Suatu waktu, di tahun 2010. Saat alam menyapa dan
menggeliat dengan bahasa yang berbeda. Di Jawa Tengah, ada gunung berapi yang
namanya Gunung Merapi, yang sedang bermain-main, mungkin sedang bercanda, memuntahkan isi perutnya,
mungkin dengan senyuman,meski menjadikan banyak penghuni alam semesta yang lain
merasakan lara dan derita. Dan kemudian, sebagian orang menamakan itu sebagai
bencana..Ada tangis, ada duka, ada keterpisahan..semuanya lengkap...
Ingin Cantik dan Kaya?Klik ini..INI
Alarm alam itu tersambut dengan sangat hebat, sehingga
ribuan, bahkan mungkin jutaan orang mengalihkan focus hidup ke sana, ke arah yang
dikata orang bencana. Yang semula bersitegang menjadi bergandengan tangan, yang
awalnya tidak mengenal menjadi saling mengenal,semua bersatu padu,demi
selamatnya sesama,dari “Candaan” Simbah Merapi.
Akupun terlibat di sana, meski
sebatas mampu dan kuatku.
Dan dari peristiwa itulah aku merasakan serta
menjumpai sebuah pengalaman istimewa.
“Niki
sanes bencana mas, niki ingkang Kagungan redi Merapi nembe dandan-dandan. Dados
menawi nembe dandan lajeng wonten ingkan ical lan kenging tatu,punika pun
limrah” Ungkap salah seorang sesepuh sebuah dusun di dekat
puncak merapi. Arti dari ungkapan di atas adalah, semua yang terjadi dengan
merapi,yang katanya ngamuk memuntahkan lahar dan awan panasnya, bukanlah
bencana, melainkan sang empunya gunung sedang memperbaiki rumahnya. Dan jika
sedang memperbaiki rumah ada yang hilang,rusak dan terluka, itu biasa.
Sungguh sebuah
pemahaman alamiah yang dalam,dari sudut yang sangat dekat dengan yang terkena
bencana, bahkan yang menjadi bagian dari korban “Dandan-dandannya” mbah merapi.
Mungkin terkesan naif, tapi itulah cara memaknai sebuah peristiwa, yang bisa
dikatakan bencana.
Pagi ini, salah satu wilayah nusantara, bagian semesta
sedang tertimpa musibah, gempa bumi. Semua setuju bahwa itu bencana,begitupun
saya. Namun, boleh juga melihat dari sisi,sudut yang lain, bahwa mungkin
kepercayaan orang merapi, bisa dipakai untuk memaknai peristiwa itu. Alam sedang
memperbaiki diri,dan ada bagian yang menjadi korban..Jika merapi dalam muntahan
lahar panas dan dinginnya bisa menghadirkan kesatuan manusia demi menolong sesama,
alangkah indah juga jika semua ikut terlibat menolong korban di Aceh.
Baju-baju agama, aliran, kepentingan politik,lepaskan
dulu. Tanggalkan, ikuti panggilan Illahi di Aceh, bahwa Sang Empunya Kehidupan
sedang memperbaiki salah satu sisi dunia,yang diberikan kepada manusia untuk
dihuni serta dijaga. Bencana tetaplah bencana, dari satu sudut pandang, namun
memberikan tempat untuk pemahaman lain, sangatlah dewasa. Bukan hendak mengabaikan
korban di sana, namun sekedar memberi alternative pemahaman lain.. Dan bukan
pula hendak menghindari tugas menolong sesama, namun demi menggali kesadaran
lain.
Mari,bersatu padu, bukan untuk berdemo negative,membela
ajaran ataupun apa,namun mari bersatu dalam demo kemanusiaan demi keharmonisan
semesta..
Pada sebuah Gubug di Pedalaman Tuntang..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar