Sisa hujan sepanjang sore masih nampak jelas di sekitaran
rumah tempat tinggal kami. Semua tentang hujan pastilah ada hal yang basah,
juga dengan malam itu. Dingin tiada terkira, seolah panah salju yang
dilemparkan langsung ke tulang sunsum.
Dengan kaki tertatih karena sedang bermasalah, kubuka pintu belakang tempat
tinggal kami. Di tangga agak sulit aku
turun, selain rasa sakit yang masih mesra memelukku, juga licin serta gelap. Namun
akhirnya aku bisa sampai ke ruang terbuka.
Ada gemelap bintang di angkasa, takterhitung jumlahnya. Sebuah
keajaiban semesta. Dan malam itu sungguh sangat sempurna, cerah langit menanda
semesta berbinar. Rembulan tanggal 6 bulan Rejeb bergulirke balik daun duren di
halaman sebelah rumah tetangga, sebelah barat sebuah gedung gereja tua.
Kembali kutengadahkan wajah, menikmati sempurnanya
langit. Kurasakan semua bintang itu tersenyum, meskipun alam pikirku sadar,
bintang tiada bermuka. Namun rasa, siapa yang bisa menepiskan?Sungguh semua
bintang di angkasa itu tersenyum. Mereka seolah mengajakku menikmati nyanyian
angkasa, nyanyian alam ya yang sepanjang masa selalu bersenandung indah.
Mereka
tanpa beban apapun juga, mereka ingin menikmati hidup. Hujan dan panas bukan
urusan mereka, juga siang dan malam karena bagi mereka, sesungguhnya tiada
pembagian waktu. Yang ada hanyalah menikmati hidup.
Dan malam itu,aku diajari nyanyian indah dari kesunyian. Ternyata
dalam kesunyian malam, bintang-bintang dan penghuni angkasa, penghuni semesta
selalu bernyanyi indah. Nyanyian merdu yang hanya bisa di dengar mereka yang
merindukan keheningan.mereka yang merindukan kekayaan bendawi, niscaya tidak
akan sanggup mendengar nyanyian keheningan semesta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar