Siang cerah nan indah yang begitu menyenangkan. Dalijo bersantai
setelah beraktifitas ketika tiba-tiba Kartolo datang dengan wajah murung. Dalijo
agak kaget meskipun tidak segera bereaksi dengan kedatangan Kartolo. Sementara Sareh
yang senantiasa menemaninya Dalijo masih asyik merebus air untuk kopi pagi
mereka.
“Dal, manukku ilang, padahal aku membelinya mahal”,
Kartolo membuka percakapan pagi, sedangkan Dalijo masih asyik dengan obeng
sembari menyetel baut radio jadulnya, tiba-tiba tersentak.
“Weladalah Kar…lha yang nyolong manukmu sapa? Berarti
kamu berdarah banyak ya?” Jawab Dalijo agak serius meskipun nampak
menyembunyikan gurauan.
“Ini manuk burung Dal, kmau jangan bercanda. Itu lho
burung perkutut yang selalu menjadi
kesenangan swargi simbah dan aku
dimanta memelihara burung jenis itu”, Jawab Kartolo, yang memang suka memelihara
perkutut, seperti weling simbahnya.
Sareh yang baru saja keluar dengan nampan berisi 3 gelas
kopi kemudian menimpali.
“Kar, jangan terlalu menyesali burungmu yang hilang itu,
yakinlah bahwa ada sesuatu yang menarik yang sedang disiapkan alam ini untuk
kebaikan. Bukankah burung itu berasal dari peliharaan sejak kecil? Nanti pasti
akan sulit mencari makan dan pasti akan kembali”, Ungkap Sareh sembari
meletakkan nampan berisi 3 gelas kopi. Kemudian Sareh ikut duduk,sedangkan
Dalijo sudah menyelesaikan kesibukannya dengan radio jadul itu.
“Lha mbok biar saja burung perkututmu icul kar, biar
bebas, asal bukan “burung” yang kamu gambol itu yang ucul, kalau yang itu ucul
kan repot. Hahaha…”, Seloroh Daljio. Kemudian suasana hening, hanya suara radio
jadul Dalijo yang mencoba mencari lagu-lagu jadul juga namun suaranya kalah
dengan suara aneh dari dalamnya. Kemudian Dalijo mematikan radionya, mengambil
rokok andalannya dan menyalakannya. Beberapa saat kemudian, Kartolo memberikan
tanda-tanda untuk tenang.
“Ssssstt…diam sebentar. Aku seperti mendengar suara
burung perkutut. Sayup sih tapi aku yakin itu suara perkutuku”, Kata Kartolo. Kemudian
mereka diam, Kartolo masih dengan sikap diam, bergegas keluar rumah, semakin
memusatkan pendengaran dan kemudian melangkah. Dalijo dan Kartolo tanpa sadar
mengikuti Kartolo melangkah dan akhirnya
mereka sampai di dekat rumah Kartolo yang hanya berjarak 50an meter dari
rumah Dalijo.
“Kar, itu ada dua ekor perkutut di dekat kurunganmu. Dan itu
di dahan belimbing ada juga,dan itu di genting juga ada dua”, Bisik Kartolo
yang diikuti pandangan mata mereka bertiga. Dan benar, ada enam burung perkutut
di sekitar rumah Kartolo. Burung-burung perkutut itu bersuara semua dengan
indah,dan Kartolo berubah, tidak hendak menangkap burung perkutunya. Dia membiarkan
kurungan terbuka dan membiarkan burung perkututnya masuk dan keluar sesuka hati
bersama teman-teman yang lain.
“Kehilangan tidak selalu menyakitkan di ujungnya, karena
terkadang dia sedang menyiapkan sesuatu yang lebih banyak dari kehilangan itu
sendiri”, Dalijo beruar lirih sesampai mereka di rumah Dalijo sembari
menyeruput kopi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar