Senja telah usai meniti jalan hidupnya dan malam segera mengambil
peran. Gelap menyelimuti alam semesta. Kelelawar meluncur menyapa malam untuk bertarung menyambung hidup dan langi
biru berganti jubbah hitam dengan pernik-pernik berwujut kerlap-kerlip bintang.
Aku membersihkan badan dan kemudian teringat bahwa aku
diminta menyaksikan serta menulis kisah
di ruangan atas. Aku awalnya enggan namun kemudian mejadi sangat
penasaran. Kemudian aku bersiap, beranjak menuju ke ruangan atas , di mana
rombongan 13 orang dengan satu orang berwibawa itu tinggal menginap.
Suasana sepi, hanya beberapa potong percakapan terjadi
dan kudengar. Aku sampai di ruang atas, temarang ruangan itu. Mereka yang
berjumlah 13 orang itu sudah duduk melingkari meja kecil dengan kursi panjang
berjumlah dua. Mereka duduk saling berdekatan dan yang paling berwibawa yang
kemudian kutahu sering dipanggil Guru itu duduk menyendiri.
Di meja sudah tersedia apa yang aku persiapkan sesuai
pesanan mereka tempo hari. Cawan serta roti dalam nampan. Juga sudah kusiapkan
kain lenan berserta baki berisi airu untuk membasuh kaki dan tangan. Suasana tenang
dan dalam keheningan itu tiba-tiba kudengar suara lembut namun berkuasa.
“Ini malam terakhhirku bersama kalian. Sebab besok aku
harus meminum cawan derita itu”, Ungkap orang berwibawa yang disapa Guru itu. Kemudian
Dia berdiri, melepas jubahnya dan mengambil
kain lenan di pinggangNya. Dan yang membuat aku kaget luar biasa adalah
dia mendekati rombongannya serta
membasuh kaki mereka satu persatu. Sungguh luar biasa orang itu dan itu yang
membuat seseorang yang nampak keras dengan jambang sangar, yang kalau tidak
salah bernama Kefas mencoba menolak karena merasa tidak sepantasnyalah Gurunya
membasuh kakinya. Namun justru kudengar
suara berwibawa kembali menggelegar.
“Jika aku yang adalah Gurumu iklas membasuh kaki kalian
maka kalianpun nantinya harus siap saling membasuh dan saling melayani”,
Demikian suara itu lantang lembut namun seolah dengan tenaga dalam yang luar
biasa. Kemudian orang yang dipanggi; Guru itu, seusai membasuh kaki para murid,
mengambil nampan berisi roti. Nampak berdoa dan kemudian memecah-mecah roti itu
sembari bersuara lirih namun kuat menggelegar.
“Ini roti kujadikan tanda ikatan persekutuan kita. Makanlah
dan ingatlah akan persekutuan kita. Deritaku akan menjadi deritamu”. Kemudian
mengambil cawan kemudian menuangkannya ke masing-masing gelas serta membagikan
kepada mereka semua.
Namun aku kurang jelas mendengar apa yang dikatakanNya. Kemudian
suasana hening. Aku sangat heran dank arena aku ingin ke kamar kecil aku
tinggalkan ruangan itu semestara waktu.
Saat aku naik kembali ke ruang atas itu, suasana sepi. Namun
kemudian aku kaget karena mereka tidak hendak beristirahat, justru bersiap
hendak pergi. Semua siap pergi dan kemudian membuka pintu ruangan, melihatku
dan sambil tersenyum melangkah. Sebelum berpisah, orang yang di sebut Kefas itu
mendekatiku dan membisiki.
“Ikutilah kami dan catat setiap peristiwa yang akan
terjadi. Kami hendak mengikuti Guru ke taman di ujung kota ini untuk berdoa”. Demikian
Kefas membisikiku. Aku tertegun namun hasrat melihat apa yang akan terjadi
membuatku siap melakukan pesan mereka. Aku kemudian masuk, merapikan ruangan,
menutup jendela dan pintu, kemudian turun, mengunci pintu dan bergegas
mengikuti langkah rombongan misterius itu..
Bersambung..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar