Suara gemericik air di pancuran membuat Dalijo semain
bersemangat menyelesaikan pekerjaannya. Mencangkul untuk ditanami padi. Memang menjadi
pilihan hidup Dalijo. Dan Dalijo gembira menjalani pilihan hidupnya itu.
Anda menyayangi Anak-anak anda?
Sawah di sebuah lembah, di gugusan pegunungan seribu,
sebuah tempat yang sejatinya terkenal tandus di propinsi jawa tengah. Namun berbeda
dengan sawah Dalijo, sawah itu subur dan penuh berlebih air, sangat berbeda
dari mitos bahwa daerahnya selalu kekurangan
air. Nama wilayah sawah milik Dalijo adalah Prampalan. Yah, sawah itu warisan
leluhur Dalijo.
Gemericik air itu dari sebuah pancuran, untuk mengalirkan
air dari saluran air yang di daerah Dalijo dinamakan uwangan. Terbuat dari bamboo
yang dipotong sekitar 60-100cm, ruasnya dilobangi. Saluran dibuat agar tidak
terjadi pengikisan tanah sehingga mengurangi kesuburan. Gemericik itu selalu
menjadi semacam simfoni dalam hidup Dalijo dengan sawahnya, dan itu yang
membuat Dalijo bahagia.
“Udud sik Dal, tinggal sedikit itu. Santai wae, nanti
usai udud dilanjut lagi”, Sapa Kartolo, anaknya Kang Sutimin, pemilik sawah
yang berseberangan dengan sawah Dalijo.
“Siap Kar, tapi sebentar, tinggal sebentar usai”, Jawab
Dalijo sembari mengusap keringat yang membanjiri dahi dan muka, bercampur air
lumpur yang sangat keruh. Kemudian Dalijo melanjutkan pekerjaannya, mencangkul
sementara Kartolo duduk du gubug sembari menikmati rokok 76 kesukaannya. Dan tidak
kurang dari sebatang rokok, Dalijo menyelesaikan sisa pekerjaannya.
“Ndi rokokmu Kar, aku sekali-kali penegn ngrasain
rokokmu..hehe..”, Sapa Dalijo sembari mencari tempat duduk di gubug sederhana
itu. Kemudian Dalijo melepas “baju dinas” yang kotor, mengambil rokok milik
Kartolo dan menyalakannya. Menghisapnya dengan hisapan yang tulus serta jujur
tanpa pernah takut dosa, seperti kata beberapa pendeta di desanya bahwa merokok
itu dosa.
“Dal, menurutmu ngrokok itu dosa enggak sih?”, Ujug-ujug
Kartolo bertanya agak serius. “Kemarin aku Tanya Sareh tapi dia tidak bisa
menjawab, makane saiki aku bertanya padamu”, Lanjut Kartolo.
Ingin Usaha Ticketing?
modal minimal hasil maksimal
Dalijo menghela nafas, kemudian diam. Lalu beberapa detik
kemudian menghisap rokoknya kembali. Suasana hening, dan dalam keheningan,
suara gemericik air, suara dedaunan terhempas angin menjadi lebih jernih. Juga
dari pepohonan di sekitaran sawah itu, suara aneka burung masih riuh, berebut
dengan suara angina menabuh dedaunan serta gemericik air sungai gunung
mengahntam bebatuan.
“Agama sudah berubah Kar. Dia sudah tidak hadir sebagai
penyejuk kehidupan, sebagai penuntun kea rah kebajikan dan kepada kehidupan
kekal. Rokok itu tidak berkaitan dengan iman atau agama. Namun sekarang semua
sudah dicampuraduk tidak karuan. Agama sudah dijadikan semacam bumbu dan
keidupan ini adalah bahan makanan, maka semua dimasuki atau ditaburi agama,
meskipun sama sekali tidak membutuhkan agama. Lihat saja di tipi-tipi itu,
agama kok dibawa untuk demo, itu yang ngelakuin kan kenthir ta Kar, gendeng
tingkat tinggi”, Jawab Dalijo serius dengan nada datar dan berat.
Dari jawabannya,
dapat diraba betapa Dalijo, betapapun tinggal di dusun terpencil dan memilih pekerjaan sederhana, namun kepedulian terhadap
kehidupan bersama masih sangat tinggi.
“Aku juga risih Dal, melihat orang-orang yang berpakaian
sok agamis, namun kelakuannya seperti ekstrimis. Mereka seolah yang empunya
dunia dan malah surga, semua harus tunduk kepada mereka. Aku juga gemes dengan Negara
ini, pemerintah yang sah kok sepertinya kalah dengan preman berbaju agama itu
ya?”, Ungkap Kartolo yang sempat kuliah di jogja.
Suasana kemudian hening lagi, Dalijo dan Kartolo seolah
masuk ke dunia imajinasi mereka masing-masing, entah apa yang mereka pikirkan,
mungkin mereka bertemu di alam imajinasi dan bercakap sedangkan raganya
terlihat terdiam. Panas mentari semakin terasa menyengat sementara di ujung
timur laut, nampak mendung hitam sudah siap menyramkan air hujannya ke tanah di
pegunungan itu.
“Dal, ayo pulang sik. Nanti malam kita lanjut di rumahmu,
di lincak dekat jendela teras rumahmu ya. Semoga Sareh, Ibot, Remik dan yang
lain isa nggabung”, Sapa Kartolo. Suasana kemudian kembali sepi, mereka berdua
bergegas meninggalkan sawah,gubug dan semua yang ada, mereka pulang. Mereka meninggalkan
ruangan diskusi tentang "agama yang sudah tersesat dibelantara dunia yang rusak
dan kejam".
Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar