalam, jalanan yang masih polos, karena belum banyak terinjak para pengguna.
Seperti biasa, seperti hari-hari yang sudah terlewati, saya sangat suka mendekati sawah dengan segala kekayaan spiritualnya,karena di sawah ada banyak “Sabda Illahi” yang terpendam dan (banyak) manusia enggan menggalinya.
Sawah adalah rantai kehidupan, karena dari sawahlah banyak orang menyambung hidupnya. Di sawah ada perjuangan, ada ketulusan, ada kesetiaan,ada kekotoran yang bermakna, di sawah ada air,tanah, hewan dan masih banyak lagi. Puas mencumbu keindahan dan keelokan sawah, kuayunkan langkah kakiku kembali, menuju rumah tempat tinggalku dan anak-anak bersama dengan istri.
Belum sampai rumah dan karenanya belum masuk, ada pemandangan yang menarik hasratku untuk memperhatikannya. Di dekat jalan, tepatnya depan rumah di mana aku tinggal, pinggir jalan, ada tempat sampah. Sudah lama situasi itu ada dan kayaknya belum ada solusi merelokasinya ke tempat yang lebih pas..Akh..aku tak hendak bernarasi soal posisi tempat sampah itu, karena bisa saja ada yang terluka jika bicara soal posisinya. Aku hendak menarasikan sesuatu yang membuatku kagum, heran dan dengannya menjadi malu, walau kemudian sangat bersyukur.
Di tempat sampah bersama dengan “penghuninya” itu, saat alam belumlah terang sempurna, ada segerombolan unggas, tepatnya ayam yang telah bekerja mengais makanan dengan sukaria dan bercanda. Setahuku, mereka hampir setiap pagi “berkunjung” ke tempat sampah itu, namun takpernah seperti pagi ini, aku terhisap oleh kekuatan dasyat keluarga ayam itu.
Benar, sampah selalu kotor, benar bahwa sampah adalah sisa dan benar sampah adalah sesuatu yang sudah terbuang, dan manusia adalah penghasil sampah terbesar. Dan diantara semua yang bernada negative itu, keluarga ayam mengais makanan demi menyambung kehidupan mereka. Ayam-ayam itu takpernah memperhatikan soal jam berapa, seberapa lelah dan seberapa penghalang aktifitas mereka. Bagi mereka alam adalah suara Illahi yang selalu memanggil mereka. Pagi menjelang siang yang selalu terang dan perut yang membutuhkan asupan makanan, adalah bahasa Illahi untuk mereka, saat bahasa itu memanggil, maka para ayam itu akan bergerak dan semua rintangan akan selalu dihadapi dengan tekun dan setia.
Seingatku, sudah sering ayam-ayam itu terusir oleh pihak lain. Kadang Anjing datang dengan kearoganannya, kadang suara deru kendaraan, kadang juga sekawanan orang lewat, semua mengagetkan dan menakutkan keluarga para ayam, sehingga sering menjadikan mereka menyingkir dari “Meja Perjamuan” makan mereka.
Namun meski sering tertolak dan terusir, mereka takpernah putus asa dan kapok. Setiap pagi mereka akan datang kembali dan datang kembali. Tantangan nampaknya merupakan protein kehidupan mereka, ancaman nampaknya menjadikan mereka bisa mengeluarkan sejuta kreatifitas dan keberanian demi kehidupan. Mereka, ayam-ayam itu, bekerja dengan sederhana dan dengan (nampaknya) riang gembira. Mengais, memilah dengan cakar dan patuk untuk kemudian memasukkannya ke dalam mulut. Mereka mencari makanan hanya sampai mereka kenyang. Mereka tidak pernah menumpuknya, mereka tidak pernah menyembunyikan dari rekan mereka. Ketika dirasa sudah kenyang, meskipun makanan masih banyak, mereka akan menyingkir dan membiarkan yang lain menikmatinya.
Tidak ada jiwa serakah dalam kehidupan para ayam, karena mereka iklas membiarkan “meja perjamuan” makan mereka dihadiri oleh siapa saja, sampai kenyang. Nampaknya bagi para ayam itu, kahidupan sudah memiliki alurnya sendiri. Mereka bekerja untuk makan, setelah kenyang bercanda ria dan setelah letih mereka tidur, kemudian bangun dan lapar lagi, merekapun akan bekerja lagi. Begitu seterusnya dan seterusnya.
Pagi ini, melalui ayam dan dari ayam kita (opss, saya ding..) diajari tentang kehidupan. Dari para ayam, saya mengerti tentang kedisiplinan, karena ayam jarang yang bangun kesiangan dan juga jarang protes dengan keadaan. Hujan atau tidak,saat pagi mereka akan bekerja demi kehidupan. Dari ayam, kita bisa belajar keiklasan, karena ayam akan menerima dengan lapang segala keadaan dan jika itu mengancamnya, mereka akan berpindah. Dari ayam kita diajak belajar, betapa bekerja dengan sepenuh hati demi kehidupan adalah hidup itu sendiri, dari ayam kita juga diajari berbagi dan tiada pernah serakah. Dari ayam, kita bisa belajar menikati kehidupan, karena meskipun mereka bersaing namun tetap membungkusnya dengan canda dan tawa dalam ceria.
“Nembe santai Pak..” Sapapan dari tetangga dusun membuyarkan lamunanku pagi ini, segera aku bergegas masuk ke rumah untuk mengantarkan ibu dari anak-anak kami melanjutkan karya pemberian Sang Pencipta.
Salam Ayam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH