“Jo, mau ke mana kok nampaknya sangat sibuk?”,
Sareh mencoba menanyakan tujuan Dalijo sibuk mempersiapkan sesuatu. Nampaknya Dalijo
akan melakukan perjalanan Jauh. Tas punggung disiapkan,beberapa potong baju
dimasukan, sarung dan handuk juga menadi property yang disiapkan Dalijo.
“Aku mau ke Jakarta Reh, aku dapat Job. Lumayan meskipun
Cuma beberapa hari,bisa sekalian dolan ke Jakarta, ke Ibukota Negara kita. Ke kota
metropolitan”, Sahut Dalijo sembari masik menyibukkan diri menata semua
kebutuhannya,meski Sareh,sahabat karibnya sudah datang agak lama. Kemudian Sareh
membuka jendela,juga pintu yang
jumlahnya ada tiga di rumah limasan kuno
itu.
“Reh, gelem melu ra kowe? Ini pekerjaan menarik
dan menyenangkan lho, ke Jakarta, kerja cuma beberapa jam, hanya jalan-jalan sambil
ikutan teriak-teriak,dibayar satus seket ewu sedina, makan minum gratis dan
ongkos PP,naik bis eksekutif ditanggung”, Ungkap Dalijo penuh semangat, dengan
masih sibuk mempersiapkan sesuatu yang mungkin ia rasa masih kurang.
Sareh diam,seperti namanya, dia tersenyum,sembari
duduk di kursi tua,di sisi barat posisi rumah Dalijo. Mengambil majalah
berbahasa Jawa yang nampaknya majalah terbitan lama,terlihat dari kumalnya
sampul majalah itu. Di bolak-baliknya Majalah berbahsa Jawa itu,kemudian
terlihat asyik membacanya. Dalijo hampir selesai menyiapkan property untuk
kepergiannya ke Jakarta, yang katanya hanya sekitar tiga hari, kerja sekalian
wisata. Sampai kemudian Dalijo nampak mendekati Sareh untuk duduk.
Dalijo ikut duduk,sembari mengeluarkan rokok Djarum Super yang bungkusnya sudah kumal. Dalijo menarik satu batang,menyalakan korek dan menyulut rokok, kemudian meletakkan bungkus rokok itu di meja depan mereka duduk.
Dalijo ikut duduk,sembari mengeluarkan rokok Djarum Super yang bungkusnya sudah kumal. Dalijo menarik satu batang,menyalakan korek dan menyulut rokok, kemudian meletakkan bungkus rokok itu di meja depan mereka duduk.
“Reh, iki Ses’e. ayo nikmati hidup,jangan terlalu
banyak dipikirkan,ada peluang sikat. Dengan begitu hidup menjadi enak”, tutur
Dalijo dengan gaya sok bijak.
“Dal, sapa ta yang mengajakmu kerja di Jakarta
itu? Masak kerja Cuma 3 hari, bayaran 150.00,makan minum gratis, biaya pulang
pergi gratis. Jan-jane apa kerjaanmu itu Jo?” Tanya Sareh penuh perhatian.
“Itu, kemarin Songko ngesemes aku. Dia ditelfun temen
Jakarta,suruh datang awal bulan depan,ada pekerjaan menarik. Lha aku ya
langsung jawab iya. Tiga hari aku bisa dapat 450.000, makan gratis,tidur gratis
dan ongkos PP juga gratis. Siapa yang tidak tertarik. Lha wong kata Songko
kerjane Cuma ikutan jalan bersama,pakai baju seragam dan sudah disiapkan. Kami hanya
diminta ikut,teriak ikut, jalan juga ikut. Pokoknya yang penting ikut. Enak kan
Reh”, Dalijo memberi penjelasan dengan penuh semangat.
“Lha iya, trus nama pekerjaan kamu itu apa Dal?”,
Serang Sareh dengan Tanya yang substansinya sama. Sareh ingin sahabatnya itu
jujur,meski sebenarnya dia mengerti atau
tepatnya bisa menerka,jenis pekerjaan apa yang akan dijalani Dalijo. Ada seberkas
rasa iba untuk sahabatnya yang sangat sederhana ini. Dalijo tidak mengerti akan
tugas dan yang meski ia kerjakan di Jakarta itu. Sareh sadar, bahwa Dalijo
adalah korban,yang dalam kepolosannya berpikir dan meniti hidup,sering
diperdaya pihak lain yang memiliki agenda licik.
“Reh, gausah ngalamun. Kalau mau ikut,ayo bersiap.
Berangkatnya masih besok agak siang, jam 12 san. Kita ikut Bis eksekutip. Nanti tinggal aku
esemes Songko, tambah satu,pasti sangat senang dia. Karena Songko diberi tugas
korwil untuk membawa orang sebanyak-banyaknya”, Dalijo menegor Sareh serta
membujuknya ikut ke Jakarta. Dengan sangat santai dan terlihat bersemangat,
Dalijo menghisap cigaretnya mantab.
Sareh diam,masih terlihat asyik membaca majalah
yang dipegangnya. Namun sesaat kemudian nampak menutup majalahnya,meletakkannya
di atas meja,tempat semula dan memandang kea rah jendela. Sareh memandang sawah
yang mulai menguning, gunung yang tetap hijau,dedaunan yang tertiup angina. Kemudian
pelan namun mantab berkata.
“Dal, kamu ngerti enggak dengan pekerjaan yang
akan kamu kerjakan selama 3 hari di Jakarta?”
Dalijo diam, kemudian dalam kepolosannya,menjawab.
“Ya tahuku ya kerja,ikutan orang banyak dan di
bayar. Itu saja Reh”
Sareh tersenyum,namun nampak segurat keprihatinan
di wajahnya,juga nampak dari tarikan nafasnya. Dan kemudian melajutkan ucapanya
untuk Dalijo sahabatnya.
“Dal, kamu itu disuruh demo. Kamu diajak
grudak-grudug melakukan protes akan sesuatu yang tidak kamu ketahui. Yang kamu
bayangkan hanya 150 ribu per hari. Kamu tidak
sadar sedang diperalat oleh mereka yang menginginkan Negara ini tidak pernah
maju. Uang 450 ribu selama tiga harimu itu,ditambah ongkos PP dan makan
minummu,sejatinya untuk pertaruhan mereka yang berkepentingan. Dan jika
berhasil,maka kita akan tetap menderita selamanya Dal. Coba kamu pikirkan itu. Aku
tidak keberatan kamu ke Jakarta, kesempatanmu melihat ibu kota Negara, tapi
kamu mesti sadar yang terjadi sebenarnya”, Sareh menjelaskan dengan penuh
semangat.
Dalijo manggut-manggut,nampak ada segurat keraguan
di wajahnya yang polos. Namun,tekad ke Jakarta, ibukota Negara telah bulat. Namun
pesan Sareh,sahabatnya itu akan ia kenang dan pegang. Dalijo juga berjanji,akan
ikut mengamati dan melihat dari dekat apa yang dikuatirkan Sareh Sahabatnya
itu..
Dalijo tetap akan berangkat ke Jakarta,maka mari
kita tunggu ceritanya dari Jakarta,ikutan demo..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar