Minggu, 23 April 2017

Konflik Kendeng, Pertarungan Antara Para Kera vs Rahwana




Polemik dan konflik di sekitar pabrik semen di Pegunungan Kendeng takjua menemukan titik terang penyelesaian. Dua kubu, baik yang menolak maupun yang menerima masih saling alot berdiri di posisi argumennya masing-masing. Tempo hari, saya menulis di media opini berbasis online, yaitu seword.com dengan solusi dialog ulang diantara dua pihak yang difasilitasi oleh Pak Ganjar Pranowo sebagai gubernur jateng, namun di tulisan ini, setelah saya berjumpa dengan beberapa "Penggiat Kendengan" yang menolak pembangunan pabrik semen,  akan bernada berbeda. 

Investasikan Masa Depan Anda 

Kalau kemudian setelah pembaca  membaca tulisan ini, lalu  menilai saya plin-plan atau tidak konsisten ya, silakan saja, itu hak semua orang untuk bersikap.  Dan kalau ada yang berbeda pendapat, silakan isi di kolom komentar.

Konflik Kendeng, identic dengan pertarungan Kera-Kera vs Rahwana Cs

Mengapa saya berani menulis pernyataan demikian? Karena memang di sana yang terjadi adalah pertarungan, dan di dalam pertarungan selalu ada dua kubu. Lha kalau kemudian mau menentukan mana yang Para Kera dan mana Rahwana, silakan pembaca ikuti tulisan berikut dan nantinya silakan simpulkan sendiri.

Rahwana dalam kisah pewayangan Rama Tambak diceriterakan merampok Dewi Sinta, istri sah dari Ramawijaya, yang sedang dalam mendapatkan hukuman pembuangan di hutan. Dewi Sinta digambarkan sebagai perempuan tercantik di dunia dan dengannya banyak pria atau lelaki yang menginginkannya. Rahwana, sebagai gambaran keserakahan dunia, juga ingin memiliki Sinta. Maka segala upaya dilakukan Rahwana dan di dalam upaya itu, dia mengorbankan sahabat setia atau abdi setianya. Pengorbanan yang berhasil karena Sinta berhasil dibawa kabur ke Alengka.

Namun persoalan belum selesai. Ramawijaya tidak terima perbuatan Rahwana dan dia ingin merebut Sinta, istrinya. Sendirian dirasa sulit dan berat oleh Ramawijaya, maka kemudian dia berkolaborasi dengan pasukan kera yang dipimpin oleh Sugriwa. Sebenarnya Sugriwa memliki saudara tua yang bernama Subali, namun dia sudah terlanjur termakan bujuk rayu Rahwana. Jadilah Sugriwa sendirian memimpin pasukan kera, meski di sana masih ada Anggada dan Anoman bersama para Kapi (senopati perang bangsa kera).

Sungguh berat perjuangan Para Kera, karena mesti membuat jembatan melintasi lautan demi sampai di Alengka. Butuh waktu dan pengorbanan yang takbisa dihitung dengan angka. Juga pengorbanan para kera untuk membuat jembatan.

Setelah jembatan selelsaipun perjuangan belum selesai, karena mereka harus bertempur melawan para raksasa yang merupakan tentara atau pasukan Rahwana. Namun semangat membara mereka, para kera itu, akhirnya membuat pasukan raksasa Alengka kalah. 

Kekalahan itu yang membuat Rahwana memanggil adiknya, Kumbakarna, satria jujur yang mesti melawan pasukan Ramawijaya, dipihak yang benar. Kumbakarna kemudian berucap bahwa perjuangannya adalah demi tanah tumpah darahnya, bukan demi membela angkara murka kakaknya, Rahwana. Sebelumnya Gunawan Wibisana, adik bungsu Rahwana sudah lebih dahulu menyeberang ke pasukan Ramawijaya. 

Kumbakarna gugur, sebagai kusuma bangsa dan ini yang membuat Rahwana sendiri akhirnya turun ke medan laga. Rahwana akhirnya gugur, bukan oleh Ramawijaya, namun oleh kera putih bernama Anoman.

Jembatan Sejahtera Anda KLIK SAJA INI

Akhirnya, keserakahan gugur oleh kesederhanaan dan ketulusan makluk nestapa bernama kera. Dan kita semua tahu, betapa untuk mengalahkan Rahwana dengan segala angkaramurkanya, butuh pengorbanan tiada terhingga. Di sana ada Wibisana yang mesti dimaki sebagai penghianat bangsa, meski membela kebenaran. Di sana ada Kumbakarna yang mesti dikatakan melawan kebaikan, meski dia membela tanah tumpah darahnya.

Nah sekarang saya akan mencoba menggambarkan Kendeng sebagai Sinta. Kendeng adalah gugusan karst, yang merupakan bahan baku semen terbaik di dunia. Di sana juga menjadi cekungan bumi yang merupakan tempat peresapan air yang alamiah. Selain itu, pegunungan kendeng merupakan penahan angina laut untuk melindungi daratan dari hempasan angin sepanjang musim.

Kemolekan Sinta, upss, salah Kendeng inilah yang menjadikan banyak mata serakah ingin menguasainya, ingin memilikinya. Dan semua cara sudah ditempuh demi ambisi mencumbu pegunungan Kendeng yang “berpakaian gersang” namun tubuh aslinya molek nan seksi. Karena keserakahan selalu menghadirkan kelicikan, maka seperti Rama, dia terjebak oleh kelicikan juga sampai Sinta hampir dikuasai sepenuhnya oleh rahwana.

Demikian juga Kendeng, sampai saat ini memang belum dikuasai sepenuhnya oleh “Rahwana” dan kroninya, namun kalau tidak ada perjuangan “para Kera”, yakinlah, Kendeng akan jatuh ke tangan Rahwana. Di sekitar “Rahwana” yang ingin menguasahi Kendeng, juga ada model Wibisana, yang harus rela dicaci maki demi kebenaran. Namun selain orang bertipe Wibisana, di sana juga ada yang bertipe Kumbakarna. Tipe Kumbakarna akan berjuang demi “tanah tumpah darahnya”, dan bisa jadi, di dalam kasus Kendeng, banyak orang baik yang terjebak pada pilihan sulit. Terpaksa membela “Rahwana” karena sumpah setia dengan “Tanah Tumpah Darahnya”.

Saya tidak berani menyimpulkan dipihak mana pejabat yang sekarang menjabat. Tulisan ini hanya hendak memberi penyadaran bahwa di pusaran konflik kendeng, ada kekuatan angkara dan sederhana yang bertarung. Tulisan ini sangat sederhana dan jika ada pembaca yang ingin melengkapinya, dengan senang hati saya akan menerimanya.

Salam Para Kera

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH