Dalam sebuah rapat, di situ Dalijo juga ikut. Suasana rapat awalnya santai dan menyenangkan, namun beberapa saat kemudian terjadi kegaduhan. Ini semua terjadi saat seseorang yang selama ini dikenal pendiam namun cerdas, namanya Wasis, memberikan beberapa usulan terkait perkembangan kelompok itu. Namun usulan yang sangat rasional dan cerdas itu ternyata ditolak mentah-mentah oleh banyak orang dalam rapat itu.
JALAN KESEJAHTERAAN
“Kami ini
sudah dari dahulu seperti ini, nyatanya juga bisa bertahan. Tidak usahlah ada
ide atau usul yang aneh-aneh. Seperti ini saja”, Jawab salah sesorang peserta
rapat itu.
Ide cerdas,
brilian dan rasional itupun menguap,tidak dijalankan oleh komunitas itu. Waktu terus
begulir,hari ke hari,minggu ke minggu,bulan ke bulan dan hampeir satu tahun. Ada
kabar bahwa komunitas desa sebelah justru makin berkembang,karena melakukan ide
yang dikemukakan pemuda cerdas namun pendiam itu. Kemudian timbulah kegaduhan
berikutnya di tempat Dalijo berkomunitas. Rapat direncanakan dan kemudian pada
sebuah malam, rapat kembali dilakukan.
“Kita
semestinya bisa seperti komunitas di desa sebelah yang berkembang baik dan
sangat menyenangkan. Biasanya mereka selalu dibawah kita, namun saat ini kita harus jujur, kita kalah dari mereka.”,
Begitu seorang tokoh mengantar rapat malam itu.
Dalijo yang
sering hanya diam dan mendengarkan,tiba-tiba mengangkat tangan pertanda ingin
bicara. Nampaknya Dalijo menjaga etika komunikasi dan kesopanan berbicara di
dalam sebuah pertemuan resmi.
“Kita
seperti ini karena dulu menolak usulan Mas Wasis. Kita selalu bangga dengan
sejarah dan masa lalu, sehingga apapun usul dan ide baru selalu kita tolak,. Menurut
saya, ide mas Wasis itu sekarng yang dilakukan komunitas desa sebelah”, Dengan mantab,
Dalijo berbicara setelah diberi kesempatan oleh pemimpin rapat malam itu.
Suasana
senyap,kemudian dilanjutkan dengan dengar pendapat,namun masih terjadi
kegaduhan. Beberapa enggan mencontoh komunitas tetangga sebelah,malu menurut
mereka. Hingga kemudian, minuman kopi di hadapan mereka hampir habis.
Dalijo bergegas
menuju ruang belakang,dan sesaat kemudian kembali hadir dengan teko penuh kopi
panas. Sebagai anak yang mengerti sedikit sopan santun, Dalijo menomrsatukan
sesepuh yang memimpin rapat itu. Dalijo menuangkan kopi ke gelas sampai
penuh,namun tidak berhenti. Terus Dalijo menuang kopi panas, hingga tumpah.
“Dalijoooooooooo……………….!Hentikan
kopi yang kamu tuang!!!, nanti sia-sia, percuma, eman-eman!”, Bentak si
pemimpin rapat.
Dengan santai
Dalijo meminggirkan teko penuh kopi panas, kemudian menjawab. “Pikiran kita
semua seperti gelas ini. Saat penuh dengan minuman kopi, maka dituang
seberapapun tidak akan bisa masuk,justr malah akan tumpah dan sia-sia. Kosongkan
gelas itu maka akan masuk kopi yang baru. Demikian juga dengan
pikiran,kebiasaan,pengertian kita, jika masih dipenuhi yang lama, yang baru
tidak akan mungkin bisa masuk”, Dalijo menjelaskan seperti Profesor Kehidupan.
Dalijo
benar, kita mesti membuka cakrawala berpikir dengan seluas-luasnya, agar
sesuatu bisa masuk ke dalam pikiran kta. Dan yang juga sangat penting,
singkirkan pola-pola berpikir lama yang sudah tidak relevan, termasuk tradisi
dan kebiasaan,agar hidup terus bergerak maju dan menyenangkan.
Salam Dari
Dalijo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar