Jumat, 14 April 2017

Ketika Malam Jumat Itu



Senja telah usai meniti jalan hidupnya dan malam segera mengambil peran. Gelap menyelimuti alam semesta. Kelelawar meluncur menyapa malam  untuk bertarung menyambung hidup dan langi biru berganti jubbah hitam dengan pernik-pernik berwujut kerlap-kerlip bintang.
Aku membersihkan badan dan kemudian teringat bahwa aku diminta menyaksikan serta menulis kisah  di ruangan atas. Aku awalnya enggan namun kemudian mejadi sangat penasaran. Kemudian aku bersiap, beranjak menuju ke ruangan atas , di mana rombongan 13 orang dengan satu orang berwibawa itu tinggal menginap.

Suasana sepi, hanya beberapa potong percakapan terjadi dan kudengar. Aku sampai di ruang atas, temarang ruangan itu. Mereka yang berjumlah 13 orang itu sudah duduk melingkari meja kecil dengan kursi panjang berjumlah dua. Mereka duduk saling berdekatan dan yang paling berwibawa yang kemudian kutahu sering dipanggil Guru itu duduk menyendiri.

Di meja sudah tersedia apa yang aku persiapkan sesuai pesanan mereka tempo hari. Cawan serta roti dalam nampan. Juga sudah kusiapkan kain lenan berserta baki berisi airu untuk membasuh kaki dan tangan. Suasana tenang dan dalam keheningan itu tiba-tiba kudengar suara lembut namun berkuasa.

“Ini malam terakhhirku bersama kalian. Sebab besok aku harus meminum cawan derita itu”, Ungkap orang berwibawa yang disapa Guru itu. Kemudian Dia berdiri, melepas jubahnya dan mengambil  kain lenan di pinggangNya. Dan yang membuat aku kaget luar biasa adalah dia mendekati  rombongannya serta membasuh kaki mereka satu persatu. Sungguh luar biasa orang itu dan itu yang membuat seseorang yang nampak keras dengan jambang sangar, yang kalau tidak salah bernama Kefas mencoba menolak karena merasa tidak sepantasnyalah Gurunya membasuh kakinya. Namun justru  kudengar suara berwibawa kembali menggelegar.
“Jika aku yang adalah Gurumu iklas membasuh kaki kalian maka kalianpun nantinya harus siap saling membasuh dan saling melayani”, Demikian suara itu lantang lembut namun seolah dengan tenaga dalam yang luar biasa. Kemudian orang yang dipanggi; Guru itu, seusai membasuh kaki para murid, mengambil nampan berisi roti. Nampak berdoa dan kemudian memecah-mecah roti itu sembari bersuara lirih namun kuat menggelegar.
“Ini roti kujadikan tanda ikatan persekutuan kita. Makanlah dan ingatlah akan persekutuan kita. Deritaku akan menjadi deritamu”. Kemudian mengambil cawan kemudian menuangkannya ke masing-masing gelas serta membagikan kepada mereka semua. 

Namun aku kurang jelas mendengar apa yang dikatakanNya. Kemudian suasana hening. Aku sangat heran dank arena aku ingin ke kamar kecil aku tinggalkan ruangan itu semestara waktu.

Saat aku naik kembali ke ruang atas itu, suasana sepi. Namun kemudian aku kaget karena mereka tidak hendak beristirahat, justru bersiap hendak pergi. Semua siap pergi dan kemudian membuka pintu ruangan, melihatku dan sambil tersenyum melangkah. Sebelum berpisah, orang yang di sebut Kefas itu mendekatiku dan membisiki.

“Ikutilah kami dan catat setiap peristiwa yang akan terjadi. Kami hendak mengikuti Guru ke taman di ujung kota ini untuk berdoa”. Demikian Kefas membisikiku. Aku tertegun namun hasrat melihat apa yang akan terjadi membuatku siap melakukan pesan mereka. Aku kemudian masuk, merapikan ruangan, menutup jendela dan pintu, kemudian turun, mengunci pintu dan bergegas mengikuti langkah rombongan misterius itu..

Bersambung..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH