KISAH NATAL
Sebuah
Teladan empati inspiratif Kepedulian Total
Oleh : Doni Setyawan[1]
Pengantar
Setiap tahun semua gereja-gereja di dunia
merayakan natal. Di manapun dan kapanpun, sepertinya perayan natal telah
menjadi tradisi di dalam kehidupan gereja-gereja
di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Tradisi yang dikembangkan,
dirayakan untuk kemudian dilestarikan sebagai salah satu identitas komunitas,
yang dalam hal ini adalah komunitas Kristiani. Pada setiap tahun pula, terutama
pada bulan Desember, semua orientasi gerejawi tercurah dan tertuju untuk natal.
Dari sudut-sudut gereja sampai pusat-pusat berbelanjaan, dari ujung desa sampai
kesegala penjuru wilayah, semua benuansa natal. Semua berupaya untuk
memperingati serta merayakan natal semeriah mungkin. Semua ingin natal menjadi
peristiwa yang berkesan pada setiap tahunnya. Semua pada akhirnya berjuang
sendiri-sendiri untuk menemukan makna natal itu.
Pusat-pusat perbelanjaan sibuk memajang
desain layout etalasenya dengan semua bernuansa natal, iklan dipinggir jalan
dan di televisi semua juga sering bersangkut erat dengan natal. Meskipun sebenarnya mereka hanya
“numpang mencari untung” dari peristiwa yang sedang dan akan terjadi.
Tidak salah memang, semua berhak memberi makna dan menemukan makna dari apa saja yang ada dan
dijumpainya. Tak terkecuali dengan natal
bagi semua individu maupun kelompok. Bagi yang memperingati dan juga teruntuk
yang tidak memperingati. Biar saja para pedagang menemukan makna natal ketika
pada bulan desember mendapatkan berkah banyak karena dagangannya banyak yang
laku, biar saja anak-anak kecil menemukan makna bahwa natal adalah saat untuk
berjumpa dengan sinterklas dan mereka juga beroleh kesempatan untuk mendapatkan
hadiah. Biar saja mereka yang muda-mudi memaknai natal sebagai kesempatan untuk
saling memberikan hadiah dan biar saja natal dimaknai sebagai waktu untuk
saling mengunjungi dan bersua dengan hadai tolan. Biar saja, ya biar saja makna
itu tertemukan bagi setiap insan. Tidak ada yang salah atau benar dalam hal
memberi makna.
Tulisan ini tidak hendak menghakimi dengan
instrumen teologis bahwa natal yang
tidak sesuai dengan Alkitab adalah salah, adalah dosa. Saya juga tidak hendak
menggunakan ide ini sebagai salah satu materi untuk memunculkan “fatwa’ kristen berkenaan dengan natal dan
sekitar pemaknaanya. Tulisan ini hanya hendak mengajak kita untuk mencoba
mengintif dari sebuah sudut sempit makna dari Allah yang berEMPATI dengan
manusia dengan cara bersedia masuk dalam sejarah manusia dan terlibat dalam
sejarah manusia untuk juga menjadi manusia yang utuh dan sempurna.
Natal
adalah Kelahiran
Natal tidak bisa dilepaskan dengan peristiwa
kelahiran. Tepatnya, natal adalah sebuah peringatan dan perayaan yang memusatkan dirinya pada peringatan lahirnya
Sang Mesias dalam diri Yesus Kristus. Meskipun dalam semua teks Injil tidak ada
keterangan eksplisit mengenai kapan waktu yang sebenarnya terjadi untuk
kelahian Yesus Kristus Sang Mesias, namun nampaknya gereja telah “Terlanjur”
terninabobokkan
dengan warisan tradisi natal dari mitologi Romawi. Mitologi munculnya matahari
setelah sekian lama terpenjara pada musim dingin yang beku. Munculnya matahari
adalah munculnya kehidupan, terbitnya Matahari adalah terbitnay Harapan. Ya,
sebenarnya tanggal 25 Desember bukanlah
waktu yang tepat untuk dapat dipastikan sebagai tanggal lahirnya Tuhan
Yesus, namun tulisan ini hanya akan memfokuskan diri pada keterlibatan Allah
dalam empatinya kepada manusia.
Teks Injil, terutama Injil Lukas menerangkan
bahwa Yesus lahir di kandang domba, pada waktu terjadi sensus yang dialkukan
oleh kaisar Agustus. Karena semua penginapan telah penuh, Maria dan Yusuf hanya
mendapatkan sebuah sudut rumah yang
adalah kandang domba. Ini merupakan awal dari cara Allah dalam diri Yesus untuk
berempati kepada ciptaan yang namanya manusia. Kandang domba, bukanlah tempat
yang mewah baik dulu maupun sekarang. Sampai kapanpun, kandang domba adalah
kandang domba. Tempat yang kotor, pinggir,tidak mewah dan bukan merupakan
tempat yang utama. Tempat kelahiran Yesus yang di kandang domba adalam simbol
dari arogansi egoisme manusia yang tidak pernah mau berbagi. Manusia yang hanya
memikirkan dirinya sendiri, keuntungannya sendiri sehingga enggan untuk
berempati. Manusia yang tiada pernah mau “merelakan secuil rotinya” untuk dibagikan kepada yang lain. Jangankan
kepada makluk ciptaan lain sementara kepada sesamanya saja enggan.
Teks Injil lukas tidak secara eksplisit
menyebutkan “Penolakan” pemilik rumah dan atau penginapan serta para pendatang yang mau
menginap (ini hanya sering muncul dalam visualisasi drama disekitar Natal).
Namun laporan Lukas bahwa bayi yang baru dilahirkan Maria yang “...dibungkusnya dengan kain, lalu
diletakkan di dalam palungan berisi
jerami; sebab tidak mendapatkan tempat untuk menginap..” bisa dijadikan rujukan
akan penolakan ini. Bagaimana masih bisa
dikatakan sebagai manusia yang hidup disekitar agama (saya senang menggunakan
istilah ini daripada manusia yang beragama) ketika melihat seorang perempuan
yang hamil tua dan (kemungkinan ) hari sudah menjelang malam namun semua “menutup
mata” terhadap realita ini?. Namun
inilah “Jalan Sepi Allah” dalam diri Yesus yang mengaktualisaikan diri menikmati EMPATI-Nya
untuk ciptaan. Manusia adalah
makluk yang telah dan sedang
dalam masa yang berat. Beraneka masalah mengantam kehidupan mereka .
Penindasan, kekejaman, ketidakadilan, arogansi, kesombongan seolah menjadi
gurita yang pelan namun pasti menggulung serta menjerat hidup dan kehidupanmanusia. Allah lahir dalam
diri Yesus, bayi mungil dan “hanya” terbungkus lampin. Dia Lahir bukan pada
tempat mewah dan dalam balutan penerimaan manusia yang beradab. Yesus, Sang
Pemilik Kehidupan, demi spirit bela rasa
terhadap manusia rela dengan segala ketulusan masuk dalam sejarah hidup manusia
dalam kesederhanaan. Kelahiran Yesus adalah kelahiran harapan. Kelahiran Yesus
adalah kelahiran sejarah kerelaan yang siap menjadi teladan. Natalnya Yesus
bukanlah natal yang penuh dengan hingar bingar. Bukan pula natal yang penuh
dengan aneka hiburan dan hadiah barang yang baru dan indah-indah, namun natal
Yesus adalah lahirnay sebuah semangat pembaharu, semangat perubahan yang
sempurna. Semangat yang benar-benar meremukkan tatanan hidu manusia yang penuh
dengan kesombongan.
Kelahiran
Yesus adalah cara Allah Peduli
Peristiwa kelahiran Yesus yang dilaporkan
Injil Lukas hendak mengajar umat, bahwa Allah yang peduli adalah Allah yang
bersedia melawat umatnya. Pelawatan
Allah adalah wujud sempurna dari empati atau bela rasa Allah kepada manusia yang
terbelenggu kekuatan dosa. Dosa yang menjadikan adanya penindasan, adanya
diskriminasi, adalanya ketimpangan sosial, adanya perbudakan, adanya
ketidakadilan, adanya kemunafikan, adanya korupsi dan sebagainya. Semua ini
melada serta mewabah dalam kehidupan manusia, tidak hanya sekarang, naumn
ternyata sudah semenjak dahulu. Di dalam segala area kehidupan dan bahkan di
kehidupan agama yang katanya menjadikannnya penjaga moralitas
korupsi,penindasan, koropsi, saling menjegal, saling melukai adalah peristiwa
keseharian. Manusia (yang oleh Allah
dalam Yesus sebagai sasaran keselamatan) diajak Yesus untuk sadar, bahwa empati
adalah pengorbanan. Empati adalah kesediaan serta keberanian untuk memasuki
dunia di luar dirinya. Dunia yang berbeda dengan dirinya. Empati adalah
keikutsertaan merasakan seperti yang dia atau mereka rasakan. Empati Allah
bukanlah melalui jalan yang mulus dan lurus, empati Allah adalah meniti jalan
sederhana dan derita. Inilah cara Allah menolong, cara Allah mewuujudkan
KasihNya yang sempurna kepada seluruh ciptaan. Kehadiraanya di sekitar palungan
dan jerami (yang kemudian oleh banyak penafsir dan tradisi gereja disepakati
adalah kandang domba) adalah wujud dari kesederhanaan, wujud dari pasrah dan
totalitas yang sempurna.
Kepeduliaan Allah adalah kerelaanNya untuk
ada dan mengada dalam segala keterbatasan, kesederhanaan. Kain lampin dan
jerami adalah simbol yang teramat nyata untuk mengerti betapa jalan kehadiran
Allah di dalam Yesus adalah jalan kesederhanaan. Kesederhanaan itu yang hendak
menampar manusia yang senantiasa hidup mewah dan cenderung boros. Kelahiran
Yesus sebagai wujud empati Allah adalah
Apa
gerangan wujud empati saat ini?
Natal, di jaman sekarang selalu identik
dengan kemeriahan, kemewahan dan keanggunan. Dan natal di jaman sekarang selalu identik dengan nothol [2](kata
salah seorang tokoh berpengarus GKJ). dan ini tidak bisa disangkal, betapa di
dalam persiapan perayaan natal diberbagai gereja sellau sibuk memikirkan biaya
untuk konsumsi. Memikirkan kebutuhan untuk dirinya, kepuasannya sendiri. Natal
yang baik adalah natal yang mewah, yang bersemangat atau natal yang dihadiri
oleh ribuan umat. Maka tidak heran jika kemudian muncul budaya natal
dilapangan, gedung-gedung mewah, hotel berbintang, stadion dengan harapan akan
dihadiri banyak orang dan kemudian sebgai justifikasi sebuah keberhasilan.
Mereka (atau kita) seolah lupa bahwa natal yang sejati adalah keadaan super
sederhana dan –mungkin- bisa dikatakan memprihatinkan.
Bisa ditarik sebuah benang merah dalam hal
ini. Bagaimana teladan empati Yesus ini semangatnya tertularkan di dalam kehidupan gereja di jaman sekarang. Gereja
tidak sedang menjadi “para juru bangunan” yang selau terbagun konsep bahwa keberhasilan adalah kesuksesan
mengumpulkan bukan memberikan. Demikian halnya dengan natal, gereja seharusnya
berani dengan tegas bahwa natal bukanlah sebuah pesta, melainkan kesempatan
untuk masuk dalam permenungan sepi. Masuk untukm menembus merekaa-mereka yang
tersingkirkan,sakit, sendiri dan senantiasa kesepian. Semua iniadalah laku hidup untuk menghayati
tugas panggilan dalam saat teduh dan permenungan Permenungan iman bahwa
kelahiran Yesus adalah wujud keterlibatan Allah demi empatinya kepada manusia.
Sopankah ketika kita sebagai manusia mendapat pertolongan, lalu kemudia yang menolong
itu tertimba penderitaan sementara kita yang ditolong berpestapora??
Semestinya gereja Tuhan dijaman sekarang ini
mulai mencoba mengembangan semangat empati Allah untuk memperhatikan sesama. Memperhatikan
mereka yang tertindas, terpinggirkan, tersakiti, terdiskriminasi dan yang lain.
Gereja semstinya meniru jejak Yesus yang dengan lantang berani melawan
kekerasan struktur yang tidak berpiihak kepada kaum lemah. Gereja semestinya
menjadi pelopor kesedehanaan bukan malah menjadi pelopor pemborosan. Perayaan-perayaan,
pesta-pesta adalah salah satu indikator bahwa gereja telah mulai meninggalkan
spiritualitas sederhana Yesus. Meninggalkan spiritualitas iklas dan tulus dari
Yesus, spiritualitas penuh peduli milik Yesus. Yang ada adalah gereja yang
terus dan terus bersaing demi kepopuleran serta kepuasan diri pribadinya. Lalu,
jika demikian, masih pantaskah kita mempredikati diri dengan gelar kekristenan
di mana spirit Kristud sudah hilsng diteln bumi.
Penutup
Kembali ke pengantar di awal tulisan ini.
Bukan masalah salah atau benar di setiap peristiwa kehidupan. Namun yang
pertama dan utama adalah upaya member makna. Jika kita sudah menemukan pesan
dari peristiwa kelahiran Yesus, maka sudah tiba saatnya bagi gereja untuk
bersuara suara kenabian di tengah-tengah hidup yang sudah sangat individualis,
serba konsumtif, serba indiviualis pragmatis ini menuju perubahan total.
Perubahan menjadi seperti kisah Bathlekhem ketika Yesus lahir. Peristiwa yang
semestiya mempermalukan kita namun sering manusia lupa akan segala polah
tingkahnya. Maka selamat berjung untuk tidak sekedar memperingati natal namun
selalu belajar untuk memperhatikan sesama. Selamat untuk meneladani Yesus yang
rela masuk ke dalam kehidupan sejatah manusia dengan cara derita dan sederhana.
[1] Doni Setyawan, Pendeta Jemaat
di GKJ Tuntang Timur Salatiga, alumni UKDW lulus tahun 2004 dan semenjak 2005
dipanggil untuk melayani di GKJ Tuntang Timur sampai sekarang.
[2] Nothol adalah bahasa Jawa yang
artinya makan, karena hampir disetiap peyaan natal selalu ada pesta makan.