Dingin malam terasa menusuk tulang. Meskipun jam belum
menunjukkan waktu terlalu malam, namun suasana dusun kecil itu semakin terasa
sepi. Hanya suara air hujan menerjang dedaunan dan sesekali serangga hutan dan
serangga malam mengisi panggung malam. Dalijo nampak sibuk menyalakan api di
perapian khas dusunnya, warisan almarhum kedua orangtuanya. Hidup membujang,
awalnya terasa berat dan aneh, namun kelamaan menjadi menyenangkan. Hidup dalam
kemerdekaan yang sejati.
Saat masih terengah menyalakan blarak untuk pemancing
api,karena masih basah terkena air hujan kemarin lusa,mendadak pintu samping
rumah pawonnya terbuka. Kemudian muncul Jamali, tetangganya yang juga
sahabatnya. Jamali dan Dalijo tidak segera saling menyapa, Jamali langsung
duduk di kursi kuno di ruangan dapur itu. Setelah duduk, menyalakan rokok
andalannya, kemudian Jamali nampak mengambil gelas, mencari-cari sendok dan
gulan. Kemudian membuka termos namun tiada menemukan apapun.
“Dal, renek banyu panas ya?”, Tanya Jamali dalam Bahasa Jawa
yang sangat kental nuansa jawa ndesonya.
“Lha kamu itu nyawang apa enggak? Aku lagi ngurupne
blarak,lagi mau ngrebus banyu. Nduwe mata mbok digunakne, jangan seperti mata
walang. Melek dan merem sama saja”, Dalijo menjawab agak kesal.
“Ngono wae ngamuk Dal.. Jangan gampang marah, susah
lakumu. Nanti cewekmu selalu kamu marahi, gondol butha lor kali”, Jawab Jamali,
juga dengan nada mengejek, namun tidak membuat mereka bermusuhan.
Kemudian mereka
saling asyik dengan keasyikan mereka sendiri-sendiri. Dalijo segera menata
nyala api di pawon dan menempatkan ceret yang warnanya sangat hitam. Sementara Jamali
melanjutkan menimati sigaretnya sembari membolak-balik majalah Bahasa jawa,
Panjebar Semangat. Sembari asyik mengurusi api dan ceret di tungku itu,
setengah berguman, Dalijo berkata, “Iki kok ceret ireng temen ta
ya..ya..ngalahke raine Jamali”
“Walah..lha kok nggodok banyu jik sempet nggarapi kancane, kaya awake kui
putih-puitha Dal..”, Jawab Jamali dengan santai. Kemudian mereka melanjutkan
keasyikannya, tanpa pernah saling terluka ataupun tersinggung, meski sering
ungkapan-ungkapan mereka terasa menusuk perasaan. Mereka sudah saling mengenal,
saling memahami sehingga tidaklah mungkin saling melukai. Karena menurut
mereka, luka dan sakit itu bergantung dari yang merasakannya,bukan dari yang
membuat luka itu.
“Dal, menurutmu pie, ini kan bulan desember, lha aku
dapat undangan natalan. Aku jan-jane pengen ikut, wong sebagai wujud
kebersamaan kita sebagai saudara dan sebagai sesame warga desan ini. Lha tapi
kok menurut Lik Barjo,kalau aku ikut haram. Karena menurut Lik Barjo, kaum
nasrani itu kapir. Pie Dal, kamu kan Kristen?”, Tiba-tiba Jamali melontarkan
pertanyaan yang sangat serius.
Dalijo masih sibuk dengan air panas yang sudah ia seduh
dengan gula batu dan kopi. Minuman damai mereka, dan biasanya sebentar lagi,
Sareh, Panggah dan yang lain akan bergabung. Mereka setia, setiap malam
berkumpul di rumah Dalijo, selain mencari kawan juga sering bercakap soal
kehidupan.
“Jam, haram dan tidak serta kafir ataupun tidak itu, buka
terletak pada benda atau peraturan. Namun terletak di dalam hati dan pikiranmu.
Memang saat ini banyak yang mengatakan kami kapir, antribut perayaan agama kami
haram dan kapir, namun apakah itu kehendak Sang Maha Kuasa?Bukankah semua
diciptakan dalam keadaan baik? Kita manusia sering merampas hak Sang Maha Esa
dengan kepicikan cara berpikir kita. Kita seolah lebih suci dan lebih berwenang
dariNya. Padahal semua itu adalah kemunafikan”, Jawab Dalijo sembari menyalakan
rokok andalannya.
Malam semakin sepi, sementara sahabat-sahabat mereka
belum juga bergabung. Dalijo kemudian melanjutkan pembicaraanya.
“Ini Sareh,Maruta,Panggah dan yang lain belum nampak dan
kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Maka kita tidak boleh menuduh
mereka tidak setia kawan,hanya karena sampai jam segini belum bersama kita. Kita
harus memahami orang lain Jam… Tidak boleh kita menilai orang lain hanya dengan
sudut pandang kita. Itu sombong, itu orang kemaki”
Jamali menagangguk-angguk,nampaknya mulai paham dan
mengerti apa yang mesti dilakukannya. Kemudian, setelah menyertuput kopi buatan
Dalijo sahabatnya, Jamali melanjutkan tanya.
“Dal, jadi kita dosa yang mengatakan kopar-kapir kepada
orang lain?” Ungkap Jamali.
“Dosa dan bukan itu juga bukan hak kita. Kita tidak bisa
mengatakan sesuatu dosa atau tidak hanya dari SUSUt..eh salah Jam, sudut
pandang kita,kita harus paham alasan orang melakukan tindakan itu. Tuhanpun
tidak pernah mengatakan ini itu dosa, manusia sajalah yang sok keminter,
mengatakan dosa ataupun tidak.” Jawab Dalijo.
“Terus yang di tipi-tipi itu, menurutmu piye, kana da saudara
seagamaku yang kaya orang meteng, buanyak lagi, sering seweping.sering maksa
orang manut keinginan mereka, apa mereka berdosa Dal?”, Tanya Jamali. Saat Jamali
hendak menjawab, pintu rumah depan terbuka…
Bersambung..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar