Jika kalimat di atas dipahami secara tekstual maka akan
sangat sulit diupayakan untuk manusia itu sehati dan sepikir. Namun jika
dipahami sebagai sebuah upaya menselaraskan dua pikiran dan hati yang berbeda,
kemungkinan terwujud itu sangat besar. Sebagai gambaran mempermudah memahami
bagaimana sehati sepikir itu, saya akan mengajak kita semua sedikit mnegingat
sesuatu. Apakah itu?
Ini pasti semua sudah pernah melihat dan bahkan sudah ada
yang pernah menjadi pelaku. Waow..kok pelaku segala, apa sihh? Itu lho,
pemanggul peti jenasah. Waduhh..kok serem? Serem dan tidak serem kan relative,
maksut tulisan ini adalah mau mengajak kita semua ingat bahwa beberapa orang
yang memanggung peti jenasah menuju pemakaman harus senada, sehati dan sepikir
untuk mengantarkan jenasah dalam peti sampai ke tujuan karena jenasahnya tidak
bisa berjalan sendiri..hahaha..
Mereka, para pemikul itu harus satu irama, satu kesatuan
yang utuh meski gerak dan langkah kaki mereka serta tempat menempatkan peti
tidak ada di posisi pundak yang sama. Posisi pundak mesti berbeda, depan kanan
jika di pundak kiri maka depan kiri harus dipundak kanan, pun demikiian dengan
yang belakang. Apa jika pundak sama tidak boleh?Boleh, silakan namun sulit
mengatur keserasian langkah.
Demikian juga dengan langkah kaki, harus seirama meski berbeda. Jumlah langkah
juga berbeda, jika belok kanan maka yang sisi kiri pasti langkahnya lebih besar
dan sebaliknya. Semua itu terjadi demi sebuah keserasian.
Dalam dunia rumah tangga, berkeluarga juga harus terjadi
demikian. Suami dan istri harus menjadi pasangan sehati dan sepikir serta
saling melengkapi. Keduanya tidak mungkin sama, lha kalau sama cowok atau cewek
semua kan repot, lagian di Negara kita belum disahkan tuh pernikahan sejenis. Jadi
kita sekarang bisa paham kan maksut dari sehati sepikir itu?Tetap berbeda namun
meski membangun irama dan nada yang harmonis.
Paulus dalam surat pastoralnya kepada jemaat filipi
mengharapkan jemaat mengupayakan kesehatian dan irama berikir
yang sama. Apakah mungkin?Mngkin jika semua sadar di titik mana sesehatian dan
kesatuan berpikir itu mesti diupayakan. Paulus merekomendasikan teladan Sang
Guru Agung yang rela menanggalkan kesetaraanNya dengan Sang Maha Kuasa demi
perjuangan memulihkan hakekat dan martabat kemanusiawian manusia.
Jadi, upaya membangun kesehatian itu meski ada tolok
ukurna dan itu oleh Paulus refrensinya adalah Sang Guru Agung kita.
Maka mari
kita memperjuangkannya dengan setia demi keharmonisan keluarga kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar