Jumat, 30 November 2018

KISAH NATAL Sebuah Teladan empati inspiratif Kepedulian Total Oleh : Doni Setyawan[1]


 KISAH NATAL
Sebuah Teladan  empati inspiratif Kepedulian Total
Oleh : Doni Setyawan[1]

Pengantar
Setiap tahun semua gereja-gereja di dunia merayakan natal. Di manapun dan kapanpun, sepertinya perayan natal telah menjadi tradisi  di dalam kehidupan gereja-gereja di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Tradisi yang dikembangkan, dirayakan untuk kemudian dilestarikan sebagai salah satu identitas komunitas, yang dalam hal ini adalah komunitas Kristiani. Pada setiap tahun pula, terutama pada bulan Desember, semua orientasi  gerejawi tercurah dan tertuju untuk natal. Dari sudut-sudut gereja sampai pusat-pusat berbelanjaan, dari ujung desa sampai kesegala penjuru wilayah, semua benuansa natal. Semua berupaya untuk memperingati serta merayakan natal semeriah mungkin. Semua ingin natal menjadi peristiwa yang berkesan pada setiap tahunnya. Semua pada akhirnya berjuang sendiri-sendiri untuk menemukan makna natal itu.
Pusat-pusat perbelanjaan sibuk memajang desain layout etalasenya dengan semua bernuansa natal, iklan dipinggir jalan dan di televisi semua juga sering bersangkut erat  dengan natal. Meskipun sebenarnya mereka hanya  “numpang mencari untung”  dari peristiwa yang sedang dan akan terjadi. Tidak salah memang, semua berhak memberi makna dan  menemukan makna dari apa saja yang ada dan dijumpainya. Tak terkecuali dengan  natal bagi semua individu maupun kelompok. Bagi yang memperingati dan juga teruntuk yang tidak memperingati. Biar saja para pedagang menemukan makna natal ketika pada bulan desember mendapatkan berkah banyak karena dagangannya banyak yang laku, biar saja anak-anak kecil menemukan makna bahwa natal adalah saat untuk berjumpa dengan sinterklas dan mereka juga beroleh kesempatan untuk mendapatkan hadiah. Biar saja mereka yang muda-mudi memaknai natal sebagai kesempatan untuk saling memberikan hadiah dan biar saja natal dimaknai sebagai waktu untuk saling mengunjungi dan bersua dengan hadai tolan. Biar saja, ya biar saja makna itu tertemukan bagi setiap insan. Tidak ada yang salah atau benar dalam hal memberi makna. 
Tulisan ini tidak hendak menghakimi dengan instrumen teologis  bahwa natal yang tidak sesuai dengan Alkitab adalah salah, adalah dosa. Saya juga tidak hendak menggunakan ide ini sebagai salah satu materi untuk memunculkan  “fatwa’ kristen berkenaan dengan natal dan sekitar pemaknaanya. Tulisan ini hanya hendak mengajak kita untuk mencoba mengintif dari sebuah sudut sempit makna dari Allah yang berEMPATI dengan manusia dengan cara bersedia masuk dalam sejarah manusia dan terlibat dalam sejarah manusia untuk juga menjadi manusia yang utuh dan sempurna.
Natal adalah Kelahiran
Natal tidak bisa dilepaskan dengan peristiwa kelahiran. Tepatnya, natal adalah sebuah peringatan dan perayaan yang  memusatkan dirinya pada peringatan lahirnya Sang Mesias dalam diri Yesus Kristus. Meskipun dalam semua teks Injil tidak ada keterangan eksplisit mengenai kapan waktu yang sebenarnya terjadi untuk kelahian Yesus Kristus Sang Mesias, namun nampaknya gereja telah “Terlanjur” terninabobokkan dengan warisan tradisi natal dari mitologi Romawi. Mitologi munculnya matahari setelah sekian lama terpenjara pada musim dingin yang beku. Munculnya matahari adalah munculnya kehidupan, terbitnya Matahari adalah terbitnay Harapan. Ya, sebenarnya tanggal 25 Desember bukanlah  waktu yang tepat untuk dapat dipastikan sebagai tanggal lahirnya Tuhan Yesus, namun tulisan ini hanya akan memfokuskan diri pada keterlibatan Allah dalam empatinya kepada manusia.
Teks Injil, terutama Injil Lukas menerangkan bahwa Yesus lahir di kandang domba, pada waktu terjadi sensus yang dialkukan oleh kaisar Agustus. Karena semua penginapan telah penuh, Maria dan Yusuf hanya mendapatkan  sebuah sudut rumah yang adalah kandang domba. Ini merupakan awal dari cara Allah dalam diri Yesus untuk berempati kepada ciptaan yang namanya manusia. Kandang domba, bukanlah tempat yang mewah baik dulu maupun sekarang. Sampai kapanpun, kandang domba adalah kandang domba. Tempat yang kotor, pinggir,tidak mewah dan bukan merupakan tempat yang utama. Tempat kelahiran Yesus yang di kandang domba adalam simbol dari arogansi egoisme manusia yang tidak pernah mau berbagi. Manusia yang hanya memikirkan dirinya sendiri, keuntungannya sendiri sehingga enggan untuk berempati. Manusia yang tiada pernah mau “merelakan secuil rotinya”  untuk dibagikan kepada yang lain. Jangankan kepada makluk ciptaan lain sementara kepada sesamanya saja enggan.
Teks Injil lukas tidak secara eksplisit menyebutkan “Penolakan” pemilik rumah dan  atau penginapan serta para pendatang yang mau menginap (ini hanya sering muncul dalam visualisasi drama disekitar Natal). Namun laporan Lukas bahwa bayi yang baru dilahirkan Maria yang  “...dibungkusnya dengan kain, lalu diletakkan  di dalam palungan berisi jerami; sebab tidak mendapatkan tempat untuk menginap..” bisa dijadikan rujukan akan penolakan ini. Bagaimana masih  bisa dikatakan sebagai manusia yang hidup disekitar agama (saya senang menggunakan istilah ini daripada manusia yang beragama) ketika melihat seorang perempuan yang hamil tua dan (kemungkinan ) hari sudah menjelang malam namun semua “menutup mata”  terhadap realita ini?. Namun inilah “Jalan Sepi Allah” dalam diri Yesus yang  mengaktualisaikan diri menikmati EMPATI-Nya untuk  ciptaan. Manusia  adalah  makluk yang  telah dan sedang dalam masa yang berat. Beraneka masalah mengantam kehidupan mereka . Penindasan, kekejaman, ketidakadilan, arogansi, kesombongan seolah menjadi gurita yang pelan namun pasti menggulung serta menjerat  hidup dan kehidupanmanusia. Allah lahir dalam diri Yesus, bayi mungil dan “hanya” terbungkus lampin. Dia Lahir bukan pada tempat mewah dan dalam balutan penerimaan manusia yang beradab. Yesus, Sang Pemilik Kehidupan, demi  spirit bela rasa terhadap manusia rela dengan segala ketulusan masuk dalam sejarah hidup manusia dalam kesederhanaan. Kelahiran Yesus adalah kelahiran harapan. Kelahiran Yesus adalah kelahiran sejarah kerelaan yang siap menjadi teladan. Natalnya Yesus bukanlah natal yang penuh dengan hingar bingar. Bukan pula natal yang penuh dengan aneka hiburan dan hadiah barang yang baru dan indah-indah, namun natal Yesus adalah lahirnay sebuah semangat pembaharu, semangat perubahan yang sempurna. Semangat yang benar-benar meremukkan tatanan hidu manusia yang penuh dengan kesombongan.
Kelahiran Yesus adalah cara Allah Peduli
Peristiwa kelahiran Yesus yang dilaporkan Injil Lukas hendak mengajar umat, bahwa Allah yang peduli adalah Allah yang bersedia melawat umatnya.  Pelawatan Allah adalah wujud sempurna dari empati  atau bela rasa Allah kepada manusia yang terbelenggu kekuatan dosa. Dosa yang menjadikan adanya penindasan, adanya diskriminasi, adalanya ketimpangan sosial, adanya perbudakan, adanya ketidakadilan, adanya kemunafikan, adanya korupsi dan sebagainya. Semua ini melada serta mewabah dalam kehidupan manusia, tidak hanya sekarang, naumn ternyata sudah semenjak dahulu. Di dalam segala area kehidupan dan bahkan di kehidupan agama yang katanya menjadikannnya penjaga moralitas korupsi,penindasan, koropsi, saling menjegal, saling melukai adalah peristiwa keseharian.  Manusia (yang oleh Allah dalam Yesus sebagai sasaran keselamatan) diajak Yesus untuk sadar, bahwa empati adalah pengorbanan. Empati adalah kesediaan serta keberanian untuk memasuki dunia di luar dirinya. Dunia yang berbeda dengan dirinya. Empati adalah keikutsertaan merasakan seperti yang dia atau mereka rasakan. Empati Allah bukanlah melalui jalan yang mulus dan lurus, empati Allah adalah meniti jalan sederhana dan derita. Inilah cara Allah menolong, cara Allah mewuujudkan KasihNya yang sempurna kepada seluruh ciptaan. Kehadiraanya di sekitar palungan dan jerami (yang kemudian oleh banyak penafsir dan tradisi gereja disepakati adalah kandang domba) adalah wujud dari kesederhanaan, wujud dari pasrah dan totalitas yang sempurna.
Kepeduliaan Allah adalah kerelaanNya untuk ada dan mengada dalam segala keterbatasan, kesederhanaan. Kain lampin dan jerami adalah simbol yang teramat nyata untuk mengerti betapa jalan kehadiran Allah di dalam Yesus adalah jalan kesederhanaan. Kesederhanaan itu yang hendak menampar manusia yang senantiasa hidup mewah dan cenderung boros. Kelahiran Yesus sebagai wujud empati Allah adalah

Apa gerangan wujud empati saat ini?
Natal, di jaman sekarang selalu identik dengan kemeriahan, kemewahan dan keanggunan. Dan natal di  jaman sekarang selalu identik dengan nothol [2](kata salah seorang tokoh berpengarus GKJ). dan ini tidak bisa disangkal, betapa di dalam persiapan perayaan natal diberbagai gereja sellau sibuk memikirkan biaya untuk konsumsi. Memikirkan kebutuhan untuk dirinya, kepuasannya sendiri. Natal yang baik adalah natal yang mewah, yang bersemangat atau natal yang dihadiri oleh ribuan umat. Maka tidak heran jika kemudian muncul budaya natal dilapangan, gedung-gedung mewah, hotel berbintang, stadion dengan harapan akan dihadiri banyak orang dan kemudian sebgai justifikasi sebuah keberhasilan. Mereka (atau kita) seolah lupa bahwa natal yang sejati adalah keadaan super sederhana dan –mungkin- bisa dikatakan memprihatinkan.
Bisa ditarik sebuah benang merah dalam hal ini. Bagaimana teladan empati Yesus ini semangatnya tertularkan di dalam  kehidupan gereja di jaman sekarang. Gereja tidak sedang menjadi “para juru bangunan” yang selau terbagun konsep  bahwa keberhasilan adalah kesuksesan mengumpulkan bukan memberikan. Demikian halnya dengan natal, gereja seharusnya berani dengan tegas bahwa natal bukanlah sebuah pesta, melainkan kesempatan untuk masuk dalam permenungan sepi. Masuk untukm menembus merekaa-mereka yang tersingkirkan,sakit, sendiri dan senantiasa kesepian.  Semua iniadalah laku hidup untuk menghayati tugas panggilan dalam saat teduh dan permenungan Permenungan iman bahwa kelahiran Yesus adalah wujud keterlibatan Allah demi empatinya kepada manusia. Sopankah ketika kita sebagai manusia mendapat pertolongan, lalu kemudia yang menolong itu tertimba penderitaan sementara kita yang ditolong berpestapora??
Semestinya gereja Tuhan dijaman sekarang ini mulai mencoba mengembangan semangat empati Allah untuk memperhatikan sesama. Memperhatikan mereka yang tertindas, terpinggirkan, tersakiti, terdiskriminasi dan yang lain. Gereja semstinya meniru jejak Yesus yang dengan lantang berani melawan kekerasan struktur yang tidak berpiihak kepada kaum lemah. Gereja semestinya menjadi pelopor kesedehanaan bukan malah menjadi pelopor pemborosan. Perayaan-perayaan, pesta-pesta adalah salah satu indikator bahwa gereja telah mulai meninggalkan spiritualitas sederhana Yesus. Meninggalkan spiritualitas iklas dan tulus dari Yesus, spiritualitas penuh peduli milik Yesus. Yang ada adalah gereja yang terus dan terus bersaing demi kepopuleran serta kepuasan diri pribadinya. Lalu, jika demikian, masih pantaskah kita mempredikati diri dengan gelar kekristenan di mana spirit Kristud sudah hilsng diteln bumi.
Penutup
Kembali ke pengantar di awal tulisan ini. Bukan masalah salah atau benar di setiap peristiwa kehidupan. Namun yang pertama dan utama adalah upaya member makna. Jika kita sudah menemukan pesan dari peristiwa kelahiran Yesus, maka sudah tiba saatnya bagi gereja untuk bersuara suara kenabian di tengah-tengah hidup yang sudah sangat individualis, serba konsumtif, serba indiviualis pragmatis ini menuju perubahan total. Perubahan menjadi seperti kisah Bathlekhem ketika Yesus lahir. Peristiwa yang semestiya mempermalukan kita namun sering manusia lupa akan segala polah tingkahnya. Maka selamat berjung untuk tidak sekedar memperingati natal namun selalu belajar untuk memperhatikan sesama. Selamat untuk meneladani Yesus yang rela masuk ke dalam kehidupan sejatah manusia dengan cara derita dan sederhana.


[1] Doni Setyawan,  Pendeta Jemaat di GKJ Tuntang Timur Salatiga, alumni UKDW lulus tahun 2004 dan semenjak 2005 dipanggil untuk melayani di GKJ Tuntang Timur sampai sekarang.
[2] Nothol adalah bahasa  Jawa yang artinya makan, karena hampir disetiap peyaan natal selalu ada pesta makan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH