Letih tubuh ini menjadikan mata enggan diajak lam
terjaga. Perjalanan panjang sedari hari jumat malam terlewat sudah,
Tuntang-Depok-Pasarminggu-Bekasi dan berakhir di Tuntang kembali. Sebuah perjalanan
yang cukup panjang dan melelahkan, apalagi bersama dengan tiga Semesta dan
ibunya.
Malam usai memimpin penghiburan, aku mencoba
terjaga,ada banyak “pekerjaan” yang harus aku selesaikan segera. Namun sekali
lagi, mata ini enggan diajak nego,sulit sekali, sesulit air hujan menerjang
Jakarta yang terjadi karena gubernurnya gagal melakukan negosiasi dengan
rombonga air hujan. Da akhirnya tertidur, entah jam berapa aku tak pernah bisa
mengenali saat-saat tidur itu
menghampiriku.
“Panggilan Natural” membangunkanku, dan segera
kuterima panggilan itu. Usai itu aku membuka pintu belakang rumah tempat
tinggalku. Udara segar pedesaan yang juga pegunungan menyambutku dengan riang
dan akupun menyambutnya dengan sukacita. Kulangkahkan kakiku menuju jalanan di
depan rumah tempat tinggalku. Sepi, sangat sepi, sehingga suara langkah
kakikupun kudengar dengan sangat jelas. Sampai aku di pertigaan jalan dusun,
tiba-tiba semilir angin pagi membelai tubuhku, gemerisik daun-daun
rambutan,klengkeng dan apukat lembut kudengar. Ada juga kemeresek suara
tetesan-tetesan embun yang dihempas angin untuk kemudian terjatuh dan lebut
bersama ibu bumi.
Kepakan kasar sayap-sayap burung Tyto Alba mengagetkanku,
namun aku segera melangkah menuju pematang sawah yang ada di ujung tikungan jalan menuju
pemakaman. Sepi, masih sapi. Deru mesin mobil di jalan tol dekat dusun kami
nyaring terdengear, ada yang terdengar sangat letih, seletih dunia ini
memelihara manusia yang semakin congkak dengan segalanya.
Di Ufuk Timur, semburat merah kejinggaan semakin
jelas, seperti lukisan permadani sang Penguasa Alam Semesta. Beberapa ekor
kelelawar beterbangan menuju istananya, takut terbakar sinar matahari. Kembali udara
dingin pagi menyapaku, agak keras udara ini, sehingga suara jatuhnya embun dari
dedaunan nyaring terdengar. Embun itu…ahh..selalu saja memaksaku mengingat
sesuatu..Mengingat saat pagi, mengingat matahari, mengingat embun dan dedauna,
mengingat..mengingat dan..akhh.. embun selalu mengajariku tentang kehidupan,
tentang ketulusan,tentang masa lalu yang harus dipendam,tentang kejujuran dan
tentang pengorbanan. Embun itu selalu bening dan mneyegarkan, meskipun tidak
selalu berasal dari air bersih nan segar. Dari embun itu, aku belajar tentang
kesetiaan, tentang pengorbanan, tentang kerendahatian dan tentang kekuatan..
“Mlampah-mlampah pak…” Suara itu mengagetkanku dan
kemudian menyadarkanku, bahwa hari semakin terang. Suaran burung-burung semakin lengkap, sebagai penanda kehidupan kembali
akan berputar sesuai “orbitnya”.
“Inggih pakde..pun tindak ta?” Jawabku sekaligus
aku menanya pakde petani yang sudah berkarya di waktu sepagi dan sedingin ini.
Kudengar jawaban senderhana lalu pakde itu bergegas melanjutkan perjalanan
menuju sawahnya, yang aku tahu ada di dekat sungat, di bawah jalan Tol sebelah
barat dusun kami.
Bekerja adalah “ruh” yang menghidupi kehidupan ini, demikian
juga dengan pakde petani itu, dan aku yakin banyak model pakde-pakde petani
yang lain, yang tekun bekerja, yang setia dengan pekerjaannya, yang selalu
bersemangat berkarya. Sering mereka tidak begitu memperhatikan hasil karena
bagi mereka hasil adalah anugerah dan yang paling utama adalah bekerja seiklas dan
sepenuh hati. Sering orang bekerja bukan karena mencintai pekerjaan itu dan
ketidakcintaan itu sering berhubungan dengan uang. Belajar dari pakde petani
itu, semestinya banyak yang malu ketika bekerja hanya sekedar rutinitas, hanya
sekedar karena akan mendapatkan uang, bahkan untuk pekerjaan ryang semestinya
dikerjakan secara tulus karena itu adalah cara bersyukur.
Pagi ini aku diajari Sang Khalik tentang alam
semesta dan tentang bekerja, bahwa hidup ini akan berarti jika dibaktikan untuk
bekerja. Tak soal apakah bakti itu akan dihargai atau tidak. Bekerja adalah
kehidupan dan mencintai pekerjaan adalah sebuah kemestian alam semesta, maka
akan sangat lucu kalau ada yang mengerjakan sesuatu dalam jangka waktu tertentu
namun tanpa cinta di dalamnya..
Aku berpikir sembari berjalan dan saat sampai di
rumah tempat aku beserta anak dan istri tinggal, dua bidadari semestaku
menyambut dengan keriangan purbakala yang begitu menyegarkan jiwa..
Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar