Bapak
Angin mendesis dan menyusup melalui daun jendela cokelat yang semakin
usang. Malam beranjak tua. Bulan setengah bulat perlahan naik tepat di atas
pohon kelapa di depan rumah agak sebelah
barat,yang menjulang tinggi. Pohon kelapa peninggalan Simbah, yang sudah
berdiri kokoh lebih dari setengah abad yang lalu. Dulu, Simbah yang menanamnya.
Kata bapak, sewaktu
aku kecil, ketika umurku 6 tahun, bapak sering memanjat pohon itu. Menaikinya
pijakan demi pijakan hanya untuk mengambilkan sebiji kelapa untukku.
Bapak dulu begitu
cekatan dan sangat hati-hati ketika menyusuri setiap jengkal batang pohon
kelapa yang begitu tinggi mencengkram langit. Dengan kaki telanjang, celana
cokelat tua yang kusam dan banyak noda di mana-mana, kaos oblong yang terkoyak
di bagian ketiak kanannya, serta sebilah Arit
Cantheng kesayangan yang diselipkannya di celana kolor usang dengan tali
ravia namun kokoh, bapak terlihat sigap dan tangguh menjejaki setiap titian
yang dibuatnya tiap setengah meter di batang pohon.
Kalau bapak sudah
berhasil menaklukan pijakan demi pijakan, Bapak selalu berseru, “Bapak sampai,
Nak.” Begitu kata bapak dengan lantang di antara onggokan kelapa yang hijau
ranum.
Bagi bapak,
kebiasaannya memanjat pohon kelapa bukan semata hanya untuk menuruti kemauanku
untuk merasakan segarnya buah yang kaya manfaat ini, terlebih karena bapak
merasa lebih berseri dan merasa lebih hidup karena dapat menaklukan pohon
kelapa yang tingginya lebih dari 20 meter ini.
Setidaknya, dalam
satu minggu bapak harus naik pohon kelapa, biar apapun alasannya, bapak merasa
perlu memanjatnya, begitu kata bapak suatu sore yang cerah.
Bapak memang penuh
dengan semangat dalam hidupnya. Hal itulah yang selalu beliau tularkan pada
kami, aku dan ibuku. Jika bapak melihat kami berdua tengah murung dengan wajah
yang kusut, ada saja hal yang bapak lakukan untuk membuat kami bergairah
kembali. Dan akhirnya tertawa bersama.
Bapak sering
mengajak kami ke kebun untuk mencabut singkong, memetik pisang, dan kalau
sedang musim mangga, kami bertiga berbondong-bondong dengan karung beras untuk
mengalap buahnya.
Kadang pula setiap
akhir pekan, bapak suka sekali mengajakku untuk memancing di pinggir sungai
yang terletak tak jauh dari kebun bapak, kebun peninggalan Simbah juga. Ikan
yang kami dapatkan dari hasil memancing seharian kadang tak seberapa. Pernah
pula kami tak dapat seekor pun ikan yang terjebak oleh kail kami. Hingga kami
pulang tanpa hasil apapun.
Aneh, bapak selalu
terlihat ceria dan semangat yang tak pernah luntur, padahal seharian lelah
memancing, tapi tak ada hasilnya. Namun, yang kulihat di wajah bapak hanyalah
semangat dan bahagia yang tak pernah aku lihat dari bapak-bapak manapun.
Sepanjang jalan pulang, bapak selalu mengajakku bersenda gurau. Aku yang sangat
lelah dan bosan hanya ikut tersenyum saja meladeni bapak. Aku tak bisa seceria
bapak.
“Pak, kok bapak
senang sekali? Padahal kita tidak dapat ikan,” kataku seraya mengelap peluh di
kening. “Aku aja capek sekali, Pak.” Keluhku seperti bergumam.
“Apa bapak tidak capek? Sudah lama-lama kita mancing tapi tidak ada hasilnya.” Keluhku lagi. Keringat di tubuhku semakin bercucuran seiring dengan bertambah naiknya matahari pagi itu.
“Apa bapak tidak capek? Sudah lama-lama kita mancing tapi tidak ada hasilnya.” Keluhku lagi. Keringat di tubuhku semakin bercucuran seiring dengan bertambah naiknya matahari pagi itu.
Kulihat baju bagian
belakang bapak hampir kuyup oleh keringat. Bapak tetap terlihat bergairah.
Entah rahasia apa yang bapak sembunyikan, hingga selelah apapun bapak tetap
tampil prima.
“Iya dong, kita
memang harus tetap semangat,”
“Ingat, Nak! Memancing itu bukan sekedar untuk mencari ikan saja. Kita juga belajar sabar,” tiba-tiba langkah bapak terhenti.
“Nak, ikan yang kita pancing ibarat suatu kebahagiaan dan kesejahteraan dalam hidup kita. Kita harus pandai-pandai memancingnya, Nak. Ingat, Nak! Kebahagiaan dan kesenangan tidak akan datang dengan sendirinya. Kita harus berusaha mendapatkannya. Kita tidak boleh hanya berdiam diri menunggu orang lain memberikan kedua hal itu pada kita…”
“Tanpa usaha dan kerja keras, dan disertai dengan ketekunan yang kita miliki, mustahil jika kita dapat mendapatkan nikmat-Nya.” Lanjut bapak seraya mengacungkan telunjuknya ke atas.
“Nikmat-Nya?” tanyaku mengikuti gerakan tangan bapak.
“Nikmat Allah, Nak.”
“Oh..” jawabku singkat.
“Tapi, Pak. Kita kan tadi sudah bersusah payah dan sabar. Kita sudah berjam-jam duduk di pinggir sungai untuk memancing, tapi kita tidak dapat apa-apa. Ikan yang bapak bilang seperti kebahagiaan dan kesenangan itu tidak berhasil kita dapatkan.”
“Ingat, Nak! Memancing itu bukan sekedar untuk mencari ikan saja. Kita juga belajar sabar,” tiba-tiba langkah bapak terhenti.
“Nak, ikan yang kita pancing ibarat suatu kebahagiaan dan kesejahteraan dalam hidup kita. Kita harus pandai-pandai memancingnya, Nak. Ingat, Nak! Kebahagiaan dan kesenangan tidak akan datang dengan sendirinya. Kita harus berusaha mendapatkannya. Kita tidak boleh hanya berdiam diri menunggu orang lain memberikan kedua hal itu pada kita…”
“Tanpa usaha dan kerja keras, dan disertai dengan ketekunan yang kita miliki, mustahil jika kita dapat mendapatkan nikmat-Nya.” Lanjut bapak seraya mengacungkan telunjuknya ke atas.
“Nikmat-Nya?” tanyaku mengikuti gerakan tangan bapak.
“Nikmat Allah, Nak.”
“Oh..” jawabku singkat.
“Tapi, Pak. Kita kan tadi sudah bersusah payah dan sabar. Kita sudah berjam-jam duduk di pinggir sungai untuk memancing, tapi kita tidak dapat apa-apa. Ikan yang bapak bilang seperti kebahagiaan dan kesenangan itu tidak berhasil kita dapatkan.”
Bapak diam sejenak.
Pundakku dirangkulnya dengan lembut. Kami berjalan kembali, kali ini agak
pelan.
“Nak, tidak penting
kebahagiaan dan kesenangan apa yang kita cari.”
“Aku tidak mengerti, apa yang bapak maksud?”
“Begini, Nak.”
Bapak diam sejenak. Tak berhasil jua aku mendapatkan raut kecewa atau pun lelah yang mencakar wajahnya. Tutur katanya tetap lemah lembut penuh rasa sayang, rasa sayang seorang bapak yang luar biasa.
“Apapun dan bagaimanapun hasil yang kita peroleh di hidup ini, tidaklah begitu penting kita bicarakan. Yang terpenting bagaimana kita menjalani semuanya, Nak. Menjalani semuanya dengan ikhlas. Ikhlas melakukan suatu proses yang membuat kita menghargai setiap perjuangan dalam diri kita.
Ingat, Nak!
“Aku tidak mengerti, apa yang bapak maksud?”
“Begini, Nak.”
Bapak diam sejenak. Tak berhasil jua aku mendapatkan raut kecewa atau pun lelah yang mencakar wajahnya. Tutur katanya tetap lemah lembut penuh rasa sayang, rasa sayang seorang bapak yang luar biasa.
“Apapun dan bagaimanapun hasil yang kita peroleh di hidup ini, tidaklah begitu penting kita bicarakan. Yang terpenting bagaimana kita menjalani semuanya, Nak. Menjalani semuanya dengan ikhlas. Ikhlas melakukan suatu proses yang membuat kita menghargai setiap perjuangan dalam diri kita.
Ingat, Nak!
Keberhasilan dalam hidup ini tidak akan berarti apa-apa tanpa
proses yang rumit, tanpa proses yang begitu sulit. Karena hal itu yang akan
membuat kita menjadi pribadi yang patut disejajarkan dengan orang-orang
sukses.”
Malam kian beranjak
pergi ketika jarum jam berkutat tepat di angka 3 dini hari. Samar-samar kokok
ayam terdengar bersahutan satu sama lain. Irama prajurit malam malah semakin
santer terdengar. Silih beradu menjadi yang paling kencang.
Dingin udara dan koko ayam jantan kompak membangunkanku yang masih berselimut mimpi semalam.
Kulihat ibu masih terlelap di atas kasur yang usang. Lampu temaram membuat
tidurnya nyenyak bak bayi baru lahir. Tak ada gerak. Hanya desah nafas yang
berhembus ringan.
Di balik daun
jendela yang semakin rapuh termakan usia, lambaian siluet daun kelapa tersapu
hembusan lembut angin pagi. Mataku terlempar jauh di antara bulatan kelapa.
Bayangan wajah bapak senantiasa bersama dengan menjulangnya pohon itu. Ratusan
langkah kaki bapak tertanam kuat di antara pijakan tiap tengah meternya.
Goloknya, seakan menancap di setiap cangkang ranumnya kelapa.
Senyum lembut bapak
yang tak kenal lelah bersemayam di setiap onggokan hijau yang menggoda
tenggorokan untuk menelannya habis-habis.
Ah, andai bapak
masih hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar