Selasa, 25 April 2017

Menanam Kelapa, Sawi, Perempuan Berambut Panjang dan Lelaki Sederhana



Senja yang cerah. Nampaknya kemarau sudah mendekati waktunya, untuk menggantikan musim penghujan yang terasa sangat panjang. Cerah langit medio april 2017 ini. Dan di sebuah dusun terpencil nan permai, dengan bukit-bukit hijau mengelilinginya, birunya langit hadir bersama hijaunya dedaunan pohon di lembah dan lereng gunung.
 
Semilir angina sore menggerakkan dedaunan. Juga membuat daun-daun padi menari seirama arah angina menimbulkan zimfoni semesta indah tiada tara. Di sebuah pematang sawah, nampak sosok perepuan berambut panjang, dengan kaos putih berkerah. Ada kalung hiasan di lehernya dan anak-anak rambut yang takterkena pita penali rambut itu ikut melambai tertiup angin.

Perempuan itu melangkah dengan tenang, dengan senyuman manis, manis sekali. Melangkah dengan lembut meniti pematang yang sederhana. Celana selutut berwarna hiaju laut menambah anggun perempuan berambut panjang itu. Dan semesta seolah menyanyikan nyanyian kesempurnaan manakala di sebuah dangau, ada lelaki sederhana.

Lelaki sederhana itu bertinggi sekitar 165 cm. rambut agak ikal dan kulit sawo matang. Duduk di sebatang kayu yang nampaknya sudah lama ditinggal “pemiliknya” di tempat itu. Menatap lelaki itu ke arah laju langkah perempuan  berambut panjang yang berjalan sembari menyibakkan beberapa anak rambutnya yang tertiup angin.

“Nampaknya keindahan alam semesta ini abadi. Hanya kita sebagai manusia saja yang sering gagal membaca cerita semesta dengan segala bahasanya”, Ungkap perempuan berambut panjang itu, sembari mendekati lelaki di dangau pinggir sawah yang masih menatap langit dengan datar.

Kemudian lelaki itu menghela nafas, memalingkan pandangan ke lembah di sebelah belakang dangau, sekitar 50 meter dari Dangau itu berada. Dan perempuan berambut panjang itu juga terdiam, meski beberapa saat kemudian mendekati lelaki itu dan duduk di pematang, berhadapan dengan lelaki itu.

“Benar katamu, semesta ini selalu bersenandung, hanya kita manusialah yang ponggah dan enggan membaca serta mendengar lagu indahnya”, Jawab lelaki itu.
Udara semakin kuat bertiup hingga dedaunan pisang di dekat Dangau itu bersuara gemerisik, mengalahkan gemericik air dari pancuran di ujung pematang. Di langit, beberapa elang dan tekukur melintas sedangkan setapak mega putih ikut menghias wajah langit senja itu.

“Kau lihat pohon kelapa itu?”, Tanya lelaki itu.

“Iya, aku melihatnya. Ada apa dengan pohon kelapa itu?”, Jawab perempuan berambut panjang itu.

Lelaki itu kembali menghela nafas. Kemudian dia nampak beranjak berdiri. Mendekati tempat perempuan berambut panjang itu duduk, namun tidak hendak duduk di dekatnya, hanya d berdiri di dekat perempuan berambut panjang itu duduk. Kemudian lelaki itu bersuara.

“Almarhum bapak mengajariku kehidupan msaat beliau menanam pohon itu, sekitar 14 atau 15 tahun silam. Menurut bapak, hidup itu harus  sabar seperti petani yang menanam pohon kelapa. Ia akan lama menghasilkan buahnya namun ketika sudah berhasil, tanpa merawatpun dia akan setia dengan hasil. Berbeda dengan menanam Sawi, dia akan cepat tumbuh dan memberi hasil, namun secepat kilat juga dia akan habis. Selain itu setiap kali menanam, Sawi selalu butuh perhatian berlebih”, Urai lelaki sederhana itu.

Perempuan itu berdiri, menjajari lelaki itu, sembari membetulkan tali pengikat rambutnya yang nampak kendor. Nampak dia  enggan memakai tali itu kembali karena kemudian ia menyelipkan ke saki celananya. Dan angina semakin asyik memainkan rambut panjang perempua itu, berderai-derai dan sebagian menerpa muka orientalnya. Kemudia terdengar perempuan itu berucap.

“Aku juga paham dengan semua ajaran itu. Namun kita mesti memilih, bukankah kau selalu berkata bahwa hidup itu pilihan? Dan kita tidak bisa memilih dua-duanya. Memilih menanam kelapa atau menanam sawi juga akan menerpa kita dan aku tidak tahu, kau akan memilih mana atau malah tidak memilih dua-duanya?’, Ungkap perempuan berambut panjang itu dengan nada bergetar. Ada semacam keraguan dan beban berat menindihnya sehingga ketika mengeluarkan kata-kata, terasa pelan dan berat.

“Tidak hanya bergantung ke aku, kaupun punya peran. Andai aku memilih menanam kelapa namun engkau memilih menanam sawi, kita tidak akan pernah bertemu?”, Kata lelaki itu sembari berbalik, menghadapkan tubuhnya kea rah perempuan berambut panjang itu. Jarak mereka hanya sekitar satu mater. Dua pasang mata saling menatap dan angin masih setia mempermainkan rambut perempuan berambut panjang itu.

Diam suasana…alampun sepertinya ikut berhenti menantikan apa yang akan terjadi dengan lelaki sederhana dan prempuan berambut panjang itu…

Namun tiba-tiba….bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH