Selasa, 21 Januari 2020

CERITA PAGI




Letih tubuh ini menjadikan mata enggan diajak lam terjaga. Perjalanan panjang sedari hari jumat malam terlewat sudah, Tuntang-Depok-Pasarminggu-Bekasi dan berakhir di Tuntang kembali. Sebuah perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan, apalagi bersama dengan tiga Semesta dan ibunya.
Malam usai memimpin penghiburan, aku mencoba terjaga,ada banyak “pekerjaan” yang harus aku selesaikan segera. Namun sekali lagi, mata ini enggan diajak nego,sulit sekali, sesulit air hujan menerjang Jakarta yang terjadi karena gubernurnya gagal melakukan negosiasi dengan rombonga air hujan. Da akhirnya tertidur, entah jam berapa aku tak pernah bisa mengenali saat-saat  tidur itu menghampiriku.

“Panggilan Natural” membangunkanku, dan segera kuterima panggilan itu. Usai itu aku membuka pintu belakang rumah tempat tinggalku. Udara segar pedesaan yang juga pegunungan menyambutku dengan riang dan akupun menyambutnya dengan sukacita. Kulangkahkan kakiku menuju jalanan di depan rumah tempat tinggalku. Sepi, sangat sepi, sehingga suara langkah kakikupun kudengar dengan sangat jelas. Sampai aku di pertigaan jalan dusun, tiba-tiba semilir angin pagi membelai tubuhku, gemerisik daun-daun rambutan,klengkeng dan apukat lembut kudengar. Ada juga kemeresek suara tetesan-tetesan embun yang dihempas angin untuk kemudian terjatuh dan lebut bersama ibu bumi.
Kepakan kasar sayap-sayap burung Tyto Alba mengagetkanku, namun aku segera melangkah menuju pematang sawah yang ada di ujung tikungan jalan menuju pemakaman. Sepi, masih sapi. Deru mesin mobil di jalan tol dekat dusun kami nyaring terdengear, ada yang terdengar sangat letih, seletih dunia ini memelihara manusia yang semakin congkak dengan segalanya.

Di Ufuk Timur, semburat merah kejinggaan semakin jelas, seperti lukisan permadani sang Penguasa Alam Semesta. Beberapa ekor kelelawar beterbangan menuju istananya, takut terbakar sinar matahari. Kembali udara dingin pagi menyapaku, agak keras udara ini, sehingga suara jatuhnya embun dari dedaunan nyaring terdengar. Embun itu…ahh..selalu saja memaksaku mengingat sesuatu..Mengingat saat pagi, mengingat matahari, mengingat embun dan dedauna, mengingat..mengingat dan..akhh.. embun selalu mengajariku tentang kehidupan, tentang ketulusan,tentang masa lalu yang harus dipendam,tentang kejujuran dan tentang pengorbanan. Embun itu selalu bening dan mneyegarkan, meskipun tidak selalu berasal dari air bersih nan segar. Dari embun itu, aku belajar tentang kesetiaan, tentang pengorbanan, tentang kerendahatian dan tentang kekuatan..

“Mlampah-mlampah pak…” Suara itu mengagetkanku dan kemudian menyadarkanku, bahwa hari semakin terang.  Suaran burung-burung semakin  lengkap, sebagai penanda kehidupan kembali akan berputar sesuai “orbitnya”.
“Inggih pakde..pun tindak ta?” Jawabku sekaligus aku menanya pakde petani yang sudah berkarya di waktu sepagi dan sedingin ini. Kudengar jawaban senderhana lalu pakde itu bergegas melanjutkan perjalanan menuju sawahnya, yang aku tahu ada di dekat sungat, di bawah jalan Tol sebelah barat dusun kami. 

Bekerja adalah “ruh” yang menghidupi kehidupan ini, demikian juga dengan pakde petani itu, dan aku yakin banyak model pakde-pakde petani yang lain, yang tekun bekerja, yang setia dengan pekerjaannya, yang selalu bersemangat berkarya. Sering mereka tidak begitu memperhatikan hasil karena bagi mereka hasil adalah anugerah dan yang paling utama adalah bekerja seiklas dan sepenuh hati. Sering orang bekerja bukan karena mencintai pekerjaan itu dan ketidakcintaan itu sering berhubungan dengan uang. Belajar dari pakde petani itu, semestinya banyak yang malu ketika bekerja hanya sekedar rutinitas, hanya sekedar karena akan mendapatkan uang, bahkan untuk pekerjaan ryang semestinya dikerjakan secara tulus karena itu adalah cara bersyukur.

Pagi ini aku diajari Sang Khalik tentang alam semesta dan tentang bekerja, bahwa hidup ini akan berarti jika dibaktikan untuk bekerja. Tak soal apakah bakti itu akan dihargai atau tidak. Bekerja adalah kehidupan dan mencintai pekerjaan adalah sebuah kemestian alam semesta, maka akan sangat lucu kalau ada yang mengerjakan sesuatu dalam jangka waktu tertentu namun tanpa cinta di dalamnya..
Aku berpikir sembari berjalan dan saat sampai di rumah tempat aku beserta anak dan istri tinggal, dua bidadari semestaku menyambut dengan keriangan purbakala yang begitu menyegarkan jiwa..

Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH