Rabu, 26 Oktober 2016

ORONG-ORONG dan JASANYA



Senja, seusai hujan. Dingin dan sepi menjadi penghias gerak hidup sebuah kampung, yang masih penuh dengan pepohonan. Sisa-sisa hujan masih ada di tanah, di rumput, di jalan dan dari genting,yang kadang menetes dengan sendu. Air bening dari ujung genteng atap rumah.  Suara ayam mulai reda riuhnya,suara burungpun demikian, sepi semakin terasa.
Dalam kesepian itu,tertangkap suara khas binatang yang tidak begitu terkenal,tidak juga popular. Suaranya sulit dieja dan juga sulit ditiru oleh siapa saja,mungkin kaset tape recorder saja yang bisa menirukannya. Hewan itu adalah Orong-orang, begitulah kami orang kampung menamainya. Meskipun seekor ia tetap Orong-orong,bakan saat 100 ekorpun,dia masih dinamakan Orong-orong. Hewan ini hanya akan berbuni saat senja,itupun saat usai hujan.

Jadi,keberadaanya bisa sebagai penanda,baik senja maupun usai hujan.
Suara hewan kecil yang hidup di dalam tanah,yang juga bergerak dengan jalurnya sendiri di bawah tanah ini, mengingatkanku akan masa yang telah tertinggal. Masa saat kami masih bersama, ada Bapak,Simbok dan juga adik. Saat senyap di sebuah desa nun jauh terpencil di pedalaman pegunungan seribu,selatan pulau Jawa ini. Meski kini kami berpisah, Bapak dan  Simbok telah berpulang ke dalam keabadian, Adik ada di tempat yang berbeda, namun saat terdengar suara Orong-Orong itu, seolah kemenyatuan itu kembali. Eolah senja usai hujan ini kami bersama kembali.

Mungkin tidak hanya saya yang bisa mengenang sebuah romantisme saat mendengar suara Orong-Orong seusai hujan ini. Mungkin siapa saja yang membaca tulisan ini, baik yang berlatar kota maupun desa bisa merasakan kembali nuansa alami yang sejati. Orong-orong, binatang kecil nan sederhana, tidak menarik sebagai hiasan manusia, dan bahkan keberadaannya semakin terdesak oleh keserakahan manusia, namun tetaplah ia memiliki jasa,paling tidak untuk saya.

Dengan mendengar suaramu,seolah saya bersama kembali dengan almarhum kedua orangtuaku,dengan adikku. Saat mendengar suaramu,aku teingat kembali kampung halamanku, kesepian yang memayungi,gelap karena listrikpun belum menyapa. Suaramu Orong-Orong,menghadirkan kerinduan abadi ini kembali menghiasi hari-hariku. Semoga,saat ada yang membaca  tulisan ini, bisa juga terkenang akan sebuah masa yang telag berlalu.

Senja ini semakin merayap pasti, sepasti  kepastian itu sendiri dan waktu yang selalu bergulir setia seturut panggilan jiwanya. Dan saat malam semakin menyelimuti semesta, Orong-Orong menghentikan suaranya, memberikan kesempatan kepada hewan lain untuk ikut berperan memainkan karyanya untuk semesta. Orong-Orong itu tidak serakah merampas waktu menyumbangkan suaranya, berbeda dengan manusia, yang senantiasa serakah dengan ambisinya. Ambisi menguasahi semuanya.

Terima Kasih Orong-Orong, denganmu aku bisa belajar dan bercermin..selamat meniti malam dalam kesederhanaanmu..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH