Selasa, 20 Desember 2016

KAFIR VERSI DALIJO bagian I



Dingin malam terasa menusuk tulang. Meskipun jam belum menunjukkan waktu terlalu malam, namun suasana dusun kecil itu semakin terasa sepi. Hanya suara air hujan menerjang dedaunan dan sesekali serangga hutan dan serangga malam mengisi panggung malam. Dalijo nampak sibuk menyalakan api di perapian khas dusunnya, warisan almarhum kedua orangtuanya. Hidup membujang, awalnya terasa berat dan aneh, namun kelamaan menjadi menyenangkan. Hidup dalam kemerdekaan yang sejati. 
Saat masih terengah menyalakan blarak untuk pemancing api,karena masih basah terkena air hujan kemarin lusa,mendadak pintu samping rumah pawonnya terbuka. Kemudian muncul Jamali, tetangganya yang juga sahabatnya. Jamali dan Dalijo tidak segera saling menyapa, Jamali langsung duduk di kursi kuno di ruangan dapur itu. Setelah duduk, menyalakan rokok andalannya, kemudian Jamali nampak mengambil gelas, mencari-cari sendok dan gulan. Kemudian membuka termos namun tiada menemukan apapun.

“Dal, renek banyu panas ya?”, Tanya Jamali dalam Bahasa Jawa yang sangat kental nuansa jawa ndesonya.

“Lha kamu itu nyawang apa enggak? Aku lagi ngurupne blarak,lagi mau ngrebus banyu. Nduwe mata mbok digunakne, jangan seperti mata walang. Melek dan merem sama saja”, Dalijo menjawab agak kesal.

“Ngono wae ngamuk Dal.. Jangan gampang marah, susah lakumu. Nanti cewekmu selalu kamu marahi, gondol butha lor kali”, Jawab Jamali, juga dengan nada mengejek, namun tidak membuat mereka bermusuhan.
Kemudian  mereka saling asyik dengan keasyikan mereka sendiri-sendiri. Dalijo segera menata nyala api di pawon dan menempatkan ceret yang warnanya sangat hitam. Sementara Jamali melanjutkan menimati sigaretnya sembari membolak-balik majalah Bahasa jawa, Panjebar Semangat. Sembari asyik mengurusi api dan ceret di tungku itu, setengah berguman, Dalijo  berkata, “Iki kok ceret ireng temen ta ya..ya..ngalahke raine Jamali”

“Walah..lha kok nggodok banyu  jik sempet nggarapi kancane, kaya awake kui putih-puitha Dal..”, Jawab Jamali dengan santai. Kemudian mereka melanjutkan keasyikannya, tanpa pernah saling terluka ataupun tersinggung, meski sering ungkapan-ungkapan mereka terasa menusuk perasaan. Mereka sudah saling mengenal, saling memahami sehingga tidaklah mungkin saling melukai. Karena menurut mereka, luka dan sakit itu bergantung dari yang merasakannya,bukan dari yang membuat luka itu.

“Dal, menurutmu pie, ini kan bulan desember, lha aku dapat undangan natalan. Aku jan-jane pengen ikut, wong sebagai wujud kebersamaan kita sebagai saudara dan sebagai sesame warga desan ini. Lha tapi kok menurut Lik Barjo,kalau aku ikut haram. Karena menurut Lik Barjo, kaum nasrani itu kapir. Pie Dal, kamu kan Kristen?”, Tiba-tiba Jamali melontarkan pertanyaan yang sangat serius.

Dalijo masih sibuk dengan air panas yang sudah ia seduh dengan gula batu dan kopi. Minuman damai mereka, dan biasanya sebentar lagi, Sareh, Panggah dan yang lain akan bergabung. Mereka setia, setiap malam berkumpul di rumah Dalijo, selain mencari kawan juga sering bercakap soal kehidupan.

Jam, haram dan tidak serta kafir ataupun tidak itu, buka terletak pada benda atau peraturan. Namun terletak di dalam hati dan pikiranmu. Memang saat ini banyak yang mengatakan kami kapir, antribut perayaan agama kami haram dan kapir, namun apakah itu kehendak Sang Maha Kuasa?Bukankah semua diciptakan dalam keadaan baik? Kita manusia sering merampas hak Sang Maha Esa dengan kepicikan cara berpikir kita. Kita seolah lebih suci dan lebih berwenang dariNya. Padahal semua itu adalah kemunafikan”, Jawab Dalijo sembari menyalakan rokok andalannya.

Malam semakin sepi, sementara sahabat-sahabat mereka belum juga bergabung. Dalijo kemudian melanjutkan pembicaraanya.

“Ini Sareh,Maruta,Panggah dan yang lain belum nampak dan kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Maka kita tidak boleh menuduh mereka tidak setia kawan,hanya karena sampai jam segini belum bersama kita. Kita harus memahami orang lain Jam… Tidak boleh kita menilai orang lain hanya dengan sudut pandang kita. Itu sombong, itu orang kemaki”
Jamali menagangguk-angguk,nampaknya mulai paham dan mengerti apa yang mesti dilakukannya. Kemudian, setelah menyertuput kopi buatan Dalijo sahabatnya, Jamali melanjutkan tanya.

“Dal, jadi kita dosa yang mengatakan kopar-kapir kepada orang lain?” Ungkap Jamali.
“Dosa dan bukan itu juga bukan hak kita. Kita tidak bisa mengatakan sesuatu dosa atau tidak hanya dari SUSUt..eh salah Jam, sudut pandang kita,kita harus paham alasan orang melakukan tindakan itu. Tuhanpun tidak pernah mengatakan ini itu dosa, manusia sajalah yang sok keminter, mengatakan dosa ataupun tidak.” Jawab Dalijo.

“Terus yang di tipi-tipi itu, menurutmu piye, kana da saudara seagamaku yang kaya orang meteng, buanyak lagi, sering seweping.sering maksa orang manut keinginan mereka, apa mereka berdosa Dal?”, Tanya Jamali. Saat Jamali hendak menjawab, pintu rumah depan terbuka…

Bersambung..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH