Benar kata mitos itu, bahwa bulan Desember itu bulan yang
‘gede’ atau besar sumber. Mengapa benar?Karena di bulan desember, sebagai
daerah tropis, curah hujan sedang ada di puncaknya. Begitu setianya si hujan, seolah lelaki yang
sedang jatuh cinta, selalu akan mengunjungi sang pujaan hati. Demikian juga
dengan hujan, saking cintanya dengan bumi,dengan alama, maka tidak
dibiarkannya, sehari tanpa kehadirannya, kehadiran hujan.
Dan malam itu, sisa-sisa hujan masih sangat terasa. Jalanan
basah,kabut tipis dan bahkan rintik lembut air hujan masih sesekali menggoda
semesta. Panggilan hidupku selalu menjadikan malam sebagai sahabat setia,
seperti malam itu,dalam dingin dank abut,dalam hujan dan sepi, keterobos
malam,dengan sukacita. Jalanan yang basah, sinar lampu kendaraan yang bersaing
dengan kabut, juga terkadang sesekali nyala kilatan lidah api di langit
tenggara dusun kami, menjadi kawan perjalanan yang setia.
Sesampai di persawahan, diantara dusun satu dengan dusun
yang lain,entah mengapa laju motor ini ingin kuperlambat,dan pada akhirnya
kuhentikan. Kupinggirkan dan aku turun, mematikan mesin. Masih ada satu-dua
rintik hujan yang mencumbui wajahku yang masih terbungkus helm,lalu kubuka. Kuhirup
udara malam, segar,meski dingin,dan kurasakan persekutuan atau penyatuan utuh
dengan alam, dengan semesta. Semilir angin membelai alam,juga daun-daun padi
yang masih menghijau,gemerisiknya melagukan
simfoni semesta, simfoni purbakala yang selalu membangunkan jiwa-jiwa
untuk menyatu dengan semuanya.
Ingin menabung dan mendapat Untung?Klik ini SINI
Dalam terang bulan tanggal 8, dan juga dalam kurungan
awan dan hujan, kuliat di sudut sawah, agak jauh,sekitar 50 sampai 60 meter,
kulihat bayangan. Bayangan itu bergerak mendekat,aku tahu itu sosok manusia,
nyala rokok yang ia hisap,meski dari jauh menandakan dia manusia. Dan setelah
dekat, kami saling menyapa. Dan kutahu, pak tani itu sedang menengok
kerbaunya,sepasang yang ia tinggalkan di sawah. Ia tingalkan dalam sebuah
kandang sederhana, di ujung sawah miliknya. Sesuatu yang aneh bagiku di jaman
serba curiga seperti ini, masih ada orang yang meninggalkan harta berharganya
sendirian tanpa terjagai. Dan yang membuatku tersadar, saat dalam
percakapan.dengan rokok kami masing-masing, bapak tani ini bericara tentang surga
.
“Mas, surga itu bukan tentang waktu nanti,juga bukan
sebuah tempat di sana, namun waktunya sekarang dan di sini”, Ungkap bapak
itu,saat aku tanya, tidakkah kuatir kerbau-kerbaunya dicuri orang. Beliau ikhlas,jika
kerbau-kerbaunya dicuri,baginya, yang mengambil (bapak ini tidak mau menyebut
pencurian,karena menurutnya tuduhan pencurian akan menjadikan yang mengambil
menanggung salah besar) sedang dalam keadaan membutuhkan dan tidak sempat
meminta kepadanya. Namun justru keiklhasan yang menjadikan dia damai serta
selama ini, kerbau-kerbaunya aman dari orang yang menginginkannya.
Malam itu, aku belajar tentang surge secara sederhana. Bukan
nanti dan di sana, namun di dalam hati. Keiklasan sejati,itulah surge. Kerelaan
sejati itulah bahagia,tidak mencoba menggemgam sebagai milik abadi,namun semua
hanyalah sarana. Bapak tani itu berpikir, bahwa kerbau-kerbaunya adalah sarana
kehidupan,bukan kehidupan itu sendiri,maka saat sarana itu terambil,kehidupan
masih tetap ada. terima kasih bapak,atas pencerahannya,dan akan saya tulis
untuk kubagikan,. Jika ada yang membaca dan merasa tersentuh,silakan,namun jika
ada yang membaca tidak menemukan apa-apa,ya silakan saja. Ini pengalaman
sederhana, hanya ingin berbagi,tentang surge menurut sesame manusia yang sangat
sederhana.
Dalam perjalanan pulang seusai kuliah semesta itu, aku
berandai-andai, jika aku bisa seperti bapak itu,bukan Cuma aku,namun smeua
manusia, bisa hidup dalam keiklasan, betapa damainya dunia ini..
Rintik hujan sudah mereda,dan di kaki bukit, rembulan
muda sudah letih,ingin masuk dalam pelukan cinta semesta..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar