Kamis, 06 Oktober 2016

KOSONGKAN CANGKIR KOPIMU


Dalam sebuah rapat, di situ Dalijo juga ikut. Suasana rapat awalnya santai dan menyenangkan, namun beberapa saat kemudian terjadi kegaduhan. Ini semua terjadi saat seseorang yang selama ini dikenal pendiam namun cerdas, namanya Wasis, memberikan beberapa usulan terkait perkembangan kelompok itu. Namun usulan yang sangat rasional dan cerdas itu ternyata ditolak mentah-mentah oleh banyak orang dalam rapat itu.
JALAN KESEJAHTERAAN 
“Kami ini sudah dari dahulu seperti ini, nyatanya juga bisa bertahan. Tidak usahlah ada ide atau usul yang aneh-aneh. Seperti ini saja”, Jawab salah sesorang peserta rapat itu.
Ide cerdas, brilian dan rasional itupun menguap,tidak dijalankan oleh komunitas itu. Waktu terus begulir,hari ke hari,minggu ke minggu,bulan ke bulan dan hampeir satu tahun. Ada kabar bahwa komunitas desa sebelah justru makin berkembang,karena melakukan ide yang dikemukakan pemuda cerdas namun pendiam itu. Kemudian timbulah kegaduhan berikutnya di tempat Dalijo berkomunitas. Rapat direncanakan dan kemudian pada sebuah malam, rapat kembali dilakukan.
“Kita semestinya bisa seperti komunitas di desa sebelah yang berkembang baik dan sangat menyenangkan. Biasanya mereka selalu dibawah kita, namun saat ini  kita harus jujur, kita kalah dari mereka.”, Begitu seorang tokoh mengantar rapat malam itu.
Dalijo yang sering hanya diam dan mendengarkan,tiba-tiba mengangkat tangan pertanda ingin bicara. Nampaknya Dalijo menjaga etika komunikasi dan kesopanan berbicara di dalam sebuah pertemuan resmi.
“Kita seperti ini karena dulu menolak usulan Mas Wasis. Kita selalu bangga dengan sejarah dan masa lalu, sehingga apapun usul dan ide baru selalu kita tolak,. Menurut saya, ide mas Wasis itu sekarng yang dilakukan komunitas desa sebelah”, Dengan mantab, Dalijo berbicara setelah diberi kesempatan oleh pemimpin rapat malam itu. 
Suasana senyap,kemudian dilanjutkan dengan dengar pendapat,namun masih terjadi kegaduhan. Beberapa enggan mencontoh komunitas tetangga sebelah,malu menurut mereka. Hingga kemudian, minuman kopi di hadapan mereka hampir habis. 
Dalijo bergegas menuju ruang belakang,dan sesaat kemudian kembali hadir dengan teko penuh kopi panas. Sebagai anak yang mengerti sedikit sopan santun, Dalijo menomrsatukan sesepuh yang memimpin rapat itu. Dalijo menuangkan kopi ke gelas sampai penuh,namun tidak berhenti. Terus Dalijo menuang kopi panas, hingga tumpah.

“Dalijoooooooooo……………….!Hentikan kopi yang kamu tuang!!!, nanti sia-sia, percuma, eman-eman!”, Bentak si pemimpin rapat.
Dengan santai Dalijo meminggirkan teko penuh kopi panas, kemudian menjawab. “Pikiran kita semua seperti gelas ini. Saat penuh dengan minuman kopi, maka dituang seberapapun tidak akan bisa masuk,justr malah akan tumpah dan sia-sia. Kosongkan gelas itu maka akan masuk kopi yang baru. Demikian juga dengan pikiran,kebiasaan,pengertian kita, jika masih dipenuhi yang lama, yang baru tidak akan mungkin bisa masuk”, Dalijo menjelaskan seperti Profesor Kehidupan.

Dalijo benar, kita mesti membuka cakrawala berpikir dengan seluas-luasnya, agar sesuatu bisa masuk ke dalam pikiran kta. Dan yang juga sangat penting, singkirkan pola-pola berpikir lama yang sudah tidak relevan, termasuk tradisi dan kebiasaan,agar hidup terus bergerak maju dan menyenangkan.

Salam Dari Dalijo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH