Senja, seusai hujan. Dingin dan sepi menjadi
penghias gerak hidup sebuah kampung, yang masih penuh dengan pepohonan. Sisa-sisa
hujan masih ada di tanah, di rumput, di jalan dan dari genting,yang kadang
menetes dengan sendu. Air bening dari ujung genteng atap rumah. Suara ayam mulai reda riuhnya,suara burungpun
demikian, sepi semakin terasa.
Dalam kesepian itu,tertangkap suara khas binatang
yang tidak begitu terkenal,tidak juga popular. Suaranya sulit dieja dan juga
sulit ditiru oleh siapa saja,mungkin kaset tape recorder saja yang bisa
menirukannya. Hewan itu adalah Orong-orang, begitulah kami orang kampung
menamainya. Meskipun seekor ia tetap Orong-orong,bakan saat 100 ekorpun,dia
masih dinamakan Orong-orong. Hewan ini hanya akan berbuni saat senja,itupun
saat usai hujan.
Jadi,keberadaanya bisa sebagai penanda,baik senja maupun usai
hujan.
Suara hewan kecil yang hidup di dalam tanah,yang
juga bergerak dengan jalurnya sendiri di bawah tanah ini, mengingatkanku akan
masa yang telah tertinggal. Masa saat kami masih bersama, ada Bapak,Simbok dan
juga adik. Saat senyap di sebuah desa nun jauh terpencil di pedalaman
pegunungan seribu,selatan pulau Jawa ini. Meski kini kami berpisah, Bapak
dan Simbok telah berpulang ke dalam
keabadian, Adik ada di tempat yang berbeda, namun saat terdengar suara
Orong-Orong itu, seolah kemenyatuan itu kembali. Eolah senja usai hujan ini
kami bersama kembali.
Mungkin tidak hanya saya yang bisa mengenang
sebuah romantisme saat mendengar suara Orong-Orong seusai hujan ini. Mungkin siapa
saja yang membaca tulisan ini, baik yang berlatar kota maupun desa bisa
merasakan kembali nuansa alami yang sejati. Orong-orong, binatang kecil nan
sederhana, tidak menarik sebagai hiasan manusia, dan bahkan keberadaannya
semakin terdesak oleh keserakahan manusia, namun tetaplah ia memiliki jasa,paling
tidak untuk saya.
Dengan mendengar suaramu,seolah saya bersama
kembali dengan almarhum kedua orangtuaku,dengan adikku. Saat mendengar
suaramu,aku teingat kembali kampung halamanku, kesepian yang memayungi,gelap
karena listrikpun belum menyapa. Suaramu Orong-Orong,menghadirkan kerinduan
abadi ini kembali menghiasi hari-hariku. Semoga,saat ada yang membaca tulisan ini, bisa juga terkenang akan sebuah
masa yang telag berlalu.
Senja ini semakin merayap pasti, sepasti kepastian itu sendiri dan waktu yang
selalu bergulir setia seturut panggilan jiwanya. Dan saat malam semakin
menyelimuti semesta, Orong-Orong menghentikan suaranya, memberikan kesempatan
kepada hewan lain untuk ikut berperan memainkan karyanya untuk semesta. Orong-Orong
itu tidak serakah merampas waktu menyumbangkan suaranya, berbeda dengan
manusia, yang senantiasa serakah dengan ambisinya. Ambisi menguasahi semuanya.
Terima Kasih Orong-Orong, denganmu aku bisa belajar dan bercermin..selamat meniti malam dalam kesederhanaanmu..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar