Senja yang cerah. Nampaknya kemarau sudah mendekati
waktunya, untuk menggantikan musim penghujan yang terasa sangat panjang. Cerah langit
medio april 2017 ini. Dan di sebuah dusun terpencil nan permai, dengan
bukit-bukit hijau mengelilinginya, birunya langit hadir bersama hijaunya
dedaunan pohon di lembah dan lereng gunung.
Semilir angina sore menggerakkan dedaunan. Juga membuat
daun-daun padi menari seirama arah angina menimbulkan zimfoni semesta indah
tiada tara. Di sebuah pematang sawah, nampak sosok perepuan berambut panjang,
dengan kaos putih berkerah. Ada kalung hiasan di lehernya dan anak-anak rambut
yang takterkena pita penali rambut itu ikut melambai tertiup angin.
Perempuan itu melangkah dengan tenang, dengan senyuman
manis, manis sekali. Melangkah dengan lembut meniti pematang yang sederhana. Celana
selutut berwarna hiaju laut menambah anggun perempuan berambut panjang itu. Dan
semesta seolah menyanyikan nyanyian kesempurnaan manakala di sebuah dangau, ada
lelaki sederhana.
Lelaki sederhana itu bertinggi sekitar 165 cm. rambut agak ikal dan
kulit sawo matang. Duduk di sebatang kayu yang nampaknya sudah lama ditinggal “pemiliknya”
di tempat itu. Menatap lelaki itu ke arah laju langkah perempuan berambut panjang yang berjalan sembari
menyibakkan beberapa anak rambutnya yang tertiup angin.
“Nampaknya keindahan alam semesta ini abadi. Hanya kita
sebagai manusia saja yang sering gagal membaca cerita semesta dengan segala bahasanya”,
Ungkap perempuan berambut panjang itu, sembari mendekati lelaki di dangau
pinggir sawah yang masih menatap langit dengan datar.
Kemudian lelaki itu menghela nafas, memalingkan pandangan
ke lembah di sebelah belakang dangau, sekitar 50 meter dari Dangau itu berada. Dan
perempuan berambut panjang itu juga terdiam, meski beberapa saat kemudian
mendekati lelaki itu dan duduk di pematang, berhadapan dengan lelaki itu.
“Benar katamu, semesta ini selalu bersenandung, hanya
kita manusialah yang ponggah dan enggan membaca serta mendengar lagu indahnya”,
Jawab lelaki itu.
Udara semakin kuat bertiup hingga dedaunan pisang di
dekat Dangau itu bersuara gemerisik, mengalahkan gemericik air dari pancuran
di ujung pematang. Di langit, beberapa elang dan tekukur melintas sedangkan setapak
mega putih ikut menghias wajah langit senja itu.
“Kau lihat pohon kelapa itu?”, Tanya lelaki itu.
“Iya, aku melihatnya. Ada apa dengan pohon kelapa itu?”,
Jawab perempuan berambut panjang itu.
Lelaki itu kembali menghela nafas. Kemudian dia nampak
beranjak berdiri. Mendekati tempat perempuan berambut panjang itu duduk, namun
tidak hendak duduk di dekatnya, hanya d berdiri di dekat perempuan berambut
panjang itu duduk. Kemudian lelaki itu bersuara.
“Almarhum bapak mengajariku kehidupan msaat beliau
menanam pohon itu, sekitar 14 atau 15 tahun silam. Menurut bapak, hidup itu
harus sabar seperti petani yang menanam
pohon kelapa. Ia akan lama menghasilkan buahnya namun ketika sudah berhasil,
tanpa merawatpun dia akan setia dengan hasil. Berbeda dengan menanam Sawi, dia
akan cepat tumbuh dan memberi hasil, namun secepat kilat juga dia akan habis. Selain
itu setiap kali menanam, Sawi selalu butuh perhatian berlebih”, Urai lelaki
sederhana itu.
Perempuan itu berdiri, menjajari lelaki itu, sembari
membetulkan tali pengikat rambutnya yang nampak kendor. Nampak dia enggan memakai tali itu kembali karena
kemudian ia menyelipkan ke saki celananya. Dan angina semakin asyik memainkan
rambut panjang perempua itu, berderai-derai dan sebagian menerpa muka
orientalnya. Kemudia terdengar perempuan itu berucap.
“Aku juga paham dengan semua ajaran itu. Namun kita mesti
memilih, bukankah kau selalu berkata bahwa hidup itu pilihan? Dan kita tidak
bisa memilih dua-duanya. Memilih menanam kelapa atau menanam sawi juga akan
menerpa kita dan aku tidak tahu, kau akan memilih mana atau malah tidak memilih
dua-duanya?’, Ungkap perempuan berambut panjang itu dengan nada bergetar. Ada semacam
keraguan dan beban berat menindihnya sehingga ketika mengeluarkan kata-kata,
terasa pelan dan berat.
“Tidak hanya bergantung ke aku, kaupun punya peran. Andai
aku memilih menanam kelapa namun engkau memilih menanam sawi, kita tidak akan
pernah bertemu?”, Kata lelaki itu sembari berbalik, menghadapkan tubuhnya kea
rah perempuan berambut panjang itu. Jarak mereka hanya sekitar satu mater. Dua pasang
mata saling menatap dan angin masih setia mempermainkan rambut perempuan
berambut panjang itu.
Diam suasana…alampun sepertinya ikut berhenti menantikan
apa yang akan terjadi dengan lelaki sederhana dan prempuan berambut panjang itu…
Namun tiba-tiba….bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar